Chapter 30

2.2K 128 0
                                    

Samantha's Point of View

Aku mengernyit saat kata-kata Justin yang begitu cepat memotong ucapan gadis itu. "Wanda?" Kata-katanya membuatku menolehkan kepalaku ke arahnya, memandangnya dengan sebelah alis yang dilengkungkan. Apakah Justin mengenal gadis ini? Baik aku dan gadis itu sama-sama terdiam selama sepersekian detik sebelum akhirnya Justin berdecak dan ucapannya kembali terdengar membelah udara. "Apa yang kau lakukan disini?" Ada jeda hening yang membatasi pertanyaan Justin dengan kata-kata yang selanjutnya kulontarkan.

"Apakah kau mengenalnya? Apakah kalian saling mengenal?"
"Urm? Aku rasa ini baru kali pertama kita bertemu." Gadis berambut cokelat itu mengangkat bahunya, kemudian mengalihkan pandang pada Justin. Keningnya berkerut dan wajah cantiknya dipenuhi oleh tanda tanya. "Apakah kita pernah bertemu sebelumnya? Aku adalah Levina, sepupu Melanie. Aku baru tiba di kota ini hari ini, dan sejauh yang kuingat aku sama sekali tidak mengenalmu," Gadis yang ternyata bernama Levina itu mengarahkan pandangannya pada Justin, lantas sesaat kemudian dia menatap padaku. "...dan aku mengenalmu karena aku banyak mendengar cerita tentangmu dari Mel. Kau tahu bahwa dia adalah gadis yang cerewet." Levina tertawa, membuat suara gelak yang manis mewarnai udara. Aku ikut menyunggingkan senyuman lebar karena sejujurnya Levina terlihat layaknya orang yang menyenangkan, namun diam-diam aku melirik Justin lewat sudut mataku. Dia menyipitkan mata pada Levina dengan tatapan menyelidik, kemudian menghembuskan napas perlahan.

"Maaf." Justin menghembuskan napas, "Sekilas kau mengingatkanku pada seseorang. Mungkin karena warna rambut kalian yang sama."
Wanda? Aku berpikir selama beberapa saat. Aku pernah mendengar nama itu sebelumnya—dan aku ingat bahwa Phil pernah mengatakan pada Justin bahwa aku terlihat seperti Wanda. Apa ini? Mungkinkah Justin terobsesi pada gadis berambut cokelat? Atau dia tertarik padaku karena aku terlihat seperti Wanda—namun melihat dari reaksi Justin, entah bagaimana gadis berambut cokelat selalu mengingatkannya pada Wanda. Aku mendesah. Aku tidak seharusnya memikirkan hal ini, jadi aku memutuskan menampar batinku agar berhenti memikirkan soal Wanda ataupun gadis berambut cokelat.
"Tidak apa-apa, sama sekali bukan masalah." Levina menarik sebuah senyuman tipis, membuat sebuah lesung pipi yang manis tercetak di wajahnya. Iris mata cokelat gelapnya memandang padaku, kemudian pada Justin lantas dia berdecak. "Apakah kalian berpacaran?"
Justin mengangkat wajahnya, memandang Levina lantas tangannya terulur, meraih pinggulku dan merangkulnya dengan gerakan protektif. "Ya."
"Wow! Jadi itu benar!" Levina melebarkan kelopak matanya, iris nya memandang tidak percaya padaku dan Justin, membuat kening Justin berkerut makin dalam dan lengannya menarikku makin merapat ke tubuhnya. Aku menyingkirkan rambut di tepi wajahku, menyelipkannya ke telinga dengan ekspresi canggung. "Hebat! Jadi kau benar-benar berpacaran dengan berandalan Seattle? Ini gila! Benar-benar gila! Aku tidak mengira apa yang dikatakan oleh Mel itu benar!"

"Apa masalahmu?" suara Justin berubah sinis ketika dia menatap tajam pada Levina. "Apa masalahmu soal itu, huh?"
"Tidak." Levina tertawa sambil mengibaskan tangan di depan wajahnya dengan ekspresi santai, seakan-akan sikap Justin sama sekali tidak mengintimidasinya. "Kau tahu, aku hanya suka pada segala sesuatu yang berbau bad-boy. Hot, berbahaya, namun sangat... seksi. Aku selalu mengidamkan punya pacar yang seperti itu."
"Yang benar saja," Justin berkomentar, masih dengan nada tidak suka.
"Yep," Levina mengangguk dalam-dalam dengan kedua alis terangkat tinggi. "Aku tau ini mungkin aneh. Bagaimana bisa kau menyukai seseorang yang diikuti oleh bau darah karena membunuh banyak orang, atau playboy brengsek yang gemar melakukan kegiatan seks satu malam, namun aku menyukainya."
"Apakah kau sedang menyindirku?" Aku bisa merasakan tubuh Justin menegang di sampingku. Oh sial. Pria ini benar-benar memiliki temperamen yang buruk. Aku menghela napas, lantas sebelum emosi Justin mencapai titik klimaksnya, aku meraih tangannya, menahannya untuk tetap rileks.
"Sama sekali tidak." Levina menggeleng, namun kemudian bertanya dengan polos. "Apakah kau orang seperti itu? Geez, jika iya, maka Samantha adalah kekasih yang hebat karena dia bisa membiarkanmu melakukan kegiatan one night stand maupun acara membunuh orang lain itu."

