The So-Called Date

Start from the beginning
                                    

"L-lu b-bisa lepasin gua dulu gak?"

Dewa baru sadar posisi mereka rada aneh memang. Dia menahan pergelangan tangan Ren di atas kepala, menindih perutnya. Piyama anak itu juga rada keangkat karena tangannya di atas, membuat dia bisa melihat perut Ren yang terekspos.

Gila, anak itu cowok apa cewek? Nggak ada tanda-tanda abs sama sekali, walau masih terlihat kontraksi otot di sana. Hm, berarti tipe badan dia lithe and lean?

"Oh ya, sori," Dewa bergumam, tapi posisi masih di tempat. Dia penasaran dengan satu hal...

"Ngh!"

Si rambut hitam terkejut, menatap Ren heran.

Anak itu bereaksi dengan sentuhannya barusan? Awesome.

Dia menyeringai setan.


RENARO

Ren sudah bilang kan kalo dia jarang sekali skinship?

Dia risih banget disentuh. Kulitnya memang sensitif. Unless pakai sesuatu sebagai pelindung macam jaket lengan panjang, masker, atau sarung tangan, dia nggak bisa langsung ngerangkul atau gandengan dengan orang asing (termasuk para mantannya). Dia juga nggak bisa renang di air yang ada kaporitnya, atau kena sesuatu yang bisa karatan. Makanya semua aksesori dia kalau nggak dari emas, fine silver, titanium atau batu mulia.

Dan karena itu pula, ketika jemari Dewa yang dingin menyusuri lekuk di perutnya, dia tersentak dan refleks mengerang.

"Ngh!"

Anjing, barusan rasanya kayak disetrum listrik! Perutnya langsung mulas.

Kemudian sentuhan itu terasa lagi. Kali ini merambat naik menuju dadanya, membuat Ren sedikit panik.

"T-Ta―" dia mencoba memberontak, tapi astaga, cowok itu beneran punya gen Hulk kali ya? "Nnh.. T-Tama! Uh―"

Bangsat.

Ren merasa nafasnya mulai memberat. Ketika si pirang berhasil membuka matanya, dia terkejut mendapati wajah Dewa sudah begitu dekat.

Cowok itu memberinya ciuman singkat di bibir dan lanjut menjilat dagunya, sebelum turun ke leher. Jemari dingin di atas diafragmanya meluncur jatuh menelusuri punggung yang entah kapan sudah melengkung ke atas. Ren makin panas, padahal dia yakin sudah menyetel AC di kamarnya pada suhu 15° C.

"N-nh, b-berhenti," dia mencoba lagi, tapi gagal dengan sukses ketika Dewa menjilat tulang selangkanya. Ren yakin dia hampir terisak lantaran bingung diterpa sensasi asing di seluruh tubuh pada saat bersamaan. Ditambah dengan tangan dingin Dewa yang masih menyentuh semua area kulit dibalik atasan piyamanya, membuat Ren benar-benar nggak berkutik.

"Bangun, nyet," bisik Dewa di tepat di telinga, melepaskan Ren dan mundur dengan ekspresi puas.

Ren baru bisa mengambil nafas setelah itu. Dia terengah, menutup mulut dengan punggung tangan, menatap Dewa antara marah dan malu. Cowok itu nyengir kuda, seolah barusan mereka nggak ada apa-apa.

"A-anjing," Ren berusaha agar suaranya keluar walau masih serak. "P-pergi lu sekarang!"

"Oke, oke," Dewa mengangkat tangan, posisi menyerah, tapi masih dengan seringai di wajah. "Gue tunggu di bawah. Cepetan gih siap-siap!"

Dan sebelum dia benar-benar turun, Dewa membungkuk, mengecup mata kiri Ren. Cowok itu buru-buru ngacir sambil ketawa, disusul Ren melemparnya dengan bantal bulu angsa.

Dasar setan.


DEWATA

Dewa mengirim pesan ke Wanda agar langsung menemuinya di tempat latihan karate. Anak itu menelponnya kemarin malam, berkata bahwa ada idiot yang menyiram mukanya pakai kopi dan menginjak kacamatanya sampai pecah. Dewa hanya menggelengkan kepala.

Karma memang luar biasa.

