J Corporation
Suasana ruangan itu hening, hanya diisi oleh suara pendingin ruangan yang berhembus pelan. Meja besar di tengah ruangan tampak sama seperti biasanya, tetapi bagi Seulgi, semuanya terasa lebih menyesakkan—atau mungkin ia hanya terlalu marah untuk berpikir jernih.
Seulgi berdiri di depan meja itu, bahunya menegang, rahangnya mengatup erat, dan matanya menatap tajam ke arah sosok yang duduk di kursi eksekutif dengan ekspresi datar—terlalu datar untuk seseorang yang baru saja menghancurkan dunia Seulgi dalam hitungan detik.
"Aku tidak tahu sejak kapan kau pandai berbohong."
Suara Seulgi bergetar, bukan karena takut, tapi karena amarah yang mendidih dalam dirinya. Tangannya mengepal kuat di sisi tubuhnya, kukunya hampir menekan ke telapak tangan. Selama ini, dia pikir mereka sama. Seulgi pikir Jaeyi adalah pegawai yang berjuang dari bawah, naik jabatan dengan kerja keras, tanpa ada privilese keluarga.
Tapi kenyataannya?
Yoo Jaeyi adalah pewaris perusahaan ini.
Bukan hanya sekadar pegawai yang bekerja keras naik jabatan, tapi seseorang yang seharusnya bisa langsung duduk di kursi itu tanpa perlu melalui semua proses yang dijalani pegawai lain.
Dan yang paling menyakitkan?
Jaeyi tidak pernah bilang.
Seulgi terkekeh kecil, getir. "Jadi, selama ini aku ini apa bagimu?" Tatapannya penuh kemarahan dan kekecewaan yang bercampur menjadi satu. "Kau menikmati semua ini dengan melihatku berusaha mati-matian mendapatkan posisiku, sementara kau bisa memiliki semuanya sejak awal?"
Jaeyi masih tetap duduk tegak, tatapannya tak goyah. "Aku tidak pernah meminta perlakuan khusus, Seulgi."
"Persetan dengan itu, Yoo Jaeyi!" suaranya meninggi, matanya membara. "Kau bisa mengatakan apa pun sekarang, tapi tetap saja, kau pemilik J Corporation!" Nafasnya memburu, tangannya semakin mengepal. "Dan aku? Aku hanya orang bodoh yang percaya bahwa kita berada di posisi yang sama."
Keheningan menggantung di antara mereka.
Jaeyi tidak menjawab, dan Seulgi merasa seolah-olah dadanya semakin sesak. Entah karena marah, kecewa, atau karena sesuatu yang lebih dalam dari itu.
Jaeyi tidak bereaksi. Tatapan matanya tetap tenang, bahkan terlalu tenang untuk situasi seperti ini. Dia menyandarkan punggungnya ke kursi, jemarinya saling menggenggam di atas meja. Seolah-olah, dia sedang menunggu Seulgi meluapkan semua amarahnya.
"Aku tidak berbohong."
Seulgi mendengus, menertawakan jawaban itu dengan sinis. "Kau tidak berbohong?"
Tangannya terangkat, menunjuk ke sekeliling ruangan—ruangan yang hanya dihuni oleh seseorang dengan jabatan tertinggi.
"Lalu ini apa?" Tatapan Seulgi tajam, menusuk. "Kau bilang kau hanya pegawai biasa. Kau bilang kau tidak ada urusan dengan keluargamu. Tapi sekarang kau di sini, duduk di kursi itu, seolah-olah ini memang tempatmu sejak awal."
Jaeyi tetap diam.
Seulgi merasa darahnya mendidih. Nafasnya bergetar saat dia mengepalkan tangan lebih erat, berusaha meredam emosi yang sudah memenuhi dadanya.
"Aku benci kau."
Suara Seulgi terdengar lebih pelan kali ini, hampir seperti bisikan. Tapi di dalamnya, ada ketulusan yang tidak bisa ia sembunyikan.
Untuk pertama kalinya, ekspresi Jaeyi berubah.
Hanya sedikit—hanya sekejap. Tapi cukup bagi Seulgi untuk melihat celah kecil dalam pertahanan sempurna yang selama ini selalu Jaeyi tunjukkan.
Mata Jaeyi menyipit, seakan mencoba memahami perasaan Seulgi. Bibirnya terbuka sedikit, seperti ingin berbicara, tapi pada akhirnya… tidak ada satu kata pun yang keluar.
Seulgi menghela napas panjang. Selesai sudah.
Tanpa berkata apa pun lagi, ia berbalik, bersiap meninggalkan ruangan ini—mungkin juga meninggalkan Jaeyi untuk selamanya.
Namun, sebelum jarinya menyentuh gagang pintu, sesuatu menghentikannya.
Sebuah tarikan di pergelangan tangannya.
Seulgi terhenti.
Jemari Jaeyi yang dingin menggenggamnya erat, menahannya agar tidak pergi. Bukan hanya sekadar menahan, tetapi seolah mengikatnya di tempat.
"Kau bilang kau membenciku."
Suara Jaeyi terdengar lebih pelan kali ini, lebih dalam. Ada sesuatu di balik nada suaranya—bukan penyesalan, bukan permintaan maaf, tetapi sesuatu yang lebih dari itu. Sesuatu yang tidak bisa Seulgi pahami.
Jaeyi menariknya sedikit lebih dekat.
Lebih dekat.
Sampai Seulgi bisa merasakan napas Jaeyi menyapu kulitnya, hangat tapi menusuk dalam waktu yang sama.
Sampai jemari Jaeyi yang dingin terangkat, menyentuh pipinya.
Seulgi menegang, tapi ia tidak menghindar.
Jaeyi mengusap kulitnya perlahan, ibu jarinya menyapu sisa amarah yang masih tersisa di wajah Seulgi. Tatapannya tetap tak tergoyahkan, tetapi kali ini ada sesuatu yang berbeda di dalamnya—sesuatu yang lebih dalam dari sekadar ego atau ketenangan palsu.
Jemarinya turun, berhenti tepat di sisi bibir Seulgi, mengusapnya pelan.
Seulgi menahan napas.
Dadanya terasa penuh oleh sesuatu yang tidak bisa ia artikan.
"Kau boleh marah. Kau boleh kecewa." Jaeyi berbisik, nadanya begitu tenang namun menusuk langsung ke dalam dada Seulgi.
Lalu, Jaeyi mencondongkan tubuhnya lebih dekat.
Lebih dekat.
Sampai jarak di antara mereka nyaris tidak ada.
"Tapi jangan pernah tinggalkan aku."
Seulgi memejamkan matanya sejenak.
Sial.
Kenapa, dari semua orang, yang selalu berhasil menghancurkan pertahanannya… hanya Jaeyi?
KAMU SEDANG MEMBACA
Beside the Office Desk ‐ Jaeyi Seulgi [END]
FanfictionYoo Jaeyi & Woo Seulgi-dua orang dengan posisi penting di J Corporation, tapi kerja bareng mereka? Chaos. Adu argumen dan saling nyebelin udah jadi makanan sehari-hari. Jaeyi yang tenang dan perhatian selalu tahu cara bikin Seulgi kesel, sementara S...
![Beside the Office Desk ‐ Jaeyi Seulgi [END]](https://img.wattpad.com/cover/391500363-64-k369707.jpg)