"Abang." Panggil sang ibu pada si anak sulung. "Abang masuk aja, si Teteh pasti masih di jalan pulang. Mungkin kena macet atau juga lagi nunggu taksi."

Damian menoleh kepada sang ibu, "Tapi (Name) gak biasanya gak ngabarin, bunda. (Name) pasti hubungin Abang kalo dia telat pulang."

Dari arah lain, si bungsu mendekat. "Iya juga. Teteh gak ngabadin El. Biasanya kalo gak ngabarin Abang, Teteh pasti ngabarin El kan?"

Si bungsu bernama Gabriel itu menatap ke pagar rumah mereka. Ketiganya ada di depan rumah dan sama-sama menunggu kehadiran anak perempuan satu-satunya di keluarga mereka dan berharap sosok itu muncul dari balik pagar.

"Ayah sama bunda juga gak di hubungin." Sang kepala keluarga menyauti dari dalam. "Ian, coba kamu telfon Teteh, siapa tau dia kena masalah."

"Ayah jangan ngomong gitu ih. Pamali." Sang ibunda menyauti dengan helaan nafas di akhir katanya sebelum berbalik badan dan memasuki rumah.

Sementara kedua anak lelaki yang menyandang status sebagai saudara (Name) itu masih tetap berdiri di teras rumah. Walau mereka suka mengusili (Name), mereka tetap menyayanginya. Anggap saja keusilan mereka sebagai bentuk kasih sayang.

Damian Ilyas Routher. Anak pertama keluarga Routher itu mengeluarkan ponselnya dan turun untuk duduk di lantai teras rumahnya bersama sang adik bungsunya.

Namanya agak ribet untuk orang Indonesia. Tapi mah bagaimana lagi? Ibunda mereka keturunan Belanda.

"Abang, ayo cepet hubungin Teteh." Gabriel mendesak dengan buru-buru. Entah kenapa firasatnya mengatakan bahwa saudari perempuannya sedang dalam masalah.

"Iya, sabar dek." Damian berkata dengan pandangan tetap tertuju pada ponsel di tangannya.

Gabriel menunggu dengan agak tidak sabar di samping kakaknya yang lebih tua 9 tahun darinya itu. Mata coklatnya bergulir menatap ponsel Damian dan berharap nomor yang sedang di hubungi di sana dapat dengan segera tersambung.

Clik

"Halo?"

Damian dan Gabriel mengerutkan kening dan saling berpandangan begitu mendengar suara orang asing, bukannya saudari mereka.

"Em maaf, ini siapa ya? Kenapa hp Teteh saya bisa sama A'a?" Gabriel bertanya dengan sopan.

"Aduh maaf ya dek, ini saya temen kuliah (Name)."

Damian mengerutkan kening tak suka. "Ya? Lalu kenapa hp adik saya bisa sama anda? Dimana (Name)?"

"Abang, kenapa?" Ayah dan Ibu mereka menghampiri dengan raut khawatir.

Gabriel dan Damian sama-sama menggelengkan kepala mereka tanda tak tau. Mereka juga bingung mengapa ponsel (Name) bisa ada di tangan orang lain. Karena setahu mereka, (Name) tak akan mengizinkan siapapun memegang ponselnya.

"Eh.. anu, ini keluarganya (Name), kan? Ini tadi (Name) kecelakaan di jalan. Tadi ada truk yang remnya bermasalah dan menghantam tubuh (Name) dan beberapa siswa di dekatnya. Ini saya sedang di rumah sakit Siwi di jalan Apel. A'a dan keluarga, tolong segera ke sini ya. Di UGD."

Keempat orang di sana yang mendengar hal itu mau tak mau terkejut. Ibu (Name) bahkan sudah hampir menangis dan meremas lengan suaminya dengan erat.

"Ayah, putriku yah..." Wanita paruh baya itu berkata dengan khawatir.

"A'a? A'a dan keluarga bisa kesini kan?"

"Bisa!" Gabriel menjawab dengan cepat. "Saya dan keluarga kesana secepatnya!"

Dengan hal itu, mereka segera menuju ke rumah sakit dengan panik. Damian dan ibunya sudah menangis karena mengkhawatirkan kondisi (Name).

"Sayang... (Name)... Semoga kamu gapapa sayang..."

Game [Lookism]Where stories live. Discover now