Orang-orang silih berganti meninggalkan area gundukan yang tanahnya masih basah. Di atasnya bertabur bunga mawar putih serta beberapa karangan bunga sebagai pertanda kalau yang berbaring di sana begitu dicintai oleh banyak orang. Di sisinya, duduk seorang gadis dengan balutan pakaian berwarna putih, namun penuh dengan noda tanah. Tertunduk lemas dengan mata sembab karena telah lelah mengalirkan air mata sejak dua hari yang lalu. Gadis itu bernama Bulan Anggista yang kini berusia 24 tahun - calon tunangan dari Hiro Rajasa.
"Bulan, kita pulang yuk." Sebuah sentuhan lembut di sisi pundak Bulan tidak mampu membuat gadis itu tidak bergeming dari tempatnya. "Hiro pasti