Dan kalau soulmate gue bukan Omega?
Mosi: Hah? Maksudnya?
Bima: Jangan bilang soulmate lu Beta
Nardi: Gue lebih kaget kalau lu dapet Gamma. Itu mungkin pertama kalinya dalam sejarah
Gavin menelan ludah. Ia bisa saja berhenti di sini. Ia bisa saja mengabaikan ini dan membiarkan mereka bercanda sampai topik ini terlupakan. Tapi dia tidak mau. Mereka sahabatnya. Mereka satu-satunya orang yang mungkin bisa memberikan perspektif lain. Jadi, Gavin mengetik satu pesan lagi.
Kalau soulmate gue Alpha?
Mosi: ???
Bima: BRO… APA???
Nardi: STOP. GAVIN. JELASIN.
Mosi: Gue harap ini cuma prank. Bilang ke kita ini prank. Sekarang.
Iyasih prank, gue gabut aja aowkaowoak
Gavin tidak membalas lagi. Ia tahu jawabannya. Tetapi pertanyaannya sekarang adalah, bagaimana caranya menghadapi ini?
Gavin menutup ponselnya pelan, tapi pikirannya tidak ikut tertutup. Ia menatap langit-langit kamar, lampu neon tua berpendar samar, membentuk bayangan-bayangan aneh di dinding. Dalam hening, suara detak jam terdengar nyaring, tapi bukan itu yang membuat dadanya sesak.
Bukan lagi.
Ia tahu benar bahwa satu pesan bodoh di grup chat tidak akan menghapus fakta bahwa ia sekarang hidup dalam dunia yang benar-benar berbeda dari sebelumnya. Dunia yang tidak sesederhana Alpha—Omega, dominasi—submisi, kekuatan—kelemahan. Tidak lagi.
Dan di dunia ini, Joss adalah bahaya. Tapi juga pusat dari semuanya.
Gavin mengembuskan napas berat, mencoba memaksa pikirannya berhenti berputar. Tapi otaknya terus bekerja, seperti mesin rusak yang tidak tahu caranya berhenti. Ia mengambil hoodie hitam yang tergeletak di ujung ranjang dan menariknya cepat ke tubuhnya.
Ia teringat pertama kali melihat Joshua, bukan di lapangan ini, tapi di aula seleksi, dalam kekacauan dan debu yang menggantung di udara. Saat itu, saat ia memilih bernyanyi dalam seleksi talent untuk tampil dalam kegiatan ulang tahun kampus. Ia dan Joshua sama, mereka bernyanyi. Gavin bernyanyi dengan tampilan gitar tangannya sendiri, sedangkan Joss, pemuda itu bernyanyi bersama teman-temannya. Seperti pesta kecil-kecilan dengan lagu One Direction yang di aransemen. Gavin tidak lupa dengan momen menyenangkan itu.
Pandangan mereka tidak pernah bertemu, tapi cukup untuk membakar nadi Gavin seperti bara dengan eksistensinya. Dan saat itu, ia tidak pernah merasa terganggu atau terguncang, apalagi terpikat, apa karena dalam konteks soulmate, hal itu tidak akan bisa terpicu tanpa melihat ke dalam mata satu sama lain?
Tapi apa yang lucu adalah, pada akhirnya, mereka berdua tidak pernah terpilih untuk tampil. Walaupun dulu ayahnya selalu saja memuji suaranya yang indah, tapi Gavin tidak pernah merasa memiliki bakat itu. Beberapa kali ia bermimpi bernyanyi untuk tampil di tempat luas, memiliki banyak penonton, namun semuanya tak pernah tercapai. Cukup untuk membuatnya sadar bahwa di dunia ini, masih banyak orang-orang 'berbakat', bukan dirinya.
Bajingan.
Gavin menendang batu kecil di dekat kakinya, dan batu itu memantul lalu menghilang ke sisi gelap lapangan. Ia menggertakkan giginya.
Mulutnya mulai menggumamkan lirik-lirik lagu yang ia sukai akhir-akhir ini, suaranya lenyap dalam deru angin malam yang semakin terasa dingin. Sungguh, ia suka bernyanyi.
Ponselnya tiba-tiba bergetar. Sebuah notifikasi masuk. Hal tidak penting tentang gumaman Nardi lagi, atau link threads dari komunitas marah-marah yang dikirim oleh Bima. Tapi itu cukup untuk membuat Gavin tertawa sejenak.
YOU ARE READING
Hierarchy: Enigma (JossGawin) - Part 1 End
FanfictionDi dunia di mana soulmate seharusnya mengikuti aturan alam, Gavin dan Joshua menemukan diri mereka terikat oleh sesuatu yang seharusnya mustahil, dua Alpha dengan satu ikatan. Gavin yang logis dengan pendiriannya dan Joshua yang penuh rahasia harus...
04. Enigma?
Start from the beginning
