Another Confession

Start from the beginning
                                    

Dewa baru tau kalau Ren bisa bikin ekspresi sejelek itu. Dia kayak kakek-kakek, kebanyakan mikir. Untung nggak botak atau punya keriput. Tapi tetap saja dengan rahang biru keunguan, ditambah kerutan di kening Ren, Dewa jadi tambah ilfil. Rambut pirang dia juga masih basah plus sedikit kotor, membuat warnanya lebih ke abu-abu cokelat daripada abu-abu pirang terang seperti biasa. Seragam sekolah Ren yang sobek dan lecek di beberapa tempat menambah nilai minus di mata Dewa.

Anak kek gini jadi pacarnya? Amit-amit.

"Berhenti, Tama."

Aduh, tapi nama barunya lucu banget.

"Kenapa? Emang bener kan?" Dewa ngeyel.

"Lu bego atau apa sih? Nih ya, jujur aja, gua kemarin nembak lu soalnya kena tantangan dari Bram buat naklukin lu. Kita cuma mainan aja."

Dewa memutar bola matanya. Elah, dia kira apa.

"Basi, Ren. Gue udah tau itu dari kemaren-kemaren juga," dia mendengus. "Terus kenapa kalo lo nggak beneran suka? Toh status kita tetep pacar."

"Oke, gua putusin lu sekarang juga."

Dewa menepuk tangannya. "Sip. Nah, sekarang sebagai mantan, lo harus cerita ke gue kenapa. Cepetan."

Ren keliatan bengong, lalu dia tertawa. Nggak lebar-lebar, bisa patah tulangnya ntar. Tapi anak itu masih ketawa aja sampai megangin perutnya. Dewa mengerutkan kening. Dia nggak ngerasa ada hal yang lucu atau pantes diketawain.

Si rambut hitam baru akan mendesak lagi, ketika sadar tawa Ren sudah berganti dengan isakan.

Dewa bengong.

Anjir, dia harus ngapain??

"Lu...," terdengar suara Ren, kali ini terkekeh geli, "... sumpah gila."

"Elo kali yang gila," Dewa memajukan kursinya. "Lo sadar lagi nangis sambil ketawa?"

Dan kayaknya dia salah ngomong karena Ren langsung balik mewek. Dewa mendengus bingung. Mau diapain nih bocah? Seumur hidup kalo ada orang nangis dalam radius tujuh meteran, bakal langsung dia tinggal, angkat kaki jauh-jauh dengan dua telinga tersumpal. Tapi nggak mungkin kan dia ninggalin Ren sekarang? Anak itu udah labil, psiko, juga baru saja mengalami kejadian traumatis dan sekarang menunjukkan tanda-tanda PTSD. Kalau dia tinggal, salah-salah pas balik udah jadi mayat tuh cowok di atas kasurnya.

Ugh, ini repotnya interaksi sama manusia. Bikin dia mikir lama banget saking banyaknya probabilitas dan resiko (hadah) yang harus dipertimbangkan dalam tiap langkah (tsah).

"Ah, gue inget!" Dewa menjentikkan jari, kelewat semangat. "Lo marah gegara Bram kan? Sama apa yang dia omongin?"

Ren mengangkat kepala, matanya melebar.

Dewa mendekat. "Emang mereka bilang apa? Cerita ke gue."

Ren menggeleng.

Dewa memaksa. "Ayolah. Kan gue mantan lo."

"Hubungannya apa anjir."

"Terus lo maunya cerita ke siapa? Rumput yang bergoyang??" Dewa jadi gemas sendiri. Ampun deh, cowok satu itu. Kompleks banget.

"Kalo gua cerita, lo bakal apa?" tanya Ren.

Dewa mengangkat alis tinggi-tinggi sambil menahan nafas. Ya jelas dia bakal masukin itu ke data penelitiannya lah. Terus lanjut mengobservasi kelakuan Bram cs. Mungkin dia bisa minta Wanda jadi mata-mata juga, dengan bayaran yang pantas. Apa lagi?

"Gue bakal bantu lo?" jawabnya nggak begitu yakin.

Ren tersenyum.

"Janji, kalo gua cerita, lu bakal bantuin gua."

Dewa memutar bola mata. "Iya, cerewet. Lo childish banget sih pake pinkie promise segala. Emang perlu? Sekalian aja sumpah darah."

Senyum si rambut pirang tetap, membuat Dewa bergidik. "Janji?"

Yang ditagih menatap kelingking Ren dengan curiga, sebelum kemudian mendengus sambil mengaitkan kelingkingnya sendiri di sana. "Hn."

"Sip," Ren tersenyum. "Tadi gua nggak ke BK, gua bohong kalo ada janji sama Bu Intan. Risih aja gitu, masa hampir satu jam istirahat makan siang sama lu terus."

Dewa mengangguk. "Basi. Lanjut."

"Terus gua niat nongkrong di kamar mandi. Eh ada anak-anak di sana, lagi nggosip. Yaudah gua dengerin."

Dewa mengamati perubahan air muka Ren, makin lama makin dingin dan asing. Ternyata beneran ada manusia yang pathetic banget macam dia. Dan Dewa kira selama ini skill interpersonalnya yang paling parah di antara anak seumuran mereka, pfft. 

"Katanya mereka mau minta pajak jadian kita berdua ke gua habis pulang sekolah. Dan bilang kalau selama ini gua cuma dianggep akun bank sama mereka, yadda yadda yadda. End of story."

Dewa terdiam. Semua itu sesuai dugaannya.

"Lagian lonya juga sih, nggak bisa pilih temen," gerutu Dewa setelah beberapa saat. "Oh, gue lupa. Pacaran aja lo nggak ada yang awet, apalagi temenan."

Ren menatapnya sengit. "Kayak lu ada pacar sama temen aja!"

Dewa mengangkat bahu, cuek. "Kalo tipe kayak mereka yang lo bilang pacar sama temen, sori, mending gue jadi perjaka tua dan pergi bertapa di gua. Lagian, lo jadi orang idiot banget sih. Gue yang sekilas liat aja bisa tau mereka nggak bener-bener suka temenan sama lo."

"... terus kenapa lu nggak bilang dari awal, hah?"

Dewa mengangkat sebelah alis. "Emang lo bakal denger? Yang gue tahu, lo cuma dimanfaatin sama orang-orang gegara entah terlalu polos atau bego, ditambah lo sendiri haus perhatian. Harusnya dari jauh-jauh hari hal kayak gini udah lo antisipasi. Tapi sekarang? Pacar gak ada, temen sampah, lonya juga luka. Sadar dong, nyet."


RENARO

Beneran kan, dugaannya.

Ren menggelengkan kepala, bangkit. Dia sedikit terhuyung, tapi masih bisa menatap Dewa yang kini antara heran dan waspada.

Toh si rambut pirang cuma nyengir kuda.

"Lu juga anjing ternyata," dia berkata, ringan, lalu menuju pintu dan keluar begitu saja.

Persetan dengan semua orang.

I Don't Give a Fuck [in ed.]Where stories live. Discover now