Prolog

1 0 0
                                        

Pandu terlena, kaki nya terdiam kaku. Ia melihat kesekelilingnya dengan panik, pemandangannya kabur oleh debu yang berserakan dimana-mana.

Bagaimana? Kenapa? Ia ada di tengah peperangan seperti ini?

Belum sempat ia berlarut dalam pemikiran nya, ia melihat sebuah pemandangan aneh di hadapannya.

Itu... Siapa? Kenapa beliau ada disini?

Seperkian detik kemudian, matanya terbuka lebar saat melihat seseorang dengan baju khas perang yang desainnya sangat khas milik penjajah zaman dahulu. Sebuah senapan panjang membidik tepat di belakang Kakek tua yang terlihat sedang sangat kelelahan terduduk di tengah lapang itu.

"Mbah... Lari mbah!!"

"Pandu..." Sebuah suara datang tak berpemilik. Pandu hanya bisa mendengar suara seseorang yang memanggil namanya.

"Mbah!"

"Pandu!" Suara itu kembali, memanggil dirinya yang masih meneriaki sang Kakek tua, di tengah teriknya lapangan gurun pasir yang sangat berantakan itu.

Ia melihat ke sekeliling dengan panik. Tak ada siapapun disana, hanya Pandu, dan pemandangan Kakek tua dihadapannya yang hampir mati itu. Semuanya berantakan, mereka seakan berada ditengah-tengah pusaran angin yang membawa debu pasir. Tiba-tiba Pandu merasa penglihatan nya menghitam.

Tubuhnya seakan lemas tak berdaya.
Ia pun terjatuh dan pingsan.

"Pandu... Pandu!" Sebuah suara membangunkan netra anak lelaki yang sedang tidur di salah satu bangku bus pariwisata. Buku Sejarah favoritnya terbuka lebar di pangkuan sang empu, menandakan bahwa ia tertidur selagi membaca saat di perjalanan tersebut.

"Udah nyampe, nih! Ayo turun." Pria gemuk itu pergi terlebih dahulu, berjalan menuju pintu keluar bus usai membangunkan teman seperbangkuannya.

"Oh! Iya iya. Terimakasih, Ndre!" Di pandangnya bus yang memang sudah sepi itu. Teman-temannya sudah berkumpul di sebelah bus tersebut, bisa dilihatnya sekilas melalui jendela di sebelahnya.

Dengan gerakan cekatan, dimasukkan buku di pangkuannya itu ke dalam tas miliknya. Ia merapikan dasi sebentar, sebelum bangkit dan berjalan menuju pintu keluar bus.

Langkahnya yang tegas, memancarkan kebijaksanaannya. Bahunya yang lebar selalu tegap. Rasa keingintahuan dan minat belajarnya yang tinggi selalu menjadi pendorong bagi dirinya untuk mempelajari hal-hal baru. Menjadikan dirinya memandang dunia sebagai hal yang masih banyak menyimpan misteri yang harus dipecahkan dan dipelajari.

Ia adalah Raden Pandu Wicaksana. Remaja yang berstatus sebagai pelajar SMA. Dengan nama Raden dan marga Wicaksana, ia sering dipertanyakan perihal keturunan kebangsaan nya. Yang bahkan ia sendiri pun tak tahu menahu.

Dipandangnya gerombolan kelasnya di halaman parkiran. Tergerak langkahnya untuk menuju gerombolan tersebut. Sesaat kemudian, muncullah guru pembimbing mereka- Pak Rato. Dengan peci yang selalu melampir di atas kepala nya yang botak.

"Ayo, Ayo! Semuanya baris!" Dengan suaranya yang menggelegar, kerumunan tak beraturan itu segera mengambil barisannya masing-masing.

Pandu mengambil barisan paling depan. Tak akan dilewatkannya kesempatan untuk belajar sejarah, pelajaran favoritnya.

"Baik anak-anak, sekarang kita sedang berada di Tugu Pahlawan, Surabaya. Tugu ini merupakan tugu yang dibangun untuk menghormati pahlawan-pahlawan yang telah gugur saat memperjuangkan ideologi bangsa."

Pak Rato terus menjelaskan tentang tugu ini secara umumnya.

Sementara itu dibarisan belakang, di isi dengan anak-anak yang terkenal nakal. Namun, kenakalan mereka tak pernah terdengar guru. Kalaupun terdengar, semua orang akan mengabaikan dan menganggap nya sebagai 'hanya lelucon remaja'. Sebut saja, Antek-antek Serena.

NOESANTARAWhere stories live. Discover now