Raka menatap punggung Nadia yang menjauh, lalu menundukkan kepalanya. Ada sesuatu yang menyesakkan di dadanya, tapi ia bahkan tidak tahu bagaimana cara mendefinisikannya. Tangannya mengepal di atas meja, matanya kembali menatap layar laptop, tetapi huruf-huruf yang biasanya begitu mudah ia pahami kini terasa seperti sekumpulan kode kosong tanpa makna.
Suara langkah kaki Nadia semakin menjauh.
Raka meremas pelipisnya. Apa yang sebenarnya dia harapkan? Nadia selalu ekspresif, selalu jujur dengan perasaannya. Sementara dia... dia bahkan tidak bisa memberikan jawaban sederhana untuk pertanyaan yang seharusnya mudah.
Bodoh.
Jari-jarinya mengetik asal, mencoba mencari celah di sistem NeuroLink, mencari cara untuk menyelamatkan ingatan mereka—tetapi konsentrasinya kacau. Wajah Nadia masih terbayang di kepalanya. Kilatan kecewa di matanya. Nada suara yang sedikit bergetar di akhir kalimat.
Lo pernah beneran mikirin gue, nggak?
Pernah, jawab Raka dalam hati. Lebih dari yang dia sadari.
Tapi itu bukan jawaban yang bisa dia berikan.
Sial.
Raka mendorong kursinya ke belakang dan berdiri. Dia tidak tahu kenapa. Tetapi kakinya melangkah keluar dari ruang kerja, menuju kamar Nadia. Tangan kanannya terangkat, hampir mengetuk pintu—tetapi dia ragu.
Apa yang bisa dia katakan?
Nadia pasti masih marah. Atau kecewa. Atau apa pun itu yang membuatnya meninggalkan meja makan begitu saja.
Raka menunduk, telapak tangannya mengepal di sisi tubuhnya. Ia bisa saja mengetuk pintu itu sekarang, tapi kalau yang keluar dari mulutnya hanya omong kosong soal algoritma dan variabel lagi, itu tidak akan mengubah apa pun.
Dia menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. Oke. Jika dia tidak bisa memberi jawaban sekarang, dia harus mencari cara lain untuk memastikan bahwa semuanya tidak berakhir seperti ini.
Bahwa mereka tidak berakhir seperti pasangan-pasangan sebelumnya.
Tanpa suara, Raka berbalik dan kembali ke ruang kerja. Kali ini, dia menutup semua dokumen yang ada di layar laptopnya dan mulai mengetik dari awal. Jika SoulmateSync menghapus memori mereka setelah kontrak selesai, maka dia harus menemukan cara untuk menyelamatkan ingatan mereka sebelum itu terjadi.
Dan jika dia gagal?
Raka menatap layarnya dengan rahang mengeras.
Maka setidaknya, dia harus menemukan cara untuk bertemu dengan Nadia lagi—bahkan jika mereka sama sekali tidak mengingat satu sama lain.
Raka menatap kode-kode di layar dengan rahang mengeras. Pikirannya berusaha fokus, tetapi bayangan Nadia terus menghantuinya. Wajahnya. Tatapan matanya. Nada suaranya saat bertanya, "Lo pernah beneran mikirin gue, nggak?"
Sial.
Dia mencoba membenamkan diri dalam pekerjaannya, mencari celah dalam sistem SoulmateSync. Jika aplikasi itu bisa menghapus memori, pasti ada cara untuk menyelamatkan ingatan mereka sebelum itu terjadi. Ia tidak bisa membiarkan semua ini berakhir begitu saja.
Bukan hanya karena rasa ingin tahunya terhadap algoritma, tapi…
Raka menarik napas dalam.
Dia tidak bisa membiarkan Nadia menjadi seseorang yang hanya bisa ia ingat lewat bayangan samar yang terasa asing.
Jemarinya kembali mengetik. Kali ini, bukan untuk memahami sistem, tetapi untuk melawannya.
----
Nadia duduk di pinggir ranjangnya, menatap layar ponselnya dengan perasaan kacau. Ia membuka akun media sosialnya, melihat postingan terakhirnya bersama Raka. Puluhan ribu likes dan komentar membanjiri unggahannya.
Pasangan favorit banget!
Chemistry mereka asli nggak sih? Kok gemesin banget!
Pernikahan impian!
Nadia tersenyum miris.
Jika orang-orang tahu kebenarannya, mereka pasti tidak akan berkata seperti itu.
Jemarinya melayang di atas tombol ‘hapus postingan’, tapi ia ragu.
Sial. Kenapa semua ini terasa lebih nyata daripada yang seharusnya? Kenapa perasaan yang seharusnya hanya bagian dari kontrak mulai terasa seperti sesuatu yang benar-benar ia pedulikan?
Kenapa Raka tidak bisa melihat itu juga?
Pintu kamar Nadia tidak diketuk, tapi dia bisa mendengar langkah kaki seseorang di luar. Raka.
Dia tidak perlu membuka pintu untuk tahu bahwa laki-laki itu tidak akan mengatakan apa pun. Raka mungkin hanya berdiri di sana, berpikir, lalu kembali ke dunianya sendiri.
Nadia mengusap wajahnya.
"Gue jatuh cinta sendirian, ya?" gumamnya pelan.
Tidak ada jawaban. Tidak ada suara dari balik pintu.
Dan entah kenapa, itu jauh lebih menyakitkan.
Nadia menarik napas panjang, lalu mengembuskannya dengan berat. Ia ingin menangis, tetapi matanya tetap kering. Mungkin karena ini bukan pertama kalinya ia merasa seperti ini—berjuang sendiri, berharap sendiri, sementara orang yang ia harapkan bahkan tidak mencoba menggenggam tangannya.
Ponselnya bergetar. Notifikasi dari Mia.
Mia: "Nad, lo nggak apa-apa?"
Nadia menatap pesan itu lama. Jari-jarinya ingin mengetik jawaban jujur, ingin meluapkan semuanya, tapi ia tahu konsekuensinya. SoulmateSync melarangnya membicarakan kontrak. Lagipula, apa yang bisa ia katakan? Bahwa dia jatuh cinta pada suaminya sendiri, tapi tidak yakin apakah laki-laki itu merasakan hal yang sama?
Alih-alih menjawab, Nadia meletakkan ponselnya ke samping. Ia merebahkan diri, menatap langit-langit kamar yang kosong. Dalam pikirannya, ia berharap Raka mengetuk pintu dan mengatakan sesuatu—apa saja.
Tapi seperti yang ia duga, langkah kaki itu akhirnya menjauh.
Dan Nadia dibiarkan sendirian dengan pikirannya yang semakin kacau.
KAMU SEDANG MEMBACA
Soulmatesync: Married by Algorithm
RomanceKetika aplikasi AI SoulmateSync menegaskan bahwa Raka-programmer jenius anti-sosial-dan Nadia-content creator ceria nan spontan-adalah pasangan sempurna, mereka hanya bisa menatap layar dengan satu respons: ERROR 404: ROMANCE NOT FOUND. Namun, tawar...
