Bab 5 Oh, Aida...

21 2 0
                                    

Esok paginya, aku menyibukkan diri di kantor. Meskipun Fredi bilang akan mengurus pekerjaanku, tetap saja ada beberapa hal yang harus aku sendiri yang menyelesaikannya. Beberapa berkas sudah menumpuk di mejaku dan harus aku tanda tangani. Dan sepanjang pagi itu, aku sibuk mempelajari berkas-berkas yang ada. Dan siang nanti, aku juga harus menghadiri rapat bersama tamu dari pabrik yang menangani produk baru kami. Tapi itu bagus. Karena aku berharap dengan kesibukan ini, aku bisa melupakan masalah-masalahku dengan wanita yang terjadi belakangan ini.

Tapi apakah semudah itu? Tentu saja tidak. Saat meeting, beberapa stafku, terutama Fredi memperhatikan ekspresiku yang murung. Dia pasti sudah bisa menebak masalahku meskipun aku belum bercerita apa-apa padanya. Aku yang biasanya aktif bertanya untuk menguji kedalaman riset tim presentasi, kini lebih banyak diam. Dan jargon Dirga's BMM (Bad Mood Moment) kembali terdengar. Itu adalah sebutan para stafku saat melihat bosnya sedang tak bersemangat.

Dan benar saja, seusai rapat, Fredi datang ke ruanganku. Ia benar-benar mengerti tabiatku. Dan kalimat pertama yang keluar dari mulutnya adalah. "Pasti gagal lagi, kan?"

Aku mengangguk samar.

"Shit!" umpatnya. "Jadi juga aku pakai stocking istriku."

Aku tidak berminat untuk tertawa, sumpah. "Berapa lama?"

"Seminggu," jawabnya lirih. "Gimana ceritanya? Terakhir kamu nelpon, kayaknya semuanya lancar-lancar aja."

Aku menghela nafas. Sebenarnya aku agak keberatan kalau harus menceritakannya. Itu seperti mengulang kembali rasa sakitnya. Tapi pada siapa lagi aku akan berbagi masalah ini. Atau lebih tepatnya, mencari dukungan dan menguatkan kembali kepercayaan diriku. Aku perlu nasehat-nasehatnya. Dan selama ini, Fredi selalu meyakinkanku dengan 'petuah-petuahnya'. Dan inilah ekspresinya ketika aku selesai bercerita.

Ia menggeleng-geleng pelan tanpa henti. "Bagaimana kamu bisa begitu cepat menyatakan jatuh cinta?"

Sepertinya ia salah paham. "Aku nggak bilang ke dia kalau aku jatuh cinta. Aku cuma bilang kalau aku mulai suka sama dia."

"Bukan itu maksudku," tepisnya. "Masalahnya bukan apa yang kamu bilang ke dia. Tapi apa yang kamu bilang ke diri kamu sendiri. Dengan kamu berangan-angan bisa menikahi dia itu menyatakan kalau kamu jatuh cinta. Itu seperti menyerahkan hati kamu ke dia dan siap buat diinjak-injak. Dan cuma perlu waktu empat hari?"

"Apa itu aneh?"

"Nggak aneh," jawabnya ketus. "Cuma konyol."

"Memang kedengarannya konyol. Tapi kalau kamu mengalaminya sendiri, kamu akan tahu kalau prosesnya berjalan dengan wajar." Aku tidak bermaksud melawan, hanya membela diri.

"Aku ngerti." Ia tetap menyerangku dengan pendapatnya. "Prosesnya wajar. Yang nggak wajar adalah yang terjadi dalam diri kamu, Ga."

Pedas sekali kedengarannya. Aku mulai kesal mendengar ocehannya. "Gampang sekali kamu ngomong gitu. Kamu nggak merasa dikejar-kejar deadline buat nikah."

Dia tak mempedulikan jawabanku. "Bahkan pasangan yang udah lama pacaran pun nggak boleh merasa pasti kalau wanita yang sedang bersamanya adalah jodohnya. Tapi kamu, baru kenal empat hari saja sudah merasa pasti bakalan nikah sama dia. Dan tentang jodoh, jawab pertanyaanku ini. Kalau ada seseorang menikah sampai tiga kali, mana yang akan ia sebut sebagai jodohnya? Istri pertama atau kedua yang sudah ia cerai? Atau istri ketiganya yang mungkin akan ia ceraikan? Dan seberapa sakitnya kalau dari istri yang pertama dia merasa bahwa dia sudah bertemu pasangan seumur hidupnya?" Ia menghela nafas. "Kamu cuma harus menjalaninya tanpa ada tuntutan apapun, Ga," ujarnya memberi kesimpulan.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 02, 2015 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Pengakuan Si Cowok SempurnaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang