Rumi mengangguk. "Iya. Biar rumah ini rame gak horor, selama mas tinggal, mas cuma ngehidupin lampu kamar, dapur, sama ruang tamu. Kalau ada banyak orang kan nanti rumah ini jadi lebih hidup."

Keenan langsung menatap Rumi dengan lekat. "Aku mau ngekos disini, mas. Aku mau tinggal disini."

Seketika Rumi tertawa kencang, ia memeluk seikat bunga itu dan mencubit keras pipi Keenan. "Heh, rumah lo keliatan dari sini, Keen. Ngapain mau nge-kos."

Akhirnya kelepasan bahasa itu gara-gara ia bergaul dengan tiga teman makan wartegnya itu.

"Ya emang kenapa? Gak boleh?"

"Ya Allah, Keen. Kalau gue jadi elo, ya nggak bakal lah. Lo udah punya rumah gitu, ada pak Eiman, Bu Sumbi, Mbah Sam. Ngapain ngekos, udah enak-enak ada keluarga gitu, Keenan."

Mendengar ucapan Rumi, Keenan hanya bisa tersenyum tipis. Ingin menjelaskan lagi tapi sebuah mobil hitam mengkilap yang terlihat mahal datang. Masih dengan tangan kiri yang mendekap bunga, ia berdiri saat pemilik mobil itu keluar.

"Bang galih?" Rumi bergumam.

Galih menyugar rambutnya, tampak ragu melihat keadaan sekelilingnya yang tampak berantakan sebelum akhirnya menemukan Rumi berdiri di depan rumahnya.

Sedang tersenyum lebar ke arahnya sambil membawa bunga rumput berwarna putih. Sedikit bertanya-tanya mengapa anak itu ada disini, terakhir kali Galih melihat Rumi dua hari yang lalu tepatnya saat dia ngeospek maba lalu bekerja di sebuah toko.

Tapi setelah malam itu, saat Galih datang lagi semalam pemuda itu tidak ada.

"Ini rumah yang buka kos-kosannya?" Tanya Galih pada Rumi.

"Iya, bang. Disini," Jawab Rumi bersemangat.

Galih terdiam saat melihat Rumi yang selalu tersenyum seperti itu. "Gue mau ngekos disini. Lo juga?"

Rumi tertawa remeh, ia memainkan lidahnya di dalam pipi yang terlihat menyebalkan lalu menunjuk dirinya sendiri. "Gue yang punya rumah ini, bang."

Alis Galih sontak naik sebelah, bingung.

"Kenapa gak ngechat gue dulu, bang? Kan udah dibilang adminnya, gue juga harus menyampaikan rules ngekos di rumah joglo Rumi Kamaley ini," lanjut Rumi.

Galih melipat tangannya dan membuang napas berat lengkap dengan memutar bola matanya, lagak Galih jika pria itu memang tidak suka basa-basi.

"Kelamaan. Gue langsung tanya alamat rumah lo sama admin. Gue juga udah bawa barang-barang sekarang, tinggal mulai hari ini."

"Buru-buru banget. Gue baru aja jemur kasur, bang." Rumi menunjukkan spring bed yang terjemur di atas lincak bambu.

Galih ikut menatap kasur. "Jelek banget kasurnya, itu bekas?"

Seketika kepala Rumi pening, ia lupa kalau Galih ini anak gedongan. "Masih bagus itu, bang. Layak pakai banget."

Gue juga gak punya duit buat beli-beli, Galih Sandjaya. Huft... Andaikan ia punya uang 271 triliun. Batin Rumi melas.

"Lo kenapa mau nge-kos disini, bang? Bukannya lo udah tinggal di apartemen?"

Mendapatkan pertanyaan seperti itu, Galih terdiam sejenak. "Gue... Gue lagi PKL mandiri di puskesmas sidomulyo selama dua minggu," jawabnya sambil menatap bunga di tangan Rumi.

°°°

Rumi ini niatnya izin kuliah dan kerja sehari agar tubuhnya yang sedang demo bisa diistirahatkan, tapi ternyata bukannya dapat istirahat malah lebih bekerja keras.

BUKAN TEMPAT PELARIAN (Slow Up)Where stories live. Discover now