10 Being a Mascot

Start from the beginning
                                    

***

Aku menaiki tangga gedung serbaguna dengan tidak semangat. Di tanganku, kertas yang berisi data kelas, negara, dan namaku –sebagai maskot—sedikit kusut karena nyaris kuremukkan, kurobek-robek, atau kugelontor ke toilet kamar mandi. Kertas itulah yang harus aku setorkan ke panitia festival di ruang OSIS. Perlu kuceritakan, setelah puas dengan menjadikanku maskot, mereka ingin aku mengantarkan formulir terisi ini ke ruang OSIS. Sungguh tega teman-temanku itu.

"Bel?" suara bariton seseorang memanggil namaku dari ujung tangga, membuatku menoleh ke belakang untuk memastikan siapa yang memanggilku.

Oh Tuhan! Kak Rakana!

"Eh iya, Kak," kataku sopan dan menjaga imageku.

"Mau ke ruang OSIS?" tanyanya santai. Tapi tingkat santainya itu membuatku malu setengah mati. Apa dia sudah lupa telah mempermalukan aku tentang Backstep Dolyo itu?

"Iya, Kak," aku memilih menjawabnya dengan singkat untuk menghindari kenyataan bahwa suaraku bergetar kerena grogi. Bagaimana tidak, dipermalukan –mempermalukan diri sendiri—dan disejajari langkahnya dengan orang yang kau suka? Angin yang berhembus dari jendela meniup helai-helai rambutku juga menyebarkan wangi khas Kak Rakana ke hidungku, segar. Pintu ruang OSIS telah tampak, pelitur coklatnya seperti akhir dari degup jantungku. Karena si ambang pintu itulah kebersamaanku dengan Kak Rakana akan berakhir.

"Tok tok.." ujar Kak Rakana menirukan suara orang mengetuk pintu di sebelahku yang berdiri tepat di depan pintu ruang OSIS

Di sebelahku?

"Kenapa? Kok ngeliatin gitu? Gua juga ada urusan sama OSIS," katanya sambil melambaikan kertas yang sama dengan milikku. Mukaku pasti sudah memerah jika saja Kak Rakana tidak lebih dulu memberi tahu tujuannya. Ya, aku pasti akan bertanya atau bersikap yang aneh lagi di hadapannya. Seperti ke-PD-an mengira Kak Rakana menemaniku ke ruang OSIS misalnya. Duh, aku memang memalukan.

"Gak kenapa-kenapa, Kak. Tapi kayaknya ruang OSISnya kosong. Mungkin belum ada yang dateng," ucapku mencoba santai. Entah mengapa angin yang bertiup sepoi-sepoi tadi tidak membuat sejuk. Justru membuat aku kepanasan.

"Iya juga, masih pada di kelas mungkin... nunggu bareng aja yuk, Bel," tawar Kak Rakana padaku sambil berlalu menuju tempat duduk di koridor itu. Mukaku pasti memerah mendengar ajakan itu. Tapi, aku mengikuti Kak Rakana dan duduk di bangku yang sama dengannya.

Gak mepet. Gak mepet kok. Jangan degdegan gini ah.

"Lo ngapain ke ruang OSIS? Eh, lo OSIS ya, bego banget pertanyaan gua," suara Kak Rakana memecah keheningan. Aku mengerejap bingung, membetulkan anak rambut ke belakang telinga agar tidak mengganggu mataku yang menatap Kak Rakana.

"Engg.. bukan dalam rangka tugas OSIS sih, Kak. Ini mau ngasiin formulir festival punya kelas saya," ucapku terus terang. Suara-suara di lorong bawah terdengar, tapi tak ada yang mebawa anggota OSIS naik ke lantai sekretariat OSIS berada. Menambah alasan kesunyian di antara aku dan Kak Rakana.

"Liat boleh? Negara apa yang jadi tema kelas lo?" tanyanya sambil menguliurkan tangannya ke padaku, memecah keheningan yang untung saja tidak berkepanjangan. Aku mengerejap lagi, jari-jariku mulai kumainkan tanda gugupku. Aku memberikan kertas yang tadi nyaris ku hancurkan padanya sambil berkata dengan suara kecil, "Jepang, Kak."

"Wow, maid cafe? Kayaknya seru, lo jadi maskot?" tanyanya setelah membaca konsep kelasku.

"Iya, Kak. Aku jadi maskot. Katanya karena aku pasti sibuk, kalo jadi maskot akunya cuma tinggal duduk didandanin. Lah maskot kan identik dengan hewan-hewan atau kartun lucu. Aku jadi sebel sisamain sama kartun-kartun atau lebih parah hewan-hewan. Memang aku cocok apa jadi kartun-kartun lucu gitu? Aku langsung inget Koala's ..." aku terhenti dari ocehanku saat aku menyadari siapa yang baru saja aku ajak mengoceh.

