Jika pertemuan adalah awal dari perpisahan.
Maka, perpisahan adalah awal dari keindahan dalam pertemuan selanjutnya
Suasana sekolah sore itu mulai terasa sunyi. Sinar Matahari mulai redup dan tergantikan oleh cahaya jingga yang indah. Namun, tak seindah warna kehidupanku yang mulai menghitam sejak laki-laki berpostur tubuh besar itu menghantui kehidupanku. Laki laki itu bernama Muhammad Ghifari, yang dikenal dengan nama Fari. Tak sebagus namanya yang memiliki arti pemaaf dia bahkan terlihat seperti iblis berwajah manusia. Jangankan untuk melihat wajahnya, Cukup dengan melihat bayangannya saja sudah membuat jantungku tersambar seperti didatangi malaikat pencabut nyawa yang membawa golok dipundaknya untuk mencabut nyawa manusia yang melangkah jauh dari tuhannya.
Dari satu celah ke celah berikutnya aku mencari sepatu sebelah kanan yang tadi kuletakkan di deretan rak musholla saat hendak menunaikan sholat ashar. Sepatu berwarna hitam dengan sobekan di bagian tepi ibu jari itu tidak mungkin ada pencuri yang mau mengambilnya. Firasatku begitu kuat mengarah pada Fari dan anak buahnya. Benar saja selang beberapa menit ketika aku sedang mencari sepatu itu. Dua orang laki laki bernama Riski dan Syah yang merupakan anak buah Fari datang dari arah belakang menggenggam kedua tangan ku untuk dililitkan dengan seutas tali katun berwarna putih. Bagaikan tahanan yang akan dipenjara.
“Eh, kalian mau apa! Lepasin nggak!” Bentakku, sambil berusaha melerai tali itu menjauh dari tanganku. Namun, apalah daya tubuh yang diciptakan mungil dengan batang tubuh dan lengan yang kecil ini tak mampu melawan mereka. Teriak pun tak ada gunanya karena pada saat itu Sekolah sudah terlalu sepi untuk mendengar lolongan ku.
“Berisik lo!“ Tegas Syah. Laki-laki pemilik bekas luka di pipi kanan itu menarik dasi yang terikat pada kerah bajuku yang bersembunyi di sebalik jilbab putih yang aku kenakan. Entah hal apa lagi yang akan mereka lakukan padaku. Sungguh dadaku terasa begitu sesak untuk menghirup oksigen. Hampir saja aku mati karena kehabisan nafas. Tak ada satu peluang pun yang tersisa untuk aku mencari celah agar bisa terlepas dari mereka.
Mereka bener bener tidak memperdulikan rasa sakit yang kurasakan. Hatinya sudah sangat terkunci dengan dendam yang menyelimuti jantungnya. Syah terus menyeret ku bagaikan sapi yang akan disembelih. Hingga langkahnya terhenti pada sebuah tempat yang belum pernah kulihat sebelumnya. Tempat itu terlihat seperti taman namun begitu sunyi dan tenang. Lantainya beralaskan rumput dan daerah sekitarnya yang di kelilingi dengan beberapa pohon rindang. Aku baru tau ada tempat seperti ini di belakang sekolah. Setibanya di tempat itu Riski mendorongku begitu keras Hingga aku tersungkur di hadapan dua orang laki-laki yang tidak lain dan tidak bukan adalah Fari dan Edo. Entah ke durjanaan apa lagi yang akan mereka lakukan padaku.
Belum sempat aku memandang wajah mereka satu persatu datang lagi satu orang laki-laki dengan rantai yang mengelilingi lehernya bernama Alex tega membuang sampah yang tak terhitung jumlahnya di atas kepalaku. Aku tak tahan membuang perasaan ingin muntah. Tak ada satu kalimat pun yang ingin keluar dari lidahku saat itu. Mengingat ini bukanlah kali pertama mereka memperlakukanku seperti binatang. Entah sampai kapan penderitaanku di sekolah ini akan berakhir. Entah perlu berapa banyak tetesan air mata lagi agar mereka berhenti menggangguku. Bahkan binatang pun tak layak diperlakukan seperti itu.
Semua ini sudah berlaku 6 bulan lalu sejak aku menolak cintanya di hadapan banyak orang. Wajahnya yang memiliki paras cukup tampan dengan latar belakang dirinya adalah anak Bu Suci yang merupakan seorang kepala sekolah SMA GARUDA NUSA membuatnya begitu merasa terhina ditolak cintanya oleh perempuan miskin sepertiku. Tidak mencintai bukan satu satunya alasanku menolaknya. Namun, karakternya yang angkuh dan menganggap dirinya layaknya raja memaksa orang turut membencinya. Belum ada satu orang pun di SMA Garuda Nusa yang berani menentang Fari terhadap semua pembullyan yang ia lakukan kepada murid murid yang tak senang ia pandang.
Tak selesai disitu lagi lagi Edo melayangkan tas berwarna biru muda dengan motif beruang itu hingga mengenai wajahku. Tas yang tadinya berisi beberapa buku itu Kini telah kosong tak tersisa. Sementara, Sinar jingga yang tadinya telah mempesonakan orang orang diseluruh kota kini mulai kehilangan sinarnya. Namun, aku tak kunjung juga menemukan buku buku yang telah dibuang oleh para bajingan itu.
Tiba-tiba dari arah selatan terdengar suara alunan sebuah lagu. Liriknya begitu tak asing terdengar di telingaku. Aku mencoba mengitu arah datangnya alunan lagu itu. Dan benar saja lagu itu tertuju pada sebuah pohon beringin yang merupakan pohon terbesar dari banyaknya pepohonan disana. Tak kusangka ada sesosok laki-laki dibawah pohon itu yang berpakaian serba hitam dengan topi yang melekat di kepalanya sedang membaca sebuah buku. Daun yang begitu rindang ditambah dengan iringan lagu memang membuat suasana tempat itu terasa begitu menyejukkan jiwa.
Sementara itu, matahari mulai menenggelamkan dirinya. Memaksa lirih hatiku bergumam pada apa yang dilakukan laki-laki bertopi hitam itu di tempat sesunyi ini sendirian. Apa dia sudah gila atau sedang berduka. Kulitnya yang putih pucat membuatku ragu bahwa dia seorang manusia. Aku jadi teringat pada novel horor yang sering aku baca. Saat itu, pikiranku tertuju pada sang vampir penghisap darah manusia. Tak memperdulikan buku yang sedang kucari tadi, aku memilih untuk bergegas pulang dari pada terus dihantui rasa penasaran dan ketakutan
YOU ARE READING
21 Days with you
RomanceSILAHKAN FOLLOW DULU AKUN INI AGAR DAPAT NOTIF DARI SAYA Ku simpan kamu dalam tulisanku, Agar aku tetap dapat merasakan kehadiranmu Disaat aku rindu ~ Alea Adzani Kisah seorang perempuan dengan seribu impian yang terlahir dari keluarga sederhana be...
