Natsu no Hi (2)

762 113 13
                                    

Rona kebiruan mewarnai langit. Itu benar-benar hari yang cerah tanpa awan.

Rasanya pagi di desa ini dua kali lebih terang dari pagi di Konoha. Mungkin karena tidak ada pepohonan hijau, sehingga sinar matahari langsung jatuh ke tanah tanpa sempat terserap atau terpantul oleh tumbuhan lain.

Naruto dan Hinata berjalan-jalan di pasar desa. Area ini seharusnya menjadi tempat paling ramai, tetapi keterpurukan ekonomi membuatnya turut hampir mati. Hanya ada sedikit pedagang dan segelintir orang yang berkunjung.

Mereka berbicara dengan seorang pedagang pasar yang sudah tua. Orang itu hanya mengatakan hujan sudah lama tidak turun, terakhir, kira-kira sebelum pemilihan kepala desa. Seorang wanita paruh baya mengungkapkan, sumber-sumber air di desa sudah kering. Satu-satunya harapan adalah sumur tua yang terletak di dekat rumah kepala desa. Jika tidak mendapat pasokan dari luar, maka warga akan menggunakan air tersebut-dengan jumlah yang dibatasi.

"Apa mungkin sumur tua itu terhubung dengan sungai bawah tanah?" tanya Naruto pada Hinata.

"Um, jika sebatas pori-pori di dalam tanah, airnya pasti tidak akan bertahan sampai tiga tahun."

"Ah, aku mengerti. Ayo kita memeriksanya."

Hinata mengangguk. Saat itu dia menyadari bahwa ada seseorang yang memperhatikan mereka dari jauh.

Naruto agaknya juga memahami situasi tersebut. Dengan cepat keduanya berjalan menuju sebuah gang kecil yang terletak di dalam pasar.

Benar, orang itu mengikuti mereka. Begitu dia tiba di depan gang, Naruto dan Hinata sudah tidak ada di sana—padahal akses gang itu ditutup oleh tembok tinggi.

"Kau mencari kami?" tanya Naruto dari belakang.

Wanita itu terkejut. Selendang yang menutupi wajahnya nyaris jatuh.

"...!"

Hinata mendekatinya. Wanita itu buru-buru memperbaiki posisi selendangnya.

"Anda butuh sesuatu?"

.

Di siang hari jurang persembahan terlihat lebih menyeramkan. Naruto baru tahu jika masih ada desa yang mempertahankan tradisi seperti ini.

Dengan mata telanjang, jurang tersebut tak nampak dasarnya. Hinata perlu menggunakan kemampuan matanya untuk memindai area itu.

"Byakugan!"

Otot-otot di sekitar netranya menegang.

Di bawah sana rupanya bekas aliran sungai yang mengering, bebatuan terjal, dan pohon-pohon yang mati kehilangan daunnya.

"Aku tidak melihat ada seseorang di sana."

"Pasti ada! Mereka melempar putraku hidup-hidup ke dalam sana. Jasad atau tulangnya, pasti masih di sana!"

"Apa kejadiannya sudah lama?"

"Satu bulan yang lalu. Mereka melakukannya di malam bulan purnama...."

Hinata mengambil napas panjang. Tidak ada kalimat yang bisa menggambarkan sakitnya seorang ibu yang kehilangan anaknya.

Bagaimana bisa warga setega itu mengorbankan seorang anak kecil yang tidak tahu apa-apa untuk sebuah mitos persembahan Dewa?

"Aku benar-benar tak melihat satu orang pun."

Sang wanita terhuyung di atas kedua lututnya yang bergetar.

"O-Oba-san...." Naruto menangkap bahunya.

Dia terus menjadi-jadi dengan semakin terisak di pelukan Naruto.

"Putraku... dia hanya anak-anak yang tidak mengerti apa-apa. Tapi mengapa mereka mengambilnya dan menjadikannya tumbal?!"

夏の日~ Natsu no Hi~Where stories live. Discover now