Turun derajat lo, Bel. Gak bisa jaim dikit apa lo?

Aku menundukkan kepala, melihat lantai keramik putih dan sepatu hitam polosku. Menolak memandang Kak Rakana. Lalu melihat ujung lorong yang merupakan ujung tangga juga. Berharap siapapun akan datang dan mengeluarkan aku dari peristiwa memalukan ini. Namun koridor ini tatap sepi laiknya tak berpenghuni.

"Kok berenti, Bel, ngomongnya?" tanya seseorang di sebelahku. Siapa lagi kalau bukan Kak Rakana yang memang sedari tadi mengajakku mengobrol.

"Maaf, Kak, saya cerewet," ucapku malu-malu padanya. Masih sibuk dengan memandang arah-arah lain.

"Hahah... Gak kenapa-kenapa kok. Lucu malah," tawanya begitu renyah di telingaku. Bukan berarti tawanya seperti keripik kentang, ya begitulah. Pujiannya terhadapku memberi reaksi lain pada tubuhku. Pipiku memanas, oh jangan bilang pipiku memerah?

"Lucu..." kataku lebih kepada diriku sendiri. Apa Kak Rakana sadar yang diperbuatnya? Duh, hatiku.

"Ekhem.. Jadi maskot bukan berarti kartun atau binatang lho, Bel," hibur Kak Rakana padaku, mengalihkan topik aku yang disebutnya lucu. Tunggu, apa Kak Rakana juga salah tingkah? Kenapa harus berdeham dulu? Hal itu menimbulkan secercah keberanianku untuk kembali menatapnya. Merubah arah pandangku dari lantai putih ke wajahnya yang selalu terlihat teduh.

"Maksudnya, Kak? Aku.. eh, saya gak ngerti," tanyaku polos. Di dalam pikiranku, sosok maskot memang sudah seharusnya menjadi kartun lucu atau hewan menggemaskan.

"See? Disini tulisannya Kabuki. Tau Kabuki ga?" tanyanya padaku sambil memperlihatkan kertas milik kelasku. Di sana tertulis bahwa maskot akan didandani selayaknya Kabuki.

"Itu bukan sejenis kartun?" tanyaku padanya. Aku menggerenyit halus dan Kak Rakana tertawa. Hei, dia tertawa lagi.

"Coba search di internet," lanjutnya. Jujur, aku tidak tahu tentang Kabuki. Aku benar-benar harus mencarinya di internet pulang sekolah nanti.

"Oiya, tema kelas gua Korea. Gua juga jadi maskot, yang pasti bukan kartun atau hewan juga," Kak Rakana tersenyum memperlihatkan garis wajahnya yang tegas. Tampan dan menarik. Sinar matahari sore yang menembus jendela menambah kehangatan yang ia pancarkan dari senyumnya. Aku hanya bisa terpana melihatnya.

Suara langkah kaki dari arah tangga menghentikan kegiatan pandang-memandang kami—aku memandang Kak Rakana. Aku menyelipkan anak rambutku ke balik telinga dan mulai sibuk dengan jariku. Kak Rakana mengembalikan kertasku dan berdiri memunggungiku.

"Nih, gua mau ngumpulin ini, ke lo kan?" tanya Kak Rakana pada anggota OSIS yang tadi langkahnya terdengar dari tangga. Gumaman meng-iya-kan datang dari si anggota OSIS. Akupun buru-buru menyerahkan milik kelasku padanya. Setelah bertukar terimakasih, si anggota OSIS menyelinap masuk ke sekretariat OSIS, meninggalkan aku dan Kak Rakana di lorong.

Aku bingung hendak berpamitan seperti apa pada Kak Rakana.

"Aku... eh, saya duluan, Kak" aku memutuskan memberikan salam singkat padanya.

"Abel," panggil Kak Rakana sesaat setelah aku melewatinya. Aku menengok ke arahnya dan melihatnya menggaruk dahinya.

"Errr... Kalo lo ngerasa lebih nyaman beraku-kamu, atau yaaa... aku-kakak, it's okay. Gak akan ngelarang kok," ucapnya cepat lalu bergegas pergi meninggalkan aku dengan kupu-kupu yang berterbangan di perutku.

Yeay part 10.

Ada yang nunggu gak sih??

Part ini memang gak ada taekwondonya hehehe. Maaf ya readers sekalian. Next part bakal aku bikin ada taekwondonya.

Tapi part ini romantis gak? Ada yang penasaran Kak Rakana jadi maskot gimana bentuk rupanya? Kelas dia temanya negara asal taekwondo lhooo..

Stay tune di ceritaku, ya :p

Gomapsemnida J J J J

2T6

TaeKwonDo Love StoryWhere stories live. Discover now