27. Good to See You Smile Again

6 1 0
                                        

「 𝙣𝙤𝙬 𝙥𝙡𝙖𝙮𝙞𝙣𝙜 」
0:00 ─〇───── 3:12
⇄ ◃◃ ⅠⅠ ▹▹ ↻
Lady Gaga - Always Remember Us This Way

꒰ ・ 。゚ ✦ ・ 。゚ ꒱

Seolah belum cukup dibuat lelah setelah seharian berjalan-jalan di Istana Nijo, Mori-san tetap kukuh mengajak kami ke kafe anjing yang ia temui di Google Maps. Kafe itu berjarak cukup dekat dari hotel kami, tapi sudah beberapa kali kami salah mengambil jalan karena kafe ini berada di dalam sebuah gang sempit. Selain itu, model bangunannya tak mencolok, hampir sama dengan rumah-rumah warga di sekitarnya. Namun, aku menikmati jalan-jalan di Kyoto malam ini. Atmosfernya masih sama seperti terakhir kali aku berkunjung ke Kyoto bersama keluargaku. Jalan-jalan sempit yang berliku, rumah-rumah kayu, daun-daun keemasan yang mulai berguguran, dan udara yang sejuk.

Meski begitu, aku tak tahu apakah ini adalah keputusan yang baik atau buruk. Kafe ini nyaman, interiornya sederhana cenderung minimalis, anjing-anjing yang ada di sini ramah dan lucu, makanannya juga enak--standar masakan rumahan Jepang. Aku ingin menikmati momen ini, sungguh. Namun, ketika pintu dibuka dan menampakkan orang-orang di dalamnya, mataku tak bisa mengalihkan fokus dari seseorang yang duduk di meja pojok, tengah bermain dengan seekor anjing bersama teman-teman sekelompoknya. Ia tertawa lepas, senda gurau mengudara, senyum yang kurindukan iti terpancar lagi. Sejak melihat keberadaannya, pandanganku seolah ditarik oleh magnet tak kasat mata yang ada pada dirinya.

Aku sudah ikhlas dengan semuanya. Itu adalah keputusan terbaik yang bisa kuambil pada saat itu, karena memang pada kenyataannya hingga hubungan kami berjalan setengah tahun, otakku masih tidak bisa memproses kenyataan bahwa pacar pertamaku adalah seorang perempuan. Aku sendiri benci mengakui bahwa aku benar-benar jatuh cinta padanya dan tak bisa menyembunyikan kebahagiaan yang muncul kala berada di sisinya. Aku harus menerima diriku sendiri lebih dulu sebelum menerima orang lain di hidupku.

Ini bukan soal aku. Aku khawatir padanya. Aku khawatir kehadiranku akan meredam tawanya. Aku khawatir dia kembali memikirkan tentangku di saat ia sudah bisa melanjutkan hidupnya dengan normal tanpaku.

"Ueda-san?" Suara Mori-san membuyarkan lamunanku. Wajahnya melongok ke depan wajahku, membuatku sedikit meloncat dari tempat dudukku. Aku baru sadar bahwa aku telah menganggurkan stengah porsi steik hamburger dan nasi yang kini sudah dingin.

"Ahh, Nakagawa-san?" tebak Yamada-san dengan suara dipelankan.

Aku hampir meloloskan seruan kaget, tapi kutahan, jadi yang timbul hanya kerutan dahi. Tak ada yang tahu kami pernah berpacaran.

"Kalian dekat di tahun pertama 'kan?" lanjutnya lagi.

"Iya, kami cukup dekat dulu," jawabku.

Kami bukan hanya cukup dekat, kami sangat dekat.

"Apakah kalian bertengkar atau semacamnya?" selidik Kayano-san.

"Eh, tidak kok." Aku melambai-lambaikan tangan.

"Kami cuma beda kelas, dan dia sibuk di klub basket," jelasku lebih lanjut.

Memang tak pernah ada konflik di antara kami, mungkin hanya aku yang mengacaukan hubungan kami.

Meski wajah ketiga temanku masih menyiratkan rasa penasaran, aku segera mengalihkan topik pembicaraan.

Tempo hari lalu, di musim panas, dia mengunjungi kafe maid tempat kerjaku. Meski ia datang bersama seniornya dan memesan makanan seperti pelanggan pada umumnya, tampak sekali ia berusaha mencariku di sekeliling kafe. Aku terkejut. Padahal aku tak pernah memberi tahu pekerjaanku padanya, lantas aku teringat bahwa seniornya adalah langganan kafe kami.

Apakah dia masih belum move on dariku? Bukankah banyak orang yang menyukainya? Dia bisa dapat yang jauh lebih baik dariku.

Kala itu aku mengajaknya bertemu. Mungkin, ada sesuatu yang ingin dia bicarakan.

Di pertemuan itu kami berbicara banyak hal. Tak ada topik khusus, tapi aku senang karena rasanya percakapan kami masih hangat seperti saat kami berteman dulu. Jika ia mau memaafkanku dan kembali berteman denganku, aku akan dengan senang hati menerima.

Apakah sejak saat itu ia sudah menerimaku lagi sebagai teman?

Harusnya, sih, iya. Dia tampak baik-baik saja saat kami mengungkit alasan kami putus. Bahkan ia menanyakan hubunganku dengan Saito--mantanku setelah dengannya. Atau mungkin aku yang kurang peka?

Pikiranku kalut, aku harus segera memastikannya. Maka, setelah kami selesai makan dan melihat rombongannya juga baru saja beranjak, aku buru-buru keluar.

"Emiko!" seruku, membuat semua temanku menoleh.

Sang gadis jangkung berambut bondol bersama kawan-kawannya juga menoleh. Wajahnya kebingungan, lalu saat mata kami bersirobok wajahnya berubah cerah, membuat senyumku ikut mengembang lebar. Ia melangkah menghampiriku.

"Haruki!" Awalnya kedua tangannya terentang, kelihatan seperti ingin memelukku, tapi sedetik kemudian ia mengangkat tangan kanannya lebih tinggi, mengajak tos. Aku pun segera menyambarnya.

Kami berbincang banyak tentang karyawisata ini dan kembali ke hotel bersama. Aku senang melihat senyum itu kembali terukir. Hangat, menyenangkan, tak ada yang berubah. Mungkin, dia memang sudah berdamai dengan kenyataan. Atau mungkin dia memang sudah menemukan orang yang tepat? Apa pun itu, aku bahagia untuknya.

꒰ ・ 。゚ ✦ ・ 。゚ ꒱

DAY 27
Buka website https://arimotravels.com/random-generators/random-place-generator-world/ lalu scroll ke bawah hingga menemukan tombol "Discover A Place". Klik tombol tersebut. Buatlah cerita dengan latar tempat sesuai tempat yang didapat.

 Buatlah cerita dengan latar tempat sesuai tempat yang didapat

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

꒰ ・ 。゚ ✦ ・ 。゚ ꒱

Akhirnya aku bisa nulis panjang di DWC lagi. Ini bisa dibilang lanjutan dari "The Fragrance that Holds Our Memories Together", tapi dari POV Haruki, sama kayak day 1. Ga kerasa Februari udah mau habis aja.

[27/02/25]

Days of the AdolescentsWhere stories live. Discover now