Bab 1 : A Cup of Coffee

3 0 0
                                    

Jean mengucap salam ketika melewati ambang pintu yang cukup rendah bagi orang tinggi sepertinya, dan disambut keheningan. Dia lantas bertanya-tanya kemana semua orang pergi?

Selagi berjalan menuju kamar yang sudah disediakan untuknya, Jean memikirkan beberapa kemungkinan kemana orangtua beserta kakek neneknya pergi. Mungkin saja mereka juga sedang berjalan-jalan berkeliling desa, namun mengambil jalur yang berbeda sehingga tidak bertemu dengannya di jalan tadi. Ya, mungkin saja seperti itu.

Akan tetapi, rupanya Jean telah melupakan keberadaan satu-satunya orang yang tersisa di dalam rumah itu ketika yang lain pergi. Yaitu, sopir keluarganya.

Pria baya bernama Pak Roni itu muncul dari pintu toilet yang terbuat dari anyaman bambu ketika Jean melintasi area dapur menuju teras belakang rumah, tempat dimana acara minum teh sebelumnya dilakukan.

"Yang lain lagi pergi ya, Pak?" tanya Jean, berjalan beriringan dengan Pak Roni setelah sopir keluarganya itu sempat menyapanya.

"Iya, Mas. Tadi kata Bapak sama Ibuk, mau silaturahim ke tetangga-tetangga yang dulu akrab sama Ibuk," jawab Pak Roni. "Sekalian ke makam katanya," tambah beliau.

Jean manggut-manggut. Makam yang dimaksud dalam jawaban Pak Roni sepertinya adalah makam adik dari ibunya yang meninggal saat masih remaja. Jean ingat cerita itu pernah terucap dari orangtuanya, tapi tidak ingat kapan tepatnya. Sepertinya sudah lama sekali. Maklum, mereka sekeluarga juga sudah lama sekali tidak datang ke sini.

"Pak Roni mau saya buatin kopi?" Jean menawarkan setelah mengecek isi teko teh yang terbuat dari tanah liat di atas meja teras hanya tersisa sedikit. Tidak akan cukup untuk mereka berdua.

"Nanti saya buat sendiri saja, Mas," kata Pak Roni seraya menempati salah satu bangku yang ditata mengitari meja. Pak Roni memang sudah tidak kaget lagi dengan kebaikan hati Jean yang seringkali peduli dengan para pekerja di rumahnya. Namun tetap saja, Pak Roni tidak terbiasa.

Jean pun tidak memaksa. Kecuali jika dia hendak meminum kopi juga, dia tetap akan membuatkan satu untuk Pak Roni sekaligus membuat satu untuk dirinya sendiri. Hanya saja dia memang tidak minum kopi. Kata Dokter, Jean tidak boleh minum kopi.

"Mas Jean, boleh saya tanya sesuatu?" Pertanyaan Pak Roni menjadi pemecah suasana sore yang khas di pedesaan dengan adanya suara-suara serangga dan burung di kebun.

"Tanya saja, Pak. Kenapa harus minta izin dulu." Jean sempat tak habis pikir dengan Pak Roni. Dia terkekeh kecil. Membuat Pak Roni yang tampaknya sempat sungkan untuk mengutarakan pertanyaannya, jadi merasa lebih rileks dan bebas.

"Mas Jean yakin bisa pulih dengan tinggal selama beberapa waktu di sini?"

Di detik pertama Jean mendengar pertanyaan itu, satu yang Jean pikirkan adalah, ah, ternyata itu yang ingin Pak Roni ketahui. Dia sempat berpikir, Pak Roni akan mempertanyakan hal yang sama seperti yang orang-orang tanyakan kepadanya yaitu, kenapa dia memilih Desa Moonstone?

Jean menghela napas selagi memandang ke kejauhan. Ke sebuah tempat dimana terdapat sarang berisi tiga anak burung yang saling berkicau seolah mencari ibu mereka.

Kemudian Jean ingat harus menjawab pertanyaan Pak Roni.

"Oh, saya yakin sekali, Pak. Kalau tidak, saya tidak mau jauh-jauh datang dari kota ke sini."

