Bab 1. Cerita Tentang Abram

9.7K 374 1
                                    

Tok! Tok! Tok!

"Risti....
"Fitiara...

Tok! Tok! Tok!

"Risti....
"Fitiara...

Ketukan di pintu bertubi-tubi, dan panggilan berkali-kali itu membuat Fitiara terbangun. Dia meninggalkan tempat tidurnya dalam keadaan masih sangat mengantuk.

Cklet...

"Iya tante" sahut Fitiara sembari mengucek kedua matanya, menatap wajah istri dari pamannya.

"Bangunkan Risti, kita jalan-jalan yuk"

Mata kantuk nan berat Fitiara terbuka lebar, senang mendengar ajakan itu, sesuai yang ia harapkan ingin berjalan-jalan berkeliling kota.

"Ok, segera" sahutnya.

Begitu Dhian pergi, segera dia membangunkan Risti bahkan menggoyang-goyangkan tubuh adik sepupunya yang masih tertidur lelap.
Dan sebelum berangkat mereka menikmati sarapan bersama terlebih dahulu sembari membuat rencana tujuan-tujuan mereka nantinya.

"Kita naik apa?" tanya Fitiara, setahunya mobil milik paman nya sedang berada di bengkel, makanya dia minta tak usah di jemput dari bandara. Tapi karena khawatir, Risti menjemput yang menjemputnya menggunakan taksi.

"Nanti bos Abram yang menjemput" sahut Amir membuat Fitiara tersedak makanannya, dia tak menyangka bos pamannya, pria luar yang tak ada hubungan kekeluargaan akan ikut bergabung dengan jalan-jalan keluarga mereka.

"Pak Abram memang selalu ikut yah jika kalian akan liburan?"

"Ini akan menjadi pertama kalinya" sahut Dhian.

Fitiara sedikit memiringkan kepalanya tak menyangka pria paruh baya berpredikat seorang kakek itu tenyata memiliki jiwa muda juga menyukai liburan.

"Kenapa dia di ajak?" tanya Fitiara bingung

"Justru pak Abram yang menawarkan diri, sekalian pak Abram dan om mu ingin melihat minat orang-orang akan produk miliknya"

"Oh iya, perusahaan tempat om Amir bekerja memproduksi apa saja?"

"Banyak. Dari camilan, minuman rasa buah, permen, dan baru-baru ini perusahaan meluncurkan produk baru yah itu es lilin rasa buah yang teksturnya lembuuut sekali"

"Nama perusahaannya apa?"

"Emdi"

"Emdi?"

"Emdi itu singkatan dari Bremdi, nama mendiang ayah dari bos Abram,. Bos Abram mengunakan nama itu untuk logo perusahaannya karena sangat berterimakasih pada mendiang ayahnya telah mewariskan sebuah gudang. Nah di gudang itu bos Abram menghabiskan masa mudanya membuat menu-menu yang sekarang beliau dagangkan"

"Pak Abram itu lulusan tata boga. Dia pernah menjadi koki di sebuah restoran ternama sebelum memutuskan membuat usaha sendiri ketimbang membuat sebuah restoran" sambung Dhian menambah cerita tentang seorang Abram Bremdi.
Dan untuk pertama kalinya Fitiara tertarik membahas lawan jenisnya.

"Alasannya apa? Pasti akan banyak yang rela membayar mahal untuk menu buatannya bukan?"

Amir meletakkan garpu dan sendok ke piringnya, menjelaskan dengan sepenuh hati perihal seseorang yang keponakannya tanyakan. Rasanya beliau senang jika sang keponakan menunjukkan ketertarikan pada lawan jenisnya. Perihal usia beliau tak masalah, asalkan pria itu bertanggung jawab serta seseorang yang bersungguh-sungguh pada keponakannya, meski pria itu menyandang status kakek sekalipun tak apa baginya selama sang keponakan tak masalah.

"Itu dia, bos Abram ingin kalangan bawah atau kalangan atas bisa mencicipi apa yang beliau buat,. Bos Abram tidak hanya ingin di kenal di kalangan orang tertentu, tapi juga pada orang-orang yang di anggap kurang mampu, karena beliau ingin membuktikan semua orang bisa satu dalam sebuah rasa makanan"

Fitiara tersenyum entah mengapa merasa bangga pada pria yang mereka bahas. Padahal jika seorang Abram mau, dia bisa saja memilih kelas atas berbekal dari pendidikan yang dia tempuh. Tapi kedati demikian dia memiliki prinsip semua orang bisa satu dalam segi makanan.

Tok! Tok! Tok!

Mereka mengerjap mendengar kedatangan tamu di pagi hari saat mereka hendak pergi.

"Biar saya saja" sahut Risti meninggalkan meja makan untuk melihat siapa yang bertamu. Tak lama berselang ia kembali dengan membawa tamu tersebut.

"Mah, pah, ada pak Abram"

Fitiara tergemap mendengar seseorang yang tengah mereka bahas datang. Dia menoleh membernarkan ucapan adik sepupunya. Dan lagi mata keduanya bertemu seraya Abram mendekat.

"Maaf, saya hanya ingin memastikan apa kalian jadi berjalan-jalan? Soalnya waktu janjiannya telah lewat setengah jam, saya juga menunggu sedari tadi di bawah"

Semua anggota keluarga saling tatap merasa tak enak, mereka terlalu asyik berbincang sehingga lupa dengan tujuan mereka untuk berjalan-jalan.

"Maaf pak, kami keasikan mengobrol" sahut Dhian

"Maaf jika saya menganggu"

"Tidak bos, tidak,. Kalau begitu mari bergabung bos, kita sarapan dulu sebelum berangkat" sahut Amir mengambilkan sebuah kursi kosong untuk bos nya duduki.

"Silahkan pak,. Pak Abram pasti belum sarapan" ujar Fitiara berdiri dari duduknya meyambut bos pamannya untuk duduk.

"Iya, saya belum sarapan,. Saya takut saya akan telat"

Sesaat melandaskan pantatnya, Abram ingat jika sebenarnya dirinya telah sarapan di cafe tak jauh dari kediamannya.

"Sebentar yah pak, saya ambilkan piring bersih dulu" sahut Dhian.

"Biar saya saja tante, saya sudah kenyang" sela Fitiara meninggalkan tempat duduknya. Dia yang mengambilkan piring bersih dan meletakkan di hadapan Abram, bahkan mendekat kan beberapa menu agar memudahkan pria itu mengambil apa yang dia inginkan sebagai menu sarapannya.

"Oh iya nak, tolong sekalian buatkan minum untuk pak Abram" pinta Amir

"Tidak usah, merepotkan" tolak Abram

"Tidak apa-apa pak, pak Abram ingin apa? Kopi atau teh?" tawar Fitiara ramah.

"Teh saja" maka itu cangkir keduanya di pagi ini.

Fitiara pun pamit membuatkan secangkir teh untuk bos dari pamannya, dan meletakkan di samping piring Abram.

"Terima kasih yah" kata Abram, ia tersenyum teduh menatap Fitiara haru.

Sudah beberapa tahun semenjak istrinya meninggal, beliau tak pernah di layani seperti itu. Di layani oleh Fitiara menjadi pertama kalinya di layani oleh seorang wanita selama tujuh tahun terakhir, selain pelayan, OB maupun pengurus rumah.

Merekapun menikmati sarapan bersama sebelum melakukan tujuan awal yah itu berjalan-jalan sembari kedua pria dewasa paruh baya itu bekerja.

Di Kejar Cinta Bos PamanWhere stories live. Discover now