"Cinta? Omong kosong! Gue nggak percaya ada cinta yang nyata di dunia ini."—Wening, manusia paling skeptis sejagat raya.
[ swipe right on love ]
Wening Bestari pernah membaca sebuah kalimat dari novel yang tidak sengaja ia beli di toko buku bekas di daerah Blok M. Katanya, "Cinta adalah hal paling manusiawi yang tak bisa dijelaskan oleh logika."
Ia menutup halaman itu cepat-cepat. Bukan karena kalimatnya tidak bagus, namun karena terlalu indah untuk dipercaya. Terlalu penuh harapan untuk seseorang yang tidak tumbuh bersama definisi cinta secara utuh.
Cinta pertama dalam hidupnya bukan tentang pelukan hangat atau kecupan selamat malam. Cinta pertama dalam hidup Wening adalah suara pintu ditutup pelan-pelan pada jam dua pagi. Punggung papanya yang menjauh, membawa koper dan beberapa potong baju, serta aroma parfum perempuan lain yang tertinggal di udara.
Wening masih ingat, saat itu usianya dua belas tahun, awal masuk sekolah menengah pertama. Ia berdiri di depan kamar, diam, tidak tahu harus menangis atau marah. Tapi mamanya—ia menangis dengan suara paling pelan yang pernah Wening dengar. Tangisannya nyaris seperti bisikan. Seperti sedang minta maaf entah kepada siapa karena terlalu lemah untuk menyembunyikan kesedihannya.
Sejak hari itu, Wening belajar satu hal: cinta tidak selalu tinggal.
Kadang ia pergi dan tidak pernah kembali.
Tahun-tahun setelahnya berlalu seperti potongan film murahan. Wening melihat mama berubah dari perempuan ceria menjadi seseorang yang bangun lebih pagi dan tidur lebih malam, hanya agar tidak punya waktu untuk merasa. Wening pun belajar menjadi mandiri, kuat, dan keras kepala. Bukan karena itu sifatnya, tapi karena dia tidak tahu cara menjadi lunak tanpa hancur.
Wening juga belajar bahwa laki-laki bisa berkata "aku mencintaimu" sambil membagi hatinya ke tempat lain. Dan bahwa cinta, yang katanya suci dan penuh makna, ternyata bisa dibohongi oleh kata-kata yang manis tapi kosong.
Maka ketika teman-temannya mulai jatuh cinta, merajut hubungan, merayakan anniversary dengan lilin dan bunga, ia hanya bisa tersenyum. Bukan karena ikut bahagia, tapi karena tahu mereka sedang bermain-main dengan sesuatu yang tidak bisa ia pahami.
Dia tidak tahu bagaimana rasanya menaruh kepercayaan pada seseorang sepenuhnya.
Dia tidak tahu bagaimana caranya meletakkan hati di tangan orang lain tanpa gemetar.
Yang ia tahu hanyalah semua itu bisa hilang kapan saja.
Tapi hidup juga kadang menyisakan rasa penasaran..
Maka di usia dua puluh tujuh ini, setelah bertahun-tahun menertawakan cinta dari balik layar, Wening memutuskan untuk melakukan eksperimen. Bukan karena ingin jatuh cinta, melainkan karena ingin membuktikan bahwa cinta, seperti hal lain di dunia ini, bisa diatur. Dihitung. Diprediksi.
Dan jika tidak bisa, maka keyakinannya selama ini terbukti benar. Bahwa cinta hanya ilusi kolektif, yang terlalu sering dibungkus algoritma agar tampak meyakinkan.
Ia membuat akun di dating app. Bukan untuk mencari yang terbaik. Justru sebaliknya, dia akan swipe right ke mereka yang paling jauh dari kriteria ideal.
Yang bukan "tipe" ideal seorang pasangan bagi Wening. Yang tidak mungkin ia pilih jika ini bukan eksperimen. Karena kalau cinta memang sekuat itu, mari kita lihat apa ia bisa tumbuh dari pilihan yang salah.
YOU ARE READING
Swipe Right on Love
ChickLitWening Bestari tahu cinta bisa datang dari mana saja. Ia juga tahu cinta bisa hilang begitu saja karena ia pernah melihatnya runtuh di ruang tamu rumahnya. Maka ketika sebuah eksperimen membawanya ke dating app, Wening membuat aturan: hanya akan swi...
