Part 29

90 18 2
                                    

'Tadinya aku mau kasih kamu surprise, tapi kayanya aku yang dapat surprise dari kamu ya. Thank you'

Sent

Dara menghela napasnya lalu menyandarkan kepalanya yang pening di lengan sofa. Beberapa menit lalu ia sudah sampai di apartemennya dan Jimmy, dan benar saja suaminya itu tidak ada di sana. Jimmy benar-benar membohonginya lagi.

Jika memang Jimmy sudah menyerah dengan hubungan dengannya kenapa tidak bilang, bukan seperti ini caranya. Dara tidak akan bilang suaminya berselingkuh, ia bersesia jika Jimmy menjelaskan padanya. Tapi ia tetap kecewa karena jelas suaminya itu sangat tahu bahwa Dara sangat benci dibohongi.

Ponselnya berbunyi, Dara hanya melirik benda itu yang memunculkan nama Jimmy. Namun ia tidak berniat menjawabnya, tubuhnya terlalu lelah untuk mendebat Jimmy apalagi hanya berbicara melalui telepon.

Dara memposisikan tubuhnya berbaring di sofa dan memejamkan matanya Dara yakin Jimmy pasti sedang panik luar biasa, tetapi ia tidak peduli. Biarkan saja, yang ia butuhkan adalah ketenangan dan istirahat untuk mengisi tenaga.

Entah berapa lama Dara tertidur di sofa, namun ia terbangun karena merasa seseorang mengguncang tubuhnya. Dara sedikit membuka matanya sedikit, terlihat Jimmy berdiri membungkuk di depannya.

"Ra, Dara. Bangun, sayang." ucap Jimmy mengusap rambut Dara pelan.

Dara menghela napasnya lalu mengubah posisinya menjadi duduk bersandar dan mengusap wajahnya. Diliriknya Jimmy yang ikut duduk di samping.

"Kamu gak ngabari aku kalau pulang lebih awal, jam berapa kamu sampai?" tanya Jimmy menatapnya. Dara balas menatap Jimmy dengan datar.

Ia hanya terdiam dengan tatapan datarnya ke arah Jimmy.
"Ra? Kamu gak apa-apa? Aku tanya lho, kok diam?"

Dara tersenyum tipis mendengarnya, "Aku udah di Jakarta sejak kamu bilang kamu masih di apartemen dan gak kemana-kemana."

Jimmy terlihat terkejut, "Aku-maaf aku keluar sebentar ke bawah buat ngopi, belakangan aku agak gampang ngantuk."

Bohong lagi.

Dara mengangguk paham, lalu ia meraih ponselnya di meja lalu terlihat mencari sesuatu. Lalu ia menggeser ponselnya tepat di depan Jimmy dengan layar terbuka.

"Aku yakin kamu belum buka chat dari aku yang terakhir, tapi aku baru tahu ada kafe kaya gitu di bawah, kapan adanya? Besok ajak dong. Kasih tahu aku sebelah mana." ucapnya menatap Jimmy yang terbelalak.

"Aku gak tahu apa aku yang terlalu percaya sama kamu atau gimana sampai kamu bisa bohongin aku berkali-kali. Am I easy for you? Segitu bodohynya kah aku di mata kamu?"

Jimmy berusaha meraih lengannya yang segera ia tepis,
"Ra, enggak gitu."

"Please, diam. Aku gak akan menuduh kamu selingkuh karena aku juga gak mau berasumsi macam-nacam. Tapi fakta kalau kamu bohongin aku lagi dan itu untuk nutupin kebohongan kamu yang lain bikin aku makin kecewa sama kamu."

Jimmy menatap Dara sedih, dirinya seketika ditumpuki oleh rasa bersalah. Ia kembali menyakiti Dara, ia benar-benar kembali menyakiti istrinya.

"Aku tanya sama kamu, kamu kenal aku udah berapa lama sih? Sebulan? Dua bulan? Enggak kan. Kita udah bertahun-tahun sahabatan sebelum menikah. Kayanya udah ratusan kali bilang kalau aku benci banget yang namanya dibohongi, entah sama siapa pun itu. Tapi kamu masih ngelakuin itu. Kali ini kamu mau bilang demi kebaikan?" Dara terkekeh miris. Tubuh dan batinnya terasa lelah.

"Bullshit tahu gak." tambahnya.

Mata Jimmy berkaca-kaca, "Ra, tolong biarin aku jelasin."

"Aku bilang diam dulu."

"Gak bisa kah kamu bilang, minimal buat ngabarin aku lewat chat. Aku juga gak akan marah kok kalau kamu dari awal jujur sama aku. Aku gak peduli kalau bener kamu ketemu temen kamu, tapi ini Vadi. Dia mantan kamu yang masih ganggu walaupun tahu kamu sudah menikah sama aku." lanjut Dara.

Dara terdiam sejenak dan menghela napas berat. Ia lalu menatap Jimmy sayu, "Aku minta maaf kalau memang dengan adanya aku malah justru bikin kamu merasa terbebani buat ketemu sama siapa aja."

"Dara, enggak gitu maksud aku. Aku sama sekali gak merasa terbebani apa pun sama kamu. Aku senang banget bisa hidup sama kamu, jadi aku mohon dengerin aku dulu." sahut Jimmy pelan.

Dara menggeleng pelan, "Jangan sekarang. Aku lagi capek banget dan gak ada tenaga buat sekedar dengerin penjelasan kamu. Posisi kita juga lagi kaya gini, aku yakin aku gak akan bisa dengerin kamu dengan pikiran jernih. Kasih aku waktu sendiri."

"Ra-"

"Tenang aja, kamu masih bisa tidur di samping aku. Aku gak akan usir kamu dari kamar." ucap Dara bangkit berdiri lalu berjalan ke dalam kamar mereka tanpa menoleh lagi.

Jimmy menyugar rambutnya frustasi dan menghapus air mata yang sempat akan menetes begitu Dara menjauh. Semua ini memang salahnya. Jika dari awal ia jujur, sekecil apa pun masalahnya Dara tidak akan semarah ini.

Jimmy melangkah masuk ke dalam kamar. Dara terlihat sudah berbaring memungginya dengan selimut menutupi tubuhnya.

Ia menghela nafas lalu melangkah masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan diri. Beberapa waktu kemudian ia keluar dari kamar mandi dan ikut berbaring miring di samping istrinya seteah mengeringlan rambutnya. Ditatapnya punggung Dara, bahkan dari belakang saja istrinya terlihat cantik.

Jimmy menggeser tubuhnya mendekat ke arah Dara.

"Ra," panggilnya pelan takut mengganggu tidur Dara. Namun istrinya itu berdeham menyaut.

"Boleh aku peluk kamu? Tapi kalau kamu kamu gak nyaman gak apa-apa."

Dara hanya terdiam dan menengok ke belakang sebentar membuat Jimmy bepikir istrinya memberi lampu hijau.

Dengan tangan sedikit bergetar Jimmy memeluk pinggang ramping Dara dan menelusupkan wajahnya di tengkuk istrinya tersebut.

"I'm sorry." bisik Jimmy mengeratkan pelukannya dan semakin menyerukan kepalanya di tengkuk Dara. Tanpa ia ketahui Dara membuka matanya dalam diam. Matanya kembali berkaca-kaca. Dapat ia rasakan tengkuknya basah, ia yakin suaminya kini sedang menangis dalam diam.

"I'm really sorry."

•••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••

Das ist LiebeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang