BAB 7 : Toko Djati Wardede

11 4 0
                                    

BAB 7 : Toko Djati Wardede

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

BAB 7 : Toko Djati Wardede

Abimanyu melihat plang Jalan H. Ali dan segera berbelok. Sebuah toko terlihat di depannya. Untungnya, halaman parkirnya cukup luas. Ia dengan yakin memarkir mobilnya agar tersusun rapi.

Toko Djati Wardede. Papan nama toko itu sudah usang, bahkan sebagian hurufnya sudah buram. Mereka memperoleh referensi dari internet. Meski disebut sebagai toko antik, penampilan toko itu benar-benar tidak mencerminkan penjualan barang-barang antik.

Tembok toko dicat putih dengan cat yang sudah terkelupas, memperlihatkan lapisan kuning pucat. Jendela yang kotor menjadi sorotan utama. Banyak patung berada dekat pintu.

Suara kamera Juni terus terdengar. Juni merasa banyak yang harus diabadikan. Abimanyu hanya menggelengkan kepalanya. Ia melihat kekasihnya yang sebelumnya tidak mau diajak, kini paling semangat.

"Mas, kenapa tidak memberitahu kalau kita akan ke sini? Kalau aku tahu, aku bisa pakai baju yang lebih sesuai dengan tema foto," ucap Juni, menyadari bahwa pakaiannya tidak cocok dengan tema yang ada.

Abimanyu sudah menduga akan mendengar perkataan yang sama seperti yang pernah Juni katakan saat mereka masih pacaran dulu. Ia pernah mengajak Juni tanpa memberitahu tujuan mereka dan Juni mengomelinya, seperti yang terjadi sekarang.

"Kamu sudah cantik. Jadi, tidak perlu khawatir. Kamu ingat? Perkataan kamu tadi sama persis dengan yang kamu ucapkan waktu kita kuliah dulu," jawab Abimanyu, membuat Juni tersipu malu.

"Mas ini, apa-apaan, sih?!"

Abimanyu tertawa mendengarnya. Mengambil kamera yang dipegang Juni, Abimanyu mengabadikan senyuman kekasihnya yang terlihat malu.

Banyak patung pengantin Jawa Loro Blonyo tersusun rapi dengan bentuk dan motif yang berbeda, juga dengan ukuran yang bervariasi, seolah-olah memperlihatkan beragam jenis patung pengantin tersebut. Namun, di antara mereka, sudah ada yang terkelupas.

Meskipun dapat diakses melalui pintu yang sempit, toko tersebut memiliki tiga pintu yang terbuka. Dua di samping menggunakan pintu geser untuk memasukkan barang yang cukup besar.

Abimanyu terkejut dengan kehadiran seorang pria tua berpakaian Jawa sederhana yang lusuh. Raut wajahnya begitu serius, menatap pasangan tunangan di depannya. Abimanyu berpikir dari mana pria tersebut masuk.

"Maafkan, saya, Pak," ucap Abimanyu, menyadari sikapnya yang kurang sopan.

"Apa kalian pasangan yang tinggal di rumah Bu Nirmala?" Suara lembut pria itu membuat Abimanyu dan Juni sedikit lega. Perlahan, terlihat senyuman ramah.

"Tidak usah takut. Apa saya seseram itu?" 

Abimanyu langsung menggelengkan kepalanya, "Tidak, Pak. Saya hanya terkejut tadi. Soal tadi, kami yang menempati rumah Bu Nirmala."

"Perkenalkan saya Wirja. Jangan panggil saya Dedes, karena saya tidak suka makanan pepes." Juni terdiam mencoba mencerna candaan ala bapak-bapak. Berbeda dengan Abimanyu yang tertawa menanggapi sepenggal kalimat. Bahkan, ia juga nyeletuk pepes apa yang tidak disukai oleh Pak Wirja.

"Baru kali ini saya menemukan anak muda yang sudah paham candaan saya. Baik, silakan masuk." Pak Wirja masuk terlebih dahulu, diikuti oleh pasangan tunangan di belakang.

Abimanyu dan Juni mengikuti sambil melihat interior antik yang tersebar di penjuru ruangan. Keduanya merasa sedikit lebih santai setelah bertemu dengan Pak Wirja yang ramah. Mereka penasaran dengan apa yang akan mereka temui di dalam toko Djati Wardede.

Keadaan di dalam toko bertolak belakang dengan kondisi depan yang benar-benar usang. Di dalam, semuanya terlihat mewah dengan segala barang antik yang dipajang. Ada yang tergantung di langit-langit, tergerai layaknya tirai, dan ada yang terpajang di dinding. Topeng-topeng menghiasi dinding kayu yang sengaja dibuat terpisah, seolah-olah menjadi sekat.

