Darah Kemenangan

70.9K 5.7K 535
                                    

Delapan jam sebelumnya...

"Neng, Abang kangen!"

Aku menoleh ke suara yang kuhapal mati. Zeid!

Tanpa banyak bicara aku menghambur ke pelukannya. Langsung terisak. Jejeritan sampai dalam taraf nangis yang kata orang nangis bombay. Nyesek banget rasanya.

Apa peduliku jika ternyata ingus dan air mataku ngotorin seragam kebanggaannya. Apa peduliku jika setelah ini aku harus ngelaundry seragamnya di tempat paling mahal. Gak peduli walau biayanya bikin tabunganku tersisa sedikit di atas limitnya.

"A-bang ke-ma-na aja?" tanyaku dalam isakan. Sesenggukan. Terbata.

"Abang gak ke mana-mana. Di sini aja," sahutnya sambil menunjuk dadaku. Kalau lelaki lain yang menunjuk dadaku, jangan harap! Pasti sudah merasakan tonjokan sangarku di wajahnya. Kali ini beda kasus. Beda! Dia tunanganku, calon suamiku tercinta. Kapten Aqlin Zeid Ilyasa.

"Ta-pi, Ghe-a gak bi-sa liat A-bang!"

"Abang emang bukan buat diliat, Ghea! Tapi, cukup dirasain," Zeid mengusap rambutku.

"Tapi, Ghea maunya ngeliat!" kataku ngotot.

"Kan sekarang udah liat," balasnya sambil tersenyum. Menyentuh ujung rambutku yang menjuntai dan menyelipkannya ke belakang telinga.

"Tapi, jarang!"

"Kalo sering nanti kamunya bosan!"

"Engga bakalan!" kataku menaikkan suara beberapa oktaf.

Zeid tertawa, "Kamu gak berubah, Neng! Masih ngegemesin, polos, ngototan, dan galak!"

"Gak papa banyak jeleknya, toh Abang juga mau sama Ghea. Terikat malah!"

"Ya...ya, Abang terikat sampai mati padamu, Ghe! Jangan lupa itu!"

"Lalu?"

"Apanya yang lalu?"

"Ghea maunya Abang brenti aja jadi pilot!"

Zeid mengernyitkan dahi. Kalo orang lain akan terlihat seperti menua karena kernyitannya. Sebaliknya, untukku Zeid selalu keliatan begitu gagah saat dahinya mengernyit dan bibirnya mengerucut gara-gara ucapanku setiap kali adu debat dan konfrontasi soal pekerjaannya.

"Kamu minta Abang brenti jadi pilot itu sama kayak Abang nyuruh kamu gak makan pempek lagi, Ghe!" katanya sambil tetap mengucek rambutku yang sekarang bersandar membelakanginya. "Meskipun mulut Abang ampe berbuih nasihatin kamu kalo cairan yang kamu sebut cuko itu asem dan pedasnya minta ampun, yang kapan aja bisa ngefek ke lambungmu. Emang kamu dengerin Abang?"

"Ghea sekarang udah kerja, Bang!" kataku tanpa menghiraukan argumennya. "Di hotel besar, gajinya gede! Jadi, Abang gak perlu membahayakan diri dengan pekerjaan Abang!"

"Trus kenapa gak sekalian aja kamu bilang kalo kamu yang bakal ngucapin ijab kabul depan penghulu? Dan Abang duduk manis di sampingmu sambil berlelehan air mata?"

Kali ini aku yang berbalik tidak mengerti, "Abang apa-apaan sih! Yah mana sah kalo Ghea yang ngucapinnya!" gerutuku.

"Nah gitu juga Abang, kamu pikir Abang bakal ngebiarin kamu nyari nafkah buat keluarga kita cuma karena alesan pekerjaan Abang berbahaya, Ghea?"

"Itu bukan cuma, Abang! Itu berbahaya, pake banget!" protesku lagi.

"Semua pekerjaan itu berbahaya, Neng! Pekerjaanmu gitu juga. Kalau sewaktu-waktu kamu terkurung dalam lift hotel dan gak ada orang yang bisa kamu kontak terus mati kehabisan oksigen di dalam lift, bukannya sama bahayanya?"

Anesthetized [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang