~~~
.
Angin malam berbisik lembut, membawa aroma embun yang menyusup di antara dedaunan yang bergoyang pelan. Cahaya lampu taman menerpa wajah Radeeva dalam siluet keemasan, menciptakan bayangan samar yang seolah menari bersama luka yang masih mengendap di matanya. Ia duduk di bangku kayu yang dingin, namun yang terasa justru dinginnya kenangan-genggaman terakhir Eyang yang masih membekas di ujung jemarinya, seakan nyawanya sendiri ikut terenggut bersama kepergian sang sosok terkasih.
Di sebelahnya, Nares belum mengucap sepatah kata pun. Pandangannya tak lepas dari Radeeva, menyelami emosi yang mengambang di udara di antara mereka. Ada kehangatan di sana, tapi juga kesedihan yang samar, seperti jejak hujan yang tak kunjung mengering.
Nares menatap langit sejenak, mengembuskan napas pelan. Udara malam terasa lebih dingin, tapi tidak menusuk-lebih seperti sentuhan lembut yang mengingatkan bahwa dunia terus berputar, meskipun ada hal-hal yang ditinggalkan di belakang.
Lalu ia kembali menoleh ke Radeeva yang masih diam, sebelum bersuara.
"Kamu tahu," katanya akhirnya, suaranya rendah, nyaris seperti bisikan yang menyatu dengan hembusan angin. "Di Mongolia, ada satu kepercayaan di antara para pengelana. Mereka percaya kalau seseorang yang pergi dari dunia ini nggak benar-benar hilang. Mereka cuma berubah bentuk, jadi angin yang berembus melintasi padang rumput, mengikuti langkah-langkah orang yang mereka cintai."
Radeeva mengangkat wajahnya sedikit, sorot matanya masih penuh dengan kehilangan yang belum benar-benar bisa ia lepaskan.
"Mereka bilang," lanjut Nares, "kalau kamu berdiri di tempat yang sepi, di tanah luas tanpa batas, dan biarin angin nyentuh kulitmu... di situlah kamu bisa ngerasain mereka. Mereka bukan cuma bayangan di ingatan, bukan cuma suara di kepala. Mereka ada di setiap hembusan udara yang kamu hirup, di setiap desir yang menyapu kulitmu. Mereka nggak benar-benar ninggalin kamu-mereka cuma berkelana, tetap mengitari orang-orang yang mereka sayangi, dengan cara yang berbeda."
Mata Radeeva berkaca-kaca, tapi bukan hanya karena kesedihan. Ada sesuatu dalam kata-kata itu yang menyusup ke dalam dirinya, sesuatu yang menenangkan dalam cara yang sulit dijelaskan.
"Kamu pernah ke sana?" tanyanya pelan.
Nares tersenyum tipis, mengangguk. "Pernah. Aku pernah berdiri di padang luas yang nyaris nggak ada ujungnya, cuma aku, langit, sama padang itu sendiri, nggak ada suara apa pun kecuali angin yang terus gerak di sekitar. Dan justru di situ, aku ngerasa... nggak benar-benar sendirian. Seolah ada sesuatu yang ngelilingin aku, lebih besar dari yang bisa aku lihat."
Ia menoleh ke Radeeva, menatapnya dengan mata yang sarat makna. "Mungkin, Eyangmu juga begitu sekarang. Dia nggak benar-benar pergi, dia cuma berubah bentuk. Mungkin, setiap kali angin sentuh kamu dengan lembut, itulah cara beliau bilang kalau beliau masih ada, dengan cara yang nggak lagi bisa kita lihat, tapi selalu bisa kita rasain."
Radeeva masih terdiam, membiarkan kata-kata Nares meresap dalam dirinya. Entah sejak kapan, udara malam yang dingin tak lagi terasa menusuk. Mungkin karena kehangatan yang perlahan menyelinap dalam hatinya, atau mungkin karena cara Nares menatapnya-seolah ingin memastikan bahwa ia baik-baik saja.
Tanpa banyak bicara, Nares melepas jasnya. Ia mengulurkan itu ke Radeeva, lalu tanpa ragu, menyampirkan di bahunya sendiri. "Nih pake," katanya singkat, suaranya lembut tapi tegas.
Radeeva mengerjap, sedikit terkejut dengan gestur itu. "Aku nggak-"
"Iya," potong Nares, menyeringai tipis. "Seenggaknya biar nggak digigit nyamuk, disini banyak nyamuk."
KAMU SEDANG MEMBACA
Everywhere, You (JAEMREN)
RomanceDunia luas, tapi jejak langkah Nareswara selalu berujung pada sosok yang sama-seperti bayangan yang tak sengaja terpantul di jendela kereta, seperti melodi asing yang tiba-tiba terasa akrab. Pertemuan pertama hanyalah angin lalu, kedua terasa sepert...
