PROLOG

66 17 4
                                    

Angin begitu sejuk, menampar tirai

Ups! Tento obrázek porušuje naše pokyny k obsahu. Před publikováním ho, prosím, buď odstraň, nebo nahraď jiným.

Angin begitu sejuk, menampar tirai. Jendela terbuka lebar, membiarkan segalanya masuk. Dedaunan tua singgah sejenak sebelum terhempas kembali ke luar. Jeritan pintu terbuka, mengungkapkan kaki jenjang yang tertutup gaun hijau lumut.

Aku duduk tenang di depan meja rias, menyambut senja dengan senyuman. Cermin kusam memperlihatkan tanganku menyisir rambut hitam legam. Langit malam berhiaskan bintang, meriah seperti pentas drama cinta kami. Melepas segala khayalan.

Melihat wajahku di cermin, aku tersenyum. Banyak yang memuji kecantikanku, seindah namaku. Aku berbeda dari gadis-gadis desa lainnya. Kelopak mataku menarik perhatian para pemuda, hidungku warisan dari ayah, penyeimbang sempurna bagi kedua mataku.

Aku tak tahu mengapa pemuda blasteran Belanda suka dengan kulitku yang kuning langsat ini? Banyak yang masih mengira aku bukanlah orang pribumi, dari cara duduk, menunduk, tersenyum, hingga saat menjamu makanan. Semua itu seolah-olah menggambarkan aku dibesarkan dalam lingkungan yang penuh martabat.

Aku mengangkat badanku dan berjalan keluar kamar. Menuju lorong remang-remang. Aku menutup pintu di belakangku dengan sangat perlahan hingga tak terdengar suara kerit. Terpaan udara malam yang dingin justru membuat hasratku semakin membara.

Menyusuri halaman pendopo dan di dalamnya kulihat perlengkapan gamelan. Mengamati peralatan itu satu per satu. Di tengah malam seperti ini, perangkat gamelan terkesan terlantar dan berdebu.

Kendang, bonang, tiupan suling, dan dentingan gong.

Semua sunyi.

Tapi, gerakan elok tubuhku tak pernah terhambat hanya karena kesunyian semata. Suara gamelan sudah melekat di dalam relung-relung jiwaku. Mengalir di setiap nadi. Kemudian, bergema di dalam benakku. Tubuhku semakin luwes.

Tanpa kostum tari. Tanpa musik pengiring. Tanpa penonton. Hanya aku di pendopo. Menggerakkan jemari, tangan, lengan, kaki, pinggul, dan kepala, semua datang dari dalam lubuk hati.

Namun, di saat aku berkonsentrasi, suara langkah menginterupsi kesendirianku. "Kamu sudah sampai, sayang," katanya.

Senyumanku aku hadapkan ke sumber suara.

Namun, mataku terbelalak kaget.

Aku berteriak kencang sembari melihat darah bersimbah di dadaku.

Aku berteriak kencang sembari melihat darah bersimbah di dadaku

Ups! Tento obrázek porušuje naše pokyny k obsahu. Před publikováním ho, prosím, buď odstraň, nebo nahraď jiným.
Nirmala : Gamelan Ayu Banowati [End✓]Kde žijí příběhy. Začni objevovat