Doktrin yang Keliru

284 6 1
                                    

You don't fight racism with racism, the best way to fight racism is with solidarity.

- Bobby Seale

Gua menghempaskan badan ke kasur. Ransel gua lempar begitu saja di lantai. Sepatunya pun masih bertengger manis di kedua kaki yang menggantung di tepi tempat tidur. Bukan posisi yang enak sih, tapi gua selalu ingat pesan ibu, 

"Kalau dari luar, jangan langsung naik ke tempat tidur, cuci kakimu dulu!"

Ibu sebenarnya baik namun aturannya banyak, sangat banyak malahan. Sering membuat gua kesal dan merasa terkukung di rumah. 

"Kelak gua tak mau kuliah dekat dari Ibu, harus bisa mandiri! Toh, jika saat itu tiba maka gua sudahlah dewasa," tekad gua dalam hati. 

Memang bukan mudah menjadi anak semata wayang sepasang suami istri yang katanya ningrat. Masih sangat memuja gelar "Raden Mas" di depan nama anaknya. Suatu hari gua pernah protes, kenapa namaku di buku laporan siswa dan akte kelahiran tak sama, yang satu tertulis Raden Wilcak Putranto. Karena hal itu, jadilah bulan-bulanan kawan yang memanggil gua dengan sebutan "Raden" sambil tertawa. 

"Ah, kenapa gua terlahir dengan nama yang aneh," gua geram.

"Cah Bagus! Raden itu gelar kehormatan, tanda keturunan orang tinggi, baik. Jadi berbanggalah," ibu menjelaskan.

"Maksudnya?" gua malah bingung.

"Ya, bangsawan, keturunan raja di Jawa," ibu menjelaskan lagi.

"Raja mana, Bu? Mataram, Majapahit, Singasari?" gua sebutkan satu per satu karena tiba-tiba rasa bangga memuncak di dada gua. 

Namun ibu malah tertawa, "Wah, sudah tak jelas juga turunannya dari mana, tapi kalo mbah buyut masih menyimpan silsilah kebangsawanan kita dengan rapi di rumah beliau. Nanti kalau liburan ke sana tanya lansung sama si mbah ya. Pokoknya jangan protes karena tidak semua punya kehormatan dapat gelar 'Raden',"

Terus terang gua tak puas dengan jawaban ibu, terlalu mengada-ada. Pada akhirnya setelah gua menginjak bangku SMA, tak mau lagi gua pakai nama Raden di papan nama seragam. Ujar gua pada ibu, "Cukup dengan Wilcak Putranto saja kali ini, Bu!"

Karena sudah tak cukup argumentasi akhirnya ibu pun menyerah dan setuju, meski tetap saja beliau berpesan, "Ingat ya, kamu masih bangsawan. Suatu saat mencari wanita untuk istri masih harus memperhitungkan itu,"

Awalnya gua tidak perduli dengan ultimatum ibu. Waktu itu toh, gua belum kenal siapa itu wanita, mahluk apa itu? Ya, gua telat puber, ga terlalu pentingin lawan jenis kecuali sebagai rekan belajar kelompok dan sosok ibu yang over cerewet.

Tapi semua berubah saat gua lihat dia, seorang gadis manis yang kalem dan banyak tersenyum. Rambutnya panjang sering diikat satu ke belakang. Entah kenapa gua jadi salah tingkah di dekatnya. Dia adalah Sofia. Gua tak tahu nama panjangnya karena hanya itu yang tertulis di bet namanya.

Perkenalan kami pun bagaikan anugrah indah tak terduga. Dia sama-sama anak baru yang ikut dalam ekskul mading di sekolah. Gua pun cari-cari kesempatan mendekatinya dan cari celah buat satu kelompok peliput berita sekolah.

Masih dalam tahap penjajakan, di akhir minggu ibu mengajak gua bicara. Pembicaraan yang rada serius dan membuat gua tak nyaman.

"Gimana sekolah baru, Cah Bagus?" ibu memulai pembicaraan.

"Baik, Bu," jawab gua sesingkatnya.

"Sudah punya banyak kawan?" tanya ibu lagi.

"Lumayan," tak kalah singkat.

"Ada kawan perempuan?"

JLEB! Kok, rasanya muka ini langsung memerah tak kuasa menahan rasa.

"Ya ada, Bu. Di kelas kan tak hanya anak laki-laki,"

Ibu tertawa kecil, "maksud ibu ada anak perempuan yang menarik perhatianmu atau tidak?"

Gua menunduk, bingung mau bicara apa pada ibu. Mau bilang tidak berarti gua bohong dan berbohong adalah dosa. Mau bilang iya, tapi malu. Akhirnya gua cuman diam. Tapi seperti kata pepatah, diam berarti iya dan akhirnya ibu pun bisa membaca jawabanku.

"Seperti apa perempuan itu, Cah Bagus?"

"Biasa saja, Bu. Kalem dan cantik," akhirnya gua menyerah.

"Namanya siapa?"

"Sofia," gua mulai senyum sumbringah dan menatap ibu, "namanya bagus kan, Bu?"

"Hanya Sofia?"

"Emang maunya siapa lagi? Tak tahu nama panjangnya, Bu," gua memelas.

Ibu tersenyum, "Pokoknya ingat kata ibu, mencari pasangan itu harus dilihat Bibit, Bebet dan Bobot; Turunan, Status Sosial dan Kualitasnya. Kalau kamu itu ibarat beras kualitas nomer 1, jadi jangan salah pilih kualitas nomer selain 1 dari teman dekat kamu kelak,"

Gua sebenarnya tidak begitu paham falsafah yang ibu jelaskan, namun gua manut dan gua bisa rasakan aroma ketidaksukaan ibu jika gua dekati Sofia, meski gua tak tahu kenapa.





You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jul 07, 2015 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Suami PendustaWhere stories live. Discover now