"Tidak. Tidak seperti itu," Aku menyela. "Justin bukan orang seperti itu."
"Dan karenanya kau tidak perlu marah... Justin?" Levina tersenyum. "Kau tidak perlu marah jika kau tidak seperti yang kukatakan, aku benar kan?"
"I don't give a shit."
"Well, kata-kata yang sungguh keren."
"Apakah kau pikir aku peduli?"
Levina mengangkat bahu. "Aku tidak memintamu untuk peduli."
"Anak ini," Justin menggeram, dan aku sudah bisa menebak bahwa dia akan melontarkan caci maki tanpa ragu-ragu pada Levina jika saja suara telepon yang mendadak berdering tidak menginterupsinya. Justin mendesah, menarik diri menjauh dariku untuk sesaat kemudian menjawab teleponnya. Entah karena sinyal yang buruk atau dia sengaja ingin membicarakan sesuatu yang dia tidak ingin aku ketahui, dia melangkah terlalu jauh dariku, membuatku hanya bisa berdiri mengamatinya tanpa dapat mendengar satupun kata-kata yang dia ucapkan.

"Pacarmu benar-benar galak." Suara Levina membuatku menoleh pada gadis itu, mengangkat sebelah alisku dan menatapnya. "Aku hanya bercanda, dia tidak seharusnya semarah itu."
"Dia bukanlah orang yang seperti itu, percayalah." Aku membasahi bibir bawahku. "Hanya saja akhir-akhir ini keadaan menjadi begitu berat baginya. Dia baru saja kehilangan kakak laki-lakinya."
"Kakak laki-laki? Kakak laki-lakinya meninggal?"
"Ya. Minggu lalu."
"Aku turut berduka untuknya." Levina memberikan ekspresi wajah muram. "Apa penyebab kematian kakaknya?"
Aku bisa merasakan seliter air dingin mengaliri bagian tulang belakangku. Aku menarik napas, berusaha memikirkan alasan yang bagus yang bisa kukatakan pada Levina. Tidak mungkin aku membagi masalah bisnis illegal yang dijalankan oleh Justin dan Jason pada orang yang baru kukenal seperti Levina. "Kecelakaan mobil."
"Pantas saja dia begitu galak."
"Namun jika kau sudah mengenalnya, kau akan tahu bahwa dia adalah pria yang baik."
"Pria yang baik." Levina bergumam sarkastik, namun sesaat kemudian dia mengangkat bahu. "Dia sedang kesini."

Kata-kata Levina membuatku memutar tubuh, menatap pada Justin yang berjalan dengan tergesa sembari memasukkan ponsel ke saku tuksedonya. Wajahnya terlihat muram. Gee, apakah dia baru menerima kabar buruk dari telepon yang baru saja dia jawab? Aku menarik napas, menunggunya berjalan mendekat. Iris mata cokelat madunya menatapku. "Aku tahu ini terlalu singkat, namun kupikir kita harus pulang."
"Pulang?" Aku bertanya, nyaris tersedak karena terkejut.
"Ya." Justin mengangkat bahu. "Phil meneleponku, menyuruhku untuk segera pulang." Ada masalah. Batinku bisa merasakan dengan jelas masalah itu. Aku menarik napas, menyunggingkan senyum seakan-akan tidak terjadi apa-apa. Padahal aku selalu akan menolak jika seseorang mengajakku meninggalkan pesta lebih dulu. Aku suka pesta, sama seperti aku suka belanja, namun sekarang, setelah bersama Justin entah bagaimana hal itu jadi berubah. Tidak ada pesta. Tidak ada belanja. Hal itu sama sekali tidak apa-apa selama Justin ada di sisiku. Ini benar-benar aneh.
"Baiklah." Aku mengangguk, menatap pada Levina dan tersenyum lagi. "Kami harus pergi sekarang, Levina." Justin meraih tanganku, dan dia baru saja hendak menarikku meninggalkan tempat itu ketika suara Levina kembali menghentikan langkah kaki kami.

"Tunggu!"
Justin berbalik, lantas mengerang dengan lelah. "Apa lagi?"
"Aku boleh menumpang mobil kalian kan? Kalian tahu kalau... Mel sedang sibuk. Dia tidak akan mau pulang sekarang sementara aku nyaris mati karena tuli disini. Please? Aku boleh ikut kannnnnn? Ayolaaaaaaaah..." Levina memberikan cengirannya, dengan pandangan yang sungguh-sungguh memohon, membuat terkekeh.
"Baiklah! Sebaiknya kita segera pergi sekarang!" Aku berseru lantas melangkah meninggalkan Justin yang terperangah di tempatnya. Pria itu terdiam selama beberapa saat, namun samar-samar aku bisa mendengar makiannya terlontar mengotori udara.

"What the fuck?!"

***
Author's Point of View

"Dimana Levina?" Pertanyaan itu adalah pertanyaan pertama yang dilontarkan Adam sesaat setelah dia melihat Melanie melangkah mendekatinya. Alih-alih menjawab, Melanie justru mendengus, sebelum akhirnya melipat tangan di dada tanpa sedikitpun membalas pertanyaan Adam. "Mel, aku bertanya padamu. Dimana sepupumu?" Adam bertanya lagi, membuat Melanie mengerutkan bibirnya tanpa mau menjawab kata-kata Adam sedikitpun.
"Mel..."
"Aku ada disini dan kau justru menanyakan Levina? Yang benar saja!" Melanie berdecak, kemudian dia mengulurkan jari-jarinya untuk meraih satu sloki punch sebelum akhirnya menyelipkan gelas kristal rendah itu di antara bibirnya lantas menyesap cairan alkohol yang berada di dalamnya.
"Ya ampun, Melanie Stones!" Adam mendesah sembari meraih lengan Melanie sebelum gadis itu sempat mengulurkan tangan untuk meraih sloki berikutnya. Melanie mengernyit, memandang Adam dengan tatapan tidak suka.
"Kenapa kau tidak cari saja Levina jika kau begitu khawatir padanya?!" pekik Melanie kesal. "Dia sudah besar, Adam. Dia bisa menjaga dirinya sendiri."
"Aku heran, kau adalah sepupunya tapi nampaknya kau tidak tahu banyak hal tentang dirinya," Adam mendesis, dan sesaat kemudian kedua tangannya menggenggam kedua pergelangan tangan Melanie, mencegah gadis itu untuk melampiaskan kekesalannya pada minuman beralkohol. "Jika kau tahu tentang dirinya, kau akan mengkhawatirkannya."

"Kau mengkhawatirkannya?" Melanie mendengus. "Adikmu sendiri bahkan sangat membenci Vee, kenapa kau harus begitu mengkhawatirkannya?"
"Itu karena Cody tidak tahu banyak tentang dirinya, dan sejujurnya akupun tidak tahu alasan mengapa Cody begitu membenci Levina."
Melanie menyentakkan kedua tangannya. "Jadi kau tahu banyak tentang sepupuku? Bagus sekali." Melanie memuji dengan ekpsresi tidak terkesan sama sekali.
"Hey, listen," Adam menghembuskan napas lelah. "Bukankah kau tahu bahwa Levina punya masalah dengan emosinya."
"Tentu saja aku tahu." desis Melanie. "Aku yang selalu mengantarkannya ke psikiater untuk mendapatkan obat anti depresinya."
"Maka dari itu kau seharusnya khawatir."
"Kenapa? Dia bukan psikopat, Adam. Dia sehat. Sekarang berhentilah mengkhawatirkannya."
Adam mendesah. "Apakah dia sehat-sehat saja?" Pria itu tidak bicara pada Levina, namun lebih seperti bergumam pada dirinya sendiri. Iris mata biru cemerlangnya menatap ke langit hitam yang penuh dengan bintang. Sisi batinnya kembali membisikkan kata apakah dia sehat-sehat saja?
Well, Levina bukanlah gadis polos yang berdiam di rumah seperti Melanie atau Samantha. Adam tahu benar tentang dirinya. Levina pernah punya catatan buruk dalam hidupnya sebelum Adam membawanya untuk tinggal dan belajar bersamanya di Harvard. Kehidupan liar dan tawa canda yang pernah mereka bagi di tengah sulitnya kehidupan kelam jalanan Seattle, yang berubah seratus delapan puluh derajat setelah orang-orang terdekat mereka meninggal akibat penyakit atau bunuh diri atau bahkan kecelakaan.

Levina tidak pernah menyembunyikan apapun dari Adam, namun entah bagaimana sekarang pria itu merasa khawatir. Semenjak mereka berdua berada di pesawat untuk sebuah penerbangan ke Seattle, Adam telah merasakan sesuatu yang berbeda dari Levina. Sesuatu yang kelam dan dalam, yang membuat Adam kembali berpikir apakah Levina masih seperti Levina yang dulu. Yeah, sejujurnya Adam tahu bahwa waktu dan keadaan telah banyak merubah diri seorang Levina Straus, namun tidak seperti sekarang, Adam tahu bahwa ada yang berubah. Bahwa Levina bukanlah seperti Levina yang dulu dia kenal. Bahwa Levina tengah menyembunyikan sesuatu darinya.

"Adam!" Seruan Melanie membuat Adam terseret keluar dari kenyataan. Pria itu mengalihkan pandang pada Melanie yang masih cemberut. "Apakah kau mau berdiri disana terus sambil memikirkan Levina atau berdansa denganku? God's sake, Adam! Levina akan baik-baik saja. Dia bukan lagi anak kecil. Dia bukan penyuka pesta, dia adalah tipe penyendiri, pasti dia sudah pulang ke apartemennya!"
"Alright," Adam menarik napas, memandang Mel dengan mata birunya. "Kita bisa berdansa sekarang..." Adam mengulurkan tangannya pada Melanie, namun sebelum gadis bermata kelabu itu bisa meraih tangan Adam, ponsel Adam telah terlebih dahulu berbunyi. Adam mendesah, lantas dengan tergesa mengeluarkan ponselnya. Matanya memicing dengan curiga saat dia mendapati sebuah telepon dari nomor asing yang tidak dia kenal. Adam berpikir selama beberapa saat, kemudian jemarinya bergerak mengusap layar, mengangkat telepon yang masuk.

"Halo?" Adam menunggu sebuah suara yang menjawab sapaannya, namun alih-alih mendengar jawaban dari salam yang sebelumnya dia ucapkan, telinga Adam justru mendapati suara rintihan seseorang yang sangat dia kenal. Suara rintihan samar yang mengeluh kesakitan, disusul oleh suara tawa banyak pria. Keningnya berkerut, seiring dengan adrenalin yang terasa mengalir deras dalam dirinya. Suara rintihan ini, mustahil dia tidak mengenalinya. Karena suara rintihan ini adalah milik seseorang yang sangat dia kenal. Musuhnya. Temannya. Sahabatnya. Sekaligus adik laki-lakinya. Suara rintihan ini adalah suara rintihan kesakitan dari Cody.

***

Justin memandang keluar kaca jendela mobil seiring dengan langkah Levina yang berlari menjauh dalam balutan gaun satin berendanya yang cantik menuju ke sebuah gedung pencakar langit yang bisa ditebak bahwa itu adalah tempat yang dia huni selama dia berada di Seattle. Justin menarik napas, memandang pada pepohonan pinus dan plum yang berjajar di sepanjang jalanan. Pucuk-pucuk daun hijau yang tumbuh di awal musim semi sekarang tampak mengilap karena terbasuh oleh cahaya dari lampu-lampu jalan yang juga berjajar diantara barisan pinus dan plum yang kecokelatan. Justin mendesah. Bagaimana bisa gadis bernama Levina itu mengingatkannya pada Wanda? Jelas sekali mereka punya profil wajah yang jauh berbeda. Juga karakter yang berbeda. Sikap yang berbeda. Garis wajah yang sama sekali tidak bisa dibilang mirip. Satu-satunya yang sama dari mereka hanyalah warna rambut dan warna mata, namun bukankah hal itu juga yang terlintas dalam pikiran Justin ketika dia melihat Samantha? Justin meninju roda kemudi. Benar-benar gila. Apakah dia menganggap semua gadis yang berambut cokelat adalah Wanda?

"Ada sesuatu yang aneh, Justin?" Suara Samantha membuat pandangan Justin teralih dari barisan pepohonan pinus dan plum. Lelaki itu menoleh, memandang gadis yang duduk di sampingnya. Bibirnya bergerak, menjawab pertanyaan Samantha dengan perlahan. "Aku baik-baik saja, Boo."
"Kau tampak kacau setelah bertemu dengan Levina. Apakah kau mengenalnya?"
"Tidak." Justin menggeleng. "Hanya saja, gadis itu seperti mengingatkanku pada Wanda. Bukan hanya dia... kau juga, bahkan aku menyadari bahwa kau seperti Wanda saat pertama kali aku melihatmu. Entahlah, pada faktanya kalian semua tidak memiliki garis wajah yang mirip dengan Wanda, namun entah bagaimana aku selalu berpikir seperti itu."
"Siapa Wanda?"
"Wanda Townsend."
"Aku tahu." Samantha memutar bola matanya, tampak kesal. "Siapa Wanda hingga kau begitu memikirkannya?"
Mata Justin menyipit pada Samantha, menatapnya dengan kening berkerut. "Whoa, Boo, apakah kau cemburu pada Wanda?"
"Jangan mengalihkan pembicaraan!"
"Aku tidak mengalihkan pembicaraan!" Justin berkilah, lantas kemudian dia menaik turunkan alisnya dengan cepat. "Well, kau cemburu kan? Akui saja, babe."
"Aku tidak." Samantha memalingkan wajah, berusaha menyembunyikan warna merah yang menyebar di pipinya.
"Tentu saja kau iya!"
"Aku tidak."
"Kau iya."
"Justin, berhentilah berdebat. Sekarang aku ingin tahu soal Wanda. Tidak bisakah kau memberitahukannya padaku?!"
"Tidak bisa."
"Urgh," Samantha melipat tangannya di dada. "Kau membuatku kesal!"
"Kau juga membuatku kesal."
Samantha berpaling pada Justin, menatap dengan ekspresi tidak terima. "Apa? Aku? Kapan aku membuatmu kesal, Biebsky jelek?!"
"Sewaktu kita masih berada di pesta tadi."
"Oh, karena aku menginjak kakimu?" Ekspresi kesal Samantha berubah jadi ekspresi mengejek. "Itu sih salahmu sendiri. Suruh siapa kau tidak bisa berdansa. Jadi itu bukan masalahku jika aku..."
"Bukan." Justin memotong dengan cepat. "Tapi ketika aku batal menciummu."

Wajah Samantha langsung memerah tanpa bisa dicegah, "Itu... itu..."
"Jadi sekarang kita impas."
"Hell, tentu saja tidak!" Samantha memekik sambil berusaha menutupi perubahan warna wajahnya. "Itu kan salah Levina, bukan salahku!"
Justin menoleh pada Samantha, kemudian memberikan sebuah seringai. "Jadi kau tidak menolak kalau aku menciummu?"
"Itu... itu..."
"Begini saja, bagaimana kalau informasi soal Wanda ditukar dengan sebuah ciuman di..."
"Di pipi?" Samantha menjentikkan jarinya. "Baiklah!"
"Ciuman di pipi? Kalau hanya itu sih aku juga bisa memintanya dari Robert atau dari Max atau bahkan dari Phil." Justin merengut. "Jangan konyol. Kau tahu, aku ingin dicium disini." Justin mengangkat jemarinya, meletakkannya di atas bibirnya.
"Kau gila." Samantha melempar Justin dengan gumpalan tissue yang digunakannya ketika mereka maish berada di pesta tadi.
"Tidak ada ciuman, berarti tidak ada informasi."
"Baiklah, kalau begitu aku akan mencari tahu sendiri." dengus Samantha sambil menyandarkan punggungnya ke sandaran jok kursi mobil. Justin terkekeh, sebelum akhirnya dia kembali menekan pedal gas.
"Good luck, sweetheart."

***

Justin Bieber.

Levina Straus menuliskan sederetan nama itu di atas kertas notes berwarna pink pucatnya, lantas sesaat kemudian sebelah tangannya sibuk mengetuk-ngetukkan pulpen ke pelipisnya, sementara sebelah tangannya yang lain memuntir-muntir ujung rambut cokelatnya. Justin Bieber. Pria yang menarik dengan temperamen buruk yang justru membuatnya makin terlihat seksi. Levina memejamkan matanya, membayangkan sosok Justin dalam benaknya. Rambut cokelat terang, tubuh tinggi dan tegap dengan kotak-kotak yang terbentuk di perutnya, iris mata yang secerah lelehan madu, suara yang... gee, apakah dia bisa meminta yang lebih dari itu? Levina menarik sebuah senyuman lebar ketika dia membuka matanya.

Namun seperti hujan yang mendadak turun di tengah hari yang panas, lamunan indahnya tentang Justin langsung terhenti ketika bayangan sosok Samantha Rosabel masuk ke dalam pikirannya. Gadis berambut cokelat panjang itu...
Levina menghembuskan napas. Tidak. Semuanya tidak akan sesulit itu meskipun Samantha adalah sahabat dekat Melanie. Yeah, lantas mengapa kalau Samantha adalah sahabat dekat Melanie? Bukankah itu jelas menguntungkan baginya? Dia bisa mendapatkan dua nyamuk dalam sekali tepuk. Membuang yang salah satu, dan mendapatkan yang lainnya. Seperti apa yang telah direncanakan oleh pikirannya. Membuang Samantha. Mendapatkan Justin. Levina tersenyum lebar. Dia tidak pernah menyangka bahwa kedatangannya ke Seattle akan membuatnya dilimpahi oleh anugerah yang begitu banyak. Levina membanting pulpennya ke atas ranjang, kemudian mengarahkan jemarinya ke sekeliling lehernya, mengeluarkan Rosario yang terkalung disana dan meremas bandulnya dengan perlahan.

Karma.

Tuhan memang adil, bisik Levina dalam hati. Setelah semua badai yang dia lalui, setelah kematian orang-orang terdekatnya, keluarganya, dalam sebuah kecelakaan ataupun bunuh diri yang menyakitkan, setelah hari-hari panjang yang dia habiskan untuk menemui psikiater agar bisa membantunya keluar dari kabut dalam dunia bayangan di pikirannya, setelah apa yang Adam lakukan untuk menghiburnya, setelah semua waktu-waktu berat yang dia lalui di Harvard, akhirnya Tuhan membayar semua kesakitan itu dengan keberuntungan yang tidak pernah Levina kira akan menyambangi hidupnya. Levina menarik napas sambil batinnya menyuarakan keputusan yang telah dia ambil sejak lama.

Dia. Tidak. Akan. Kembali.

Dia tidak akan kembali ke Harvard, dia bersumpah. Dia akan tetap berada disini untuk mengejar keberuntungannya. Untuk mendapatkan apa yang pernah hilang dari hidupnya, untuk membayar semua kesakitan yang pernah dia alami. Dia akan mengejar Justin hingga dia mendapatkannya, tidak peduli apa yang harus dia bayar. Levina tersenyum sambil tetap meremas Rosario yang terkalung di lehernya. Dia akan mendapatkan kembali apa yang pernah hilang darinya. Sama seperti darah yang digantikan dengan darah, dia akan merenggut kebahagiaan untuk mendapatkan kebahagiaan yang pernah hilang darinya. Dia akan merenggut Justin dari sisi Samantha.

***

Aku punya sebuah urusan yang harus kuselesaikan. Kau tidak perlu tahu. Aku akan menjemputmu di kafetaria sekolah begitu jam pelajaran selesai. Jadi jangan bertindak bodoh, Boo –Justin

Untuk yang kesekian kalinya, Samantha menghembuskan napas frustasi setelah dia membaca pesan singkat itu. Itu adalah pesan singkat yang ditinggalkan Justin pada ponselnya, yang dikirimkan pria itu pada dinihari setelah dia membawa Samantha untuk tidur di tempatnya. Samantha tidak mengerti bagaimana dia bisa mendapati sisi tempat tidurnya kosong, padahal gadis itu sangat tahu bahwa Justin berada di sisinya sampai dia menutup mata karena rasa kantuk yang menyerangnya. Gadis itu menghembuskan napas sambil meraih gelas milkshake yang isinya tinggal setengah yang tergeletak di atas meja kafetaria. Ini sudah lewat tiga puluh menit dari waktu yang dijanjikan, dan Justin belum juga menjemputnya. Samantha menghembuskan napas dan melampiaskan kekesalannya dengan menyedot isi gelasnya banyak-banyak. Hal itu tanpa bisa ditahan membuatnya terbatuk hingga tersedak. Cairan milkshake cokelat langsung menodai sudut bibir dan kerah pakaian yang dia kenakan.

"Kau akan mati karena tersedak jika kau terus menerus begitu." Sebuah suara membuat kepala Samantha terangkat, dan matanya menyipit saat matanya bertemu pandang dengan mata cokelat keabuan milik seorang pemuda berambut pirang. Dia kenal pemuda ini. Pemuda ini adalah anggota gangster amatir yang merupakan saudara dari Ride Carylon, salah satu sahabat Justin. Blaze Carylon.
"Blaze?"
"Hebat sekali kau masih mengenaliku." Blaze tersenyum lebar, kemudian bocah itu merebut gelas milkshake Samantha, meneguknya dan bergumam puas karena rasa hausnya telah terpuaskan.
"Sama sekali tidak sopan." Samantha menggerutu. "Aku akan melaporkanmu pada Justin."
"Dia akan membunuhku jika dia tahu." Blaze mengangkat kedua bahunya. "Biar kutebak, kau sedang menunggu Justin, iya kan?"
"Bagaimana kau bisa tahu? Apakah kau sudah menjadi peramal sekarang?"
"Itu mudah, man."
"Aku perempuan, Blaze. Sangat tidak tepat bila kau menggunakan istilah seperti itu untuk memanggilku."
"Well, itu mudah, sweetheart."
"Justin akan membunuhmu jika dia tahu kau memanggilku dengan sebutah sweetheart."
"Well, itu mudah, Samantha." Blaze mendengus. "Hentikan omong kosong ini."
"Setuju." Samantha tertawa. "Apa yang hendak kau sampaikan?"

"Justin. Dia tidak bisa menjemputmu."
Kelopak mata Samantha melebar. "Kenapa? Apakah terjadi sesuatu padanya?!"
"Kau bisa menemuinya di rumah." Blaze mengangkat bahu, kemudian pria itu merogoh sakunya dan meletakkan sebuah kunci mobil di atas meja. "Aku memakai R8 milik Jason hari ini. Aku tidak punya cukup nyali untuk membawanya pulang, karena Justin pasti akan menghajarku jika dia tahu aku memakai mobil kakaknya." Blaze memutar bola mata. "Bagaimana jika kau membawanya pulang?"
"Audi bukanlah kendaraan yang buruk." Samantha terkekeh, lantas sesaat kemudian gadis itu bangkit dan meraih kunci mobil yang tergeletak di atas meja. "Thanks, Blaze."

***

Justin menghembuskan napas dengan perlahan, sebelum akhirnya dia mengulurkan tangannya untuk meraih pigura kaca yang berada di atas meja di sisi ranjang kamar tidur Jason. Pigura itu memasang fotonya dan foto Jason saat mereka berada di Disneyland bertahun-tahun lampau, ketika dia dan Jason baru saja masuk ke Junior High School. Mereka berdua tersenyum disana, sambil menggenggam boneka Mickey Mouse di tangan masing-masing. Mereka bermain disana bersama Jazzy dan Jaxon, namun kedua saudaranya yang lain tidak berada dalam gambar itu. Mungkin mereka berpencar entah kemana. Namun tidak dengan Jason. Jason selalu berada di sisinya, menjaganya. Bahkan hingga akhir. Justin menarik napas dengan berat dan membalik pigura itu, dan mengeluarkan lembaran foto tersebut dari bingkainya.

Even if nothing lasts forever, I could be your nothing.

Justin menarik senyuman perlahan saat dia mengeja tulisan itu. Itu adalah tulisan tangan Jason yang selalu meyakinkannya bahwa segalanya akan baik-baik saja, bahwa Jason akan selalu berada di sisinya, melindunginya. Justin menarik napas. Jason selalu melindunginya, melakukan apa saja yang perlu untuk menjaganya, namun apa yang dia lakukan? Dia bahkan tidak mampu melindungi Jason. Dia bahkan tidak bisa mencegah Jason pergi. Ini benar-benar gila. Dia tidak bisa terus menerus hidup seperti ini. Dia tidak bisa terus menerus membiarkan sosok Jason berada dalam sudut terdalam sisi hatinya karena itu hanya akan membuatnya sakit.

Apa yang dia lakukan? Bukankah dia datang kesini untuk membuang semua kenangan itu? Untuk membuang semua kenangan tentang Jason, karena semuanya tidak akan sama lagi ketika Jason tidak lagi berada disini. Segala hal yang dulunya terasa begitu menyenangkan, kini berubah jadi suram dan menyakitkan akibat sebuah fakta keras yang telah Justin sadari : Jason tidak akan pernah kembali lagi. Justin menghembuskan napas. Dia datang kesini untuk mengecat ulang kamar ini, melepas dan mengganti bed cover yang melapisi ranjang. Membuang semua tentang Jason yang bisa menyakitinya. Entah bagaimana dia merasa begitu jenuh dengan dunianya sekarang. Dia ingin menghentikan ini semua, keluar dari kehidupannya yang sekarang dan memiliki kehidupan yang normal tanpa bau mesiu dan asap rokok. Tapi, apakah dia bisa?

Kematian Jason telah membuka matanya lebar-lebar. Dia kini mengerti bagaimana rasa sakitnya ditinggalkan oleh orang yang sangat berarti baginya. Dia menyayangi Jazzy, namun rasanya kepergian Jazzy tidak semenyakitkan ketika dia harus melepas Jason. Itu karena mereka berdua berbeda. Jazzy hanyalah gadis kecil yang dia temui saat dia tidak sedang berada di luar rumah, berbeda dengan Jason yang selalu berada di sisinya nyaris sepanjang waktu. Justin menarik napas untuk yang kesekian kalinya. Jika hal yang terjadi pada Jason terjadi pada dirinya... apakah Samantha akan merasakan kesakitan yang sama seperti apa yang dia rasakan?

Justin mendesah kemudian melipat foto itu jadi dua bagian, menyisakan bagian foto dimana hanya ada dia disana, dengan senyum lebar yang terlihat begitu konyol sekarang. Oh astaga, mengapa dia membuang-buang waktunya? Justin bangkit dari ranjang, baru akan bergerak menuju kaleng cat tembok yang berada di tengah ruangan ketika sebelah alisnya melengkung melihat Samantha yang berdiri tidak jauh dari tempatnya berdiri.
"Apakah kau sudah lama, Boo?"
"Apakah kau harus melakukan ini?" Samantha menarik napas, kemudian dia meletakkan tasnya di atas ranjang kamar Jason dan mendekati Justin. "Dia memang sudah pergi, Justin. Dia memang pergi untuk tidak pernah kembali lagi, namun haruskah kau melakukan ini?"
Justin terdiam, namun dia membiarkan Samantha meraih fotonya dan Jason dari tangannya. Samantha membuka lipatannya, menimbulkan bekas garis diantara Jason dan Justin dalam foto, lantas memasang foto itu kembali di piguranya. "Dia memang sudah pergi, namun bukan berarti kita tidak punya alasan untuk mengenangnya."
"Aku tidak bisa."
"Apanya yang tidak bisa?" Samantha berdecak tidak sabar. "Kau adalah laki-laki yang kuat, lantas apa masalahnya?"
"Ini semua... terlalu menyakitkan."
"Jadi kau menyerah? Kau menyerah dan tak mau berusaha bangkit lagi dari semua masalah ini."
"Hanya saja... kakakku, dia adalah orang yang berharga bagiku."
"Aku tahu itu." Samantha berdecak. "Namun bisakah kau berusaha bangkit sekali lagi, Justin? Kau mungkin kehilangan satu orang yang sangat berharga bagimu, tetapi, apakah itu berarti kau tidak punya orang berharga lainnya yang bisa membuatmu bangkit lagi? Apakah Philip tidak berharga bagimu? Ibumu? Jax? Robert? Ride? Max? Dan... aku?"

"Kau tidak harus membuangnya dari hidupmu, Justin." Samantha berdecak. "Biarkan dia ada dalam hatimu sebagai sebuah kenangan. Kenangan indah yang bisa membuatmu menjadi lebih kuat dari sebelumnya."
"Gila." Justin berdecak. "Siapa kau dan apa yang kau lakukan pada Samantha Kyra Rosabel yang ceroboh, cerewet dan bawel? Apakah kau seorang pertapa berusia ratusan tahun yang baru saja merasukinya?"
Samantha tertawa. "Bukankah Harry Potter butuh kenangan indah untuk menghadapi Boggart dalam film ketiganya?"
"Aku tidak pernah menonton Harry Potter."
"Dasar kuno." Samantha terkekeh. "Kita bisa menontonnya bersama. Apakah... kau mau menontonnya sekarang?"
"Dengan satu syarat."
"Hm?"
"Beri aku satu ciuman."
"Di pipi?"
"Jangan berpura-pura bodoh, Boo."
"Aku tidak."
"Kau jelas sekali berpura-pura bodoh."
"Aku tidak mengerti maksudmu."
"Hell, kau bukanlah gadis yang polos, aku tahu jelas itu." Justin mengerutkan keningnya. "Omong-omong soal itu, sudah berapa kali kau berkencan sebelum kau pergi berkencan denganku?"
"Hm, itu rahasia."
"Apakah kau pernah berciuman dengan orang lain sebelumnya?"
"Aku adalah gadis delapan belas tahun, Justin, demi Tuhan! Tentu saja aku sudah pernah. Kau pikir aku adalah orang kuper yang tidak pernah punya pacar sebelumnya?"
"Apakah... kau masih perawan?" Justin bertanya dengan nada serius, yang membuat Samantha terkekeh sementara ekspresi wajah Justin berubah cemas. "Come on, baby! Jawab aku."
"Dengan satu syarat."
"Kau mau mencoba memerasku?"
"Tidak. Aku hanya bilang aku punya satu syarat."
"Kau curang! Kenapa kau mencoba balik memerasku? Bukankah itu lebih mudah jika kau menjawab kata-kataku sekarang, maksudku, aku menantangmu lebih dulu, kan? Paling tidak kau seharusnya lebih dulu menjawab tantanganku sebelum kau balik menantangku, bukankah—" Ucapan Justin terhenti ketika Samantha membungkuk, kemudian memberikan sebuah kecupan cepat di pipinya. Justin terperangah, namun suara Samantha yang tertawa sambil melangkah keluar kamar membuyarkan keterdiamannya. Lelaki itu melotot, mengelus pipinya yang terasa hangat. Ya ampun. Hanya sebuah kecupan pipi kan? Kenapa efeknya terasa begitu besar padanya?

Shopaholic (by Renita Nozaria)Where stories live. Discover now