BAB 11 : Terjebak dalam Belenggu Selir

22 2 0
                                    

Hal yang paling aku benci adalah ketika ibuku, Raden Manohara Banowati, seorang istri yang menikah kembali

Ops! Esta imagem não segue nossas diretrizes de conteúdo. Para continuar a publicação, tente removê-la ou carregar outra.

Hal yang paling aku benci adalah ketika ibuku, Raden Manohara Banowati, seorang istri yang menikah kembali. Pernikahan kedua dengan orang Belanda ini terjadi karena perjanjian yang dibuat sebelum ayah kandungku meninggal.

Ibuku, seorang perempuan yang selalu menjaga sikap dan bicaranya. Ia tidak pernah kasar, selalu berbicara santun. Dia adalah seorang penari profesional. Sejak usia lima tahun, ibu sudah belajar menari bersama mendiang Pakde Dharma. Aku, gadis pribumi. Ya, aku mengakuinya! Aku tidak suka disebut keturunan Belanda.

Namun, semua orang selalu menganggapku seperti itu. Ini semua karena Ayah Wiratama menyekolahkan aku dan bersama saudara-saudaraku Belanda di sekolah negeri. Meski, alasan ayah cukup masuk akal. Itu hanya masuk akal untuk saudara-saudaraku. Tidak denganku.

Aku sangat suka berbincang dengan sesama pribumi. Para perempuan yang memiliki warna kulit sepertiku. Menurutku, mereka jauh lebih cantik dibandingkan harus memaksakan kecantikan yang berbeda. Semua perempuan itu cantik. Indah dengan ukiran yang unik masing-masing.

Rambut lurusku sama indahnya dengan rambut keriting milik Indriyani Putri, sahabatku. Rumahnya bersebelahan dengan rumahku. Begitu juga, rambut pirang milik saudara Belandaku.

Dari mana aku bisa memahami semua ini? Tentu, Ibu Manohara yang menasihatiku. Dunia itu kejam. Orang terdekat bisa saja jahat. Aku tidak yakin, karena aku punya pikiran lain.

Aku sering melihat ibu menangis ... aku tidak sengaja ... tatapan ibu begitu kosong. Pikirannya melayang, meski raganya berada di tempatnya. Ibu pernah melawan. Membantah ucapan suami Belanda yang makin lama-kelamaan berbuat seenaknya. Namun, ibu sudah tidak sanggup.

Bagaimana jika semua nasihat itu adalah pesan terakhir dari ibu? Ketakutan terbesarku hanyalah itu. Siapa yang akan menemaniku? Karena hanya aku sendirian di sini. Tiga kali aku melihat ibu berusaha mengakhiri hidupnya.

Teriakan ibu melawan ayah sambungku kerap kali menjadi radio sehari-hariku.

Suatu malam, aku mendengar suara tangisan pilu dari kamar ibu. Tanpa ragu, aku langsung berlari ke sana. Pintu kamar tidak terkunci, aku melihat ibu terduduk di tepi ranjang, wajahnya basah oleh air mata.

"Ibu, ada apa?" tanyaku dengan suara gemetar.

Ibu memelukku erat, tubuhnya gemetar, "Nak, Ibu... Ibu tidak sanggup lagi," bisiknya di telingaku.

Hatiku hancur mendengarnya. Aku tahu ibu sudah sangat tertekan dengan pernikahannya dengan ayah sambungku. Dia selalu dihina dan diperlakukan kasar, dan aku tidak bisa berbuat apa-apa untuk membantunya.

"Jangan khawatir, Bu," kataku memeluknya lebih erat.

"Aku ada di sini untuk Ibu. Aku akan selalu menemani Ibu."

Ibu menatapku dengan mata penuh kasih sayang, "Terima kasih, Nak. Kamu adalah anak yang kuat dan pemberani."

Kami berpelukan dalam diam untuk beberapa saat, merasakan kehangatan dan kasih sayang satu sama lain. Aku berjanji pada diri sendiri untuk selalu melindungi ibu dan membantunya keluar dari penderitaannya.

Nirmala : Gamelan Ayu Banowati [Segera Terbit]Onde histórias criam vida. Descubra agora