"Dewata Pratama, ikut gue keluar sekarang."

Nada itu tenang tapi menyeramkan. Dewa melepas genggamannya pada tangan Ren, begitu lamban, sebelum akhirnya mengikuti Andira keluar dari ruangan. Untuk sesaat tadi Ren hampir merasa kehilangan.

Kalau dalam bahasa Dewa, human contact. Pfft, cowok itu benar-benar hebat.

"Ren," panggilan Wanda menarik Ren kembali ke dunia nyata. Dia menoleh untuk bersitatap dengan cowok berambut mahoni tersebut. "Kenapa lo nyoba bunuh diri?"

"Hm?" dia mengangkat sebelah alis, "Dewa cerita semuanya ke kalian?"

Wanda mengangguk, kesal. "Dan kalau nggak ditahan sama Andira, udah gue tonjok anak itu habis-habisan."

Ren tersenyum, sebelum menyeringai. "Kalau gitu harusnya lu ngerti kenapa."

Wanda nggak bersuara, hanya mengerutkan kening. Dia tampak berusaha merangkai kata-kata yang tepat, walau sepertinya gagal.

"Tapi gue nggak ngerti!" seru anak itu tertahan. "Gue... gue emang ragu kalau awalnya Dewa bisa sama lo, tapi kemudian gue lihat kalian cocok jadi gue rasa―"

"Cocok?" ulang Ren.

Wanda menggigit bibir bawah. "Anggep gue buta soal cinta, Ren, tapi gue tahu Dewa sejak kita masih kecil, sebelum TK malah. Gue tahu dia nggak pernah tahan sama manusia lain. Dan pas dia sama lo, dia...," Wanda menarik nafas, menghentikan gestur tangannya yang semula bergerak liar.

Ren hanya menunggu.

"... dia jadi beda."

Cih.

"Karena gua subjek percobaan dia," Ren memejamkan matanya, kesal. "Semua yang dia lakuin ke gua cuma buat kepentingan laporan aja."

"Apa lo sendiri ngerasa gitu?" Wanda bertanya tajam, memicingkan mata. "Dari yang gue lihat selama ini Ren, terlepas dari persepsi lo tentang Dewa sekarang, kalian sama-sama saling suka."

"Gua benci dia," nada suara Ren sedatar papan, mengangkat tangan kanannya untuk ia gunakan menghalangi pandangan. Lampu neon sialan.

"Karena udah nyakitin elo," Wanda kini menyentuh pelan sisi tubuhnya. "Kalau lo sakit hati, berarti lo beneran sayang sama dia kan?"

"Terus apa, Wanda," Ren menutup mata, bisa merasakan air matanya mengancam untuk keluar. Dadanya mulai sesak. "Gua suka sama dia. Terus gua bisa apa?"

Ren nggak mendengar apa-apa dari Wanda, namun dalam gelap, dia bisa tahu temannya sudah bangkit, menghela nafas dan mengacak surai pirangnya dengan hati-hati.

"Lo bisa bilang ke Dewa," gumaman itu penuh penyesalan bernada sedih dan pasrah. "Lo bisa maafin dia."

Dan meninggalkan Ren yang terisak tanpa suara tepat setelah Wanda keluar dari sana.

***


Ketika sekali lagi Ren membuka mata, dia masih melihat putih. Membuatnya bosan setengah mati. Sembari menguap kecil, anak itu mengerjap, matanya melirik jam dinding yang tergantung di tembok sisi kanan ruangan.

Pukul lima sore. Tadi pas dia bangun baru jam sembilanan. Tidurnya lama banget ternyata.

"Ren."

Telinganya menegak. Ren menoleh ke sisi kiri, mengerjap melihat Andira tengah bersedekap dan menatapnya dengan ekspresi tenang. Bibir sosok bermata kelabu itu terangkat samar.

"Kak Andi, hei," dia meringis, canggung begitu sadar selama ini dia bingung ingin memanggil sepupu Dewa itu dengan sebutan apa. "Mana Wanda?"

Mungkin mata Ren perlu diperiksa juga karena dia melihat pipi Andira mendadak jadi merah, pun begitu dengan lehernya.

I Don't Give a Fuck [in ed.]Where stories live. Discover now