"Ah, benar juga ya, Mas. Saya berharap Mas Jean bisa segera sehat."

"Terima kasih do'anya, Pak."

Jean kembali memandang ke arah sarang burung yang dia lihat sebelumnya. Saat itu, sang ibu dari para anak burung itu ternyata sudah kembali.

Dan apa yang Jean lihat selanjutnya adalah seseorang yang duduk di bawah pohon tempat sarang burung itu berada. Jean tidak sadar ketika dia hanya terdiam selama hampir satu menit untuk menelisik penampilan gadis itu.

Ya, dia adalah sesosok gadis, dengan setelan gaun berwarna peach. Rambutnya berwarna cokelat terang dan terurai sedikit melebihi bahu. Dengan posisi duduk menekuk lutut, gadis itu menopang sebuah buku yang terbuka di pangkuannya. Sebelum yang terakhir, Jean juga melihat gadis itu tidak memakai alas kaki, sehingga jemari putih itu tampak menapak dengan nyaman di atas rerumputan.

Lalu yang terakhir, Jean mengamati wajah gadis itu.

"Mas Jean juga lihat itu, kan? Saya pikir saya baru saja melihat hantu," celetuk Pak Roni setelah sadar Jean juga tengah menaruh atensi yang sama dengannya.

Kata-kata Pak Roni tentu saja langsung menyadarkan Jean dari dunia lain yang seolah baru saja meminjam jiwanya selama beberapa menit.

"Hah? Iya," sahut Jean singkat. Dia seperti orang linglung.

"Mas Jean nggak mau kenalan? Barangkali mau cari teman di sini." Pak Roni beranjak dari bangku kayu ketika mengatakannya.

Jean hanya menatap ke arah Pak Roni tanpa berkata apa-apa. Di dalam hati, Jean bukannya tidak ingin berteman dengan orang-orang seusianya di sini. Hanya saja, hari ini Jean malas. Mungkin besok atau hari-hari selanjutnya, ketika dia menginginkan seorang teman, dia akan mencarinya.

Ya, Jean memang bukannya laki-laki yang payah dalam pergaulan. Jean memiliki beberapa teman dekat yang baik. Bukan hanya baik kepada dirinya, tetapi juga baik kepribadiannya. Jadi, maksudnya untuk menjalin pertemanan bukanlah suatu hal yang sulit untuk Jean lakukan. Meski sebenarnya dia juga tidak keberatan ketika tidak memiliki teman.

Pak Roni juga tidak ambil pusing dengan reaksi Jean. Beliau masuk ke dalam rumah. Sementara Jean masih duduk di bangku teras. Tak berselang lama, Jean tahu Pak Roni sedang membuat kopi karena dia mendengar denting sendok dan cangkir yang beradu dari arah dapur.

Membayangkan Pak Roni akan datang dengan secangkir kopi panas yang mengepulkan uap, menbuat Jean menginginkan segelas minuman hangat juga. Tentu saja, yang jelas bukan kopi.

Posisi Jean adalah duduk di bangku yang bersebelahan langsung dengan ambang pintu. Sehingga posisi duduknya membelakangi pintu. Jadi, ketika Jean berdiri, dia tidak tahu jika Pak Roni baru saja melewati pintu.

Sisi tubuh mereka bersinggungan dengan keras, menjatuhkan secangkir kopi dalan genggaman tangan Pak Roni ke lantai kayu yang keras. Cangkir itu pun pecah berkeping-keping.

Tak hanya mereka berdua yang kaget, gadis yang duduk di bawah pohon tadi juga jadi ikut menoleh ke arah mereka.

"Maaf, Pak. Saya tiba-tiba berdiri," ucap Jean, berjongkok dan bersiap memunguti pecahan cangkir di lantai.

"Pakai sapu aja, Mas." Pak Roni bergegas kembali masuk ke dalam rumah untuk mencari sapu.

Tadi Jean sempat melihat ketika gadis itu menoleh ke arahnya karena keributan kecil yang baru saja terjadi. Namun, ketika melihat ke bawah pohon itu, Jean sudah tidak menemukan gadis itu lagi. []

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: May 15 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

The Lost PrincessWhere stories live. Discover now