Tidak hanya perabotan hiasan, tapi perabotan kebutuhan juga terlihat saat Abimanyu dan Juni semakin masuk ke dalam toko. Ranjang tua dengan ukiran yang rumit terlihat, kayunya dilapisi cat pelindung agar tetap awet.

Saat Abimanyu melangkah lebih dalam, ia menemukan sebuah hamparan rumput di dalam toko. Rupanya, itu adalah bagian dari teras belakang toko yang terhubung dengan rumah Pak Wirja. Dari sini, mereka bisa melihat bukit yang tak diketahui namanya dari kejauhan, memberikan kesan damai dan memikat. Sebuah kejutan yang tidak mereka duga, menghadirkan perspektif baru tentang toko Djati Wardede dan kehidupan di baliknya.

"Baik, di sini ada barang yang kalian keluarkan dari rumah itu," kata Pak Wirja menunjukkan satu ruangan yang berisikan interior dari rumah milik Abimanyu.

"Tapi, ada satu yang harus dibawa ke rumah kalian lagi. Barang itu pesan dari Bu Nirmala untuk tidak dibuang atau dijual di sini. Kemarin saya terkejut kenapa barang itu bisa ada di sini."

****

Abimanyu duduk termenung di kamar, merenungkan kata-kata bijak Pak Wirja yang masih bergema dalam pikirannya. Juni, yang baru saja selesai merawat wajahnya dengan rutin, terlihat bingung dengan sikap tunangannya.

"Apa benar di belakang rumah kita ada pendopo?" tanya Abimanyu, menyadari kebingungan Juni yang duduk di sampingnya di ranjang. Malam yang seharusnya digunakan untuk istirahat terasa terhenti sejenak, tertunda demi curahan hati.

"Jika itu benar, kita bisa mengeceknya besok. Kita harus mengikuti saran Pak Wirja. Sebagai pemilik baru, kita harus patuh pada kehendak pemilik sebelumnya. Barangkali ada interior lain di pendopo itu," lanjut Abimanyu, menghela napasnya.

"Tapi, sayang... siapa yang membawa gamelan itu ke toko Pak Wirja? Jika memang gamelan berada di pendopo, bagaimana bisa?" tambahnya, memancing pemikiran Juni yang kemudian menatapnya dengan serius.

Juni setuju dengan pendapat Abimanyu. Mereka merasa tidak diberi informasi yang memadai selama ini, seolah ada yang disembunyikan. Raut wajah Juni berubah saat ia tiba-tiba teringat sesuatu yang penting.

"Sayang ... masih ingat ketika aku bilang bahwa aku mendengar semacam suara gamelan, tapi kamu tidak mendengarnya dan menganggap aku hanya kecapekan? Apakah itu suara gamelan yang dimaksud?" tanyanya, suaranya penuh dengan kebingungan dan keheranan.

Juni mencermati ekspresi yang berubah di wajah Abimanyu. Ada sesuatu yang tidak biasa dalam cara Abimanyu merespons pertanyaannya, dan itu membuatnya gelisah.

Abimanyu terdiam, matanya menatap ke dalam dengan serius. Dia benar-benar dilanda kebingungan dan sulit mencerna apa yang baru saja terjadi. Perasaan menyesalnya perlahan mulai tumbuh, menyelimuti pikirannya dengan beban yang berat. Sesuatu yang pernah dianggap sepele kini terasa begitu penting, dan dia merasa bersalah karena tidak memperhatikan Juni dengan lebih baik sebelumnya.

"Gamelan itu memiliki nilai sakral. Tidak boleh dipindahkan atau dijual sembarangan. Saya tidak akan mengambil dan akan mengirimkannya ke rumah kalian dengan cermat. Kalian akan mengalami bahaya jika tidak merawat gamelan ini dengan baik," tegur Pak Wirja dengan serius.

"Dari mana gamelan ini berasal?" tanya mereka, kini semakin penasaran.

Pak Wirja mengernyitkan dahinya, "Kalian tidak tahu bahwa di belakang rumah kalian ada sebuah pendopo besar?"

Pertanyaan tersebut membuat pasangan tunangan itu terdiam, terkejut menyadari ada bagian dari rumah mereka yang belum mereka ketahui.

Pertanyaan tersebut membuat pasangan tunangan itu terdiam, terkejut menyadari ada bagian dari rumah mereka yang belum mereka ketahui

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Nirmala : Gamelan Ayu Banowati [End✓]Where stories live. Discover now