"Sayang, kamu cek mesin depan dong," pinta Ara sambil melempar cengir kuda nya. Ara merasa tak siap untuk keluar dan menghadapi orang gila itu.

Chika menghela napasnya kasar, tahu kalau kekasihnya ini takut untuk keluar. Chika mengangguk tipis lalu membuka pintu, tak sadar kalau perempuan itu juga sudah berada di depan pintunya.

Langkah dan pergerakan dari perempuan itu benar-benar tak di sadari oleh Tara dan Chika, dia bukan orang gila biasa.

Chika terdorong, lehernya di cekik oleh perempuan itu. Tara yang terkejut langsung turun dari mobil dan berlari ke arah perempuan gila itu. Laki-laki itu melompat, memberikan tendangan pada Feni, membuat perempuan itu sedikit terpental menjauh dari mobil.

"CHIKA!" pekik Tara sambil menggenggam lengan Chika. "Gapapa?"

"MENURUT LO DEH, RA?!"

Perempuan itu tertawa, membuat atensi Chika dan Tara beralih padanya. "Duh, anak-anaknya Indah kok pada kocak banget, sih?!"

Lagi-lagi Tara dan Chika di buat terkejut. Bagaimana bisa perempuan itu tahu kalau mereka adalah anak buah Indah. Satu hal yang mereka tahu sekarang, perempuan gila ini bukan orang gila biasa.

"Orang gila nya bisa bicara, Chik," ucap Tara sedikit takut.

"Orang gila kepalamu!"

Feni mendengus kesal karena di anggap orang gila oleh Tara. Sambil berdiri ia menepuk pantatnya, membersihkan tanah yang menempel. "Aku Feni, Feni Vidarianti."

"Feni Vidarianti? Feni yang itu?!"

Perempuan itu mengangguk dengan bangga, sambil tersenyum dan mendekatkan dirinya pada Chika. "Kalian mau ketemu Davidra 'kan?"

Chika makin tertegun. Telinganya terasa kelu dan bibirnya tak sanggup untuk mengeluarkan suara. Dia takut, Chika takut dengan Feni.

Tiba-tiba Tara tersadar sesuatu. Laki-laki itu kembali masuk ke dalam mobil, mengambil ponselnya dan hendak menyebarkan berita yang di titip Ian jika dirinya terbunuh.

"Eits, tunggu dulu."

Feni dengan cepat menahan tangan Tara yang sudah memegang ponsel. Tenaganya tak main-main untuk seorang perempuan yang bertubuh lebih kecil darinya. "Restoran Ragusushi itu, ulah kalian 'kan?"

"Davidra lagi ada di sana saat kalian meledakkannya," lanjut Feni dengan seringai nya yang seram. "Apa jadinya kalau Indah tahu kalau anak buahnya itu meledakkan kliennya, ya?"

"Apa mau lo?" Tanya Tara sadar kalau kehadiran Ian di restoran itu adalah ulah perempuan ini. Perempuan gila yang di cap legenda oleh lingkungan organisasi gelap seperti mereka.

"Jangan sebar berita itu, dan ikuti perintah dari aku," tutur Feni sembari melepaskan tangannya dari Tara. "Tenang aja, kalian tetap bisa bekerja di bawah Indah, kok. Yang harus kalian lakukan sekarang itu hanya jangan sebarkan berita yang di titipkan oleh Ian."

"Sekarang Ian itu di jadikan tersangka bom bunuh diri," lanjutnya lagi memberi penjelasan tentang rencana yang telah ia susun. "Kalian sebenarnya ngincer Marsha 'kan?"

"Lo ga perlu tahu," kelit Tara dengan wajah sangar, mempertahankan harga dirinya yang tinggi. "Dan gue ga akan tunduk sama lo!"

"Kamu ga sadar posisi, ya." Feni kembali menatap netra hitam Tara, membuat sang empu mundur dan bersandar pada mobilnya. "Tara Pamustiro, putra kedua Ari Pamustiro yang meninggal karna pembunuhan di kantornya."

"Atau bisa aku bilang, di bunuh oleh anaknya sendiri, betul?" Feni mengintimidasi, mencoba meraup masa lalu Tara untuk menjadikannya sekutu. "Lagi-lagi apa jadinya kalau publik tahu, anak seorang mantan perdana Mentri adalah seorang pekerja gelap dan seorang pembunuh bayaran? Terlebih, ia adalah pelaku pembunuhan ayahnya sendiri."

Tara menundukkan pandangannya. Merasa kesal kelemahannya di ketahui oleh lawannya sekarang. Sial, tahu dari mana perempuan ini. Padahal tak ada yang pernah tahu masa lalu tentang dirinya selama ini. Bahkan Chika sekalipun.

"Bisa nurut 'kan?" Tawa Feni sekali lagi seraya menatap Tara lalu beralih pada Chika.

Keduanya mengangguk, dan sepakat untuk bekerja sama dengan Feni. Mereka benar-benar tak bisa berkutik pada legenda organisasi yang sempat hilang satu tahun ini.

Apapun alasan ia kembali ke dunia organisasi, Chika yakin kalau sekarang, mau tak mau dia sudah terseret ke dalam masalah sang legenda, Feni.

-

"Bapak memanggil saya 'kan?" Tanya Gita saat ia berhenti tepat di depan meja seorang guru.

Guru yang hampir memergoki dirinya kemarin bersama kekasihnya di ruang OSIS.

"Oh, iya Gita. Bapak mau bicara sedikit mengenai teman kamu," ucap sang guru sembari melepaskan kacamatanya. "Muthe dan Eli akhir-akhir ini mulai terlihat kehilangan minat belajarnya setelah bapak perhatikan."

Gita mengangguk, paham dengan maksud yang di minta guru itu.

"Jadi, bapak minta tolong sama kamu, untuk lebih menyemangati mereka berdua dalam belajar. Nilai kamu 'kan juga terbilang baik di semua mata pelajaran."

"Gita usaha 'kan, pak," jawab Gita.

Sang guru tersenyum sambil mengangguk lalu memberikan sebuah kertas kecil yang terlipat. "Tolong di baca buat kamu sendiri, ya?"

Gita menerima kertas itu, lalu mengangguk kecil dan pergi meninggalkan ruang guru.

Kathrina yang berdiri di luar, menyambut Gita dengan senyuman yang manis. "Guru nya bilang apa? Kita ketahuan ya?"

Gita menggeleng kecil. "Nilai Muthe sama Eli turun," jawabnya singkat lalu kembali melangkah menuju kelas.

Kathrina mengangguk paham. Ia yakin kalau Gita pasti di suruh untuk membantu teman-temannya dalam belajar. Pasalnya Kathrina tahu kalau Gita itu pandai di semua mata pelajaran.

Langkah Gita tiba-tiba terhenti. Tangannya bergetar dan kertas yang ia pegang terjatuh.

Kathrina menatap Gita khawatir dan langsung menepuk pundaknya. "Gita? Kamu kenapa—"

Kathrina melirik kertas yang jatuh itu, sekilas ia melihat sebuah tulisan di atasnya. Membuat dirinya penasaran dengan apa yang tertulis disana.

Mungkin, tulisan itu adalah alasan kenapa Gita tiba-tiba menjadi shock seperti ini.

Kathrina sedikit berjongkok, mengambil kertas yang terjatuh di lantai, lalu membaca isi dari kertas kecil itu.

Temanmu, Callie Pamustiro bunuh diri bukan karena Ashelina Ragustiro.

.
.
.
.
.

Rumit rumit rumit oh rumitnya hidup ini.

PENGASUHWhere stories live. Discover now