"Lo berhenti ngambek dong Ren," kata Dewa, memasukkan ponsel ke saku jaketnya dan menyeringai. Dia melirik spion, mulai memundurkan mobil. "Kan niat gue baik, bangunin elo."

Ren mendelik ke arahnya, lalu menjitak kepala Dewa keras.

"BANGUNIN PALA LU!" serunya sebal.

"Dasar anak monyet," sungut Dewa, mengusap ubun-ubunnya yang nyut-nyutan.

Ren masih menggerutu dan mencaci maki Dewa, tapi cowok itu tahu si rambut pirang nggak bener-bener marah. Anak itu cuma malu. Buktinya dari tadi dia nolak buat kontak mata sama Dewa, dan leher serta telinganya masih merah, walau nggak semerah wajahnya juga.

Manis banget.

Dewa mengerjap. Mikir apa dia barusan? Manis?

Ih, anak setan kali, manis.

"... ng, tapi Tama, emang kita mau kemana?"

Augh, si rambut hitam baru sadar kalau Ren memanggilnya 'Tama' sekarang merupakan kelemahan terbesar dia.

Pun begitu, Dewa memasang tampang datar. "Udah gue bilang surprise. Lo lanjut bobok sana. Ntar gue bangunin kalo kita udah nyampe."

"... "

"... kenapa lagi?"

"Gua laper... "

Dewa menepuk dahinya. Tolol, dia lupa mereka belum sarapan! Yah, kebiasaan kalo hari libur dia ogah masak sih. Biasanya juga dia nggak makan apa-apa sampai Senin pagi, bertahan hanya dengan keripik kentang, es krim, salad buah dan air mineral doang.

"Sori sori, gue lupa," dia mendecak, lalu banting setir ke kanan. "Lo makan di pinggir jalan nggak apa kan ya?"

Ren mengangkat bahu. "Asal bisa dimakan kan?"

Dewa menyembunyikan senyum. Untuk ukuran konglomerat, Ren nggak buruk-buruk amat.


***


Mereka berdua sampai di depan bangunan bergaya jepang—minus atap yang mirip joglo—plus lantai kayu yang dilapisi tikar bambu, tepat pada pukul sembilan. Oh ya, ada juga pintu geser dan orang-orang berpakaian putih longgar, serta teriakan-teriakan keras yang saling bersahutan.

Dewa menarik Ren masuk. Cowok pirang itu hanya melongo dari tadi.

"Tama? Lu nggak salah tempat?"

Dewa menggeleng. "Enggak. Kenapa?"

"... ini gelanggang buat latihan silat bukan sih?"

"Karate."

"Njir, sama aja!" Ren memukul belakang kepalanya. "Lu ngajak gue nge-date disini? Nggak salah??"

Dewa hanya meringis. Dia menarik lengan Ren yang kini ogah-ogahan melangkah mengikuti. Si rambut hitam menghabiskan sekitar setengah menit celingukan mencari sosok pemilik tempat tersebut.

Itu dia.

"Andi!" dia berseru, mengangkat tangan. "Hei!"

Seorang pemuda, mungkin usia 20-an, menoleh. Dia menyeringai balik menatap Dewa, lalu menghampiri mereka. Si raven tersenyum. Dia menoleh ke Ren, bangga.

"Kenalin sepupu gue," katanya.

Pemuda itu tersenyum ke arah Ren, mengulurkan tangan. "Andira."

Ren menyambutnya ragu-ragu. "Renaro."

Dewa menepuk tangan. "Lo udah nyiapin yang gue pesen kemarin kan?"

Andira mengangguk. "Lo langsung ganti baju aja di belakang. Gue tunggu disini."

"Sip, thanks!" Dewa meninju bahu sepupunya, lalu menyeret Ren lagi.

Udah nggak sabar dia buat ngebanting Ren nanti.


RENARO

Ren menggigit bibir bawahnya, gugup, apalagi ketika dia melihat sekilas di ruangan itu orang-orang berpakaian silat tampak saling menyerang dan literally melempar lawan ke matras satu sama lain.

Perutnya mulas lagi, diiringi kepala yang mendadak pening.

Ingatkan dia untuk menolak ajakan kencan Dewata Pratama lain kali.

I Don't Give a Fuck [in ed.]Where stories live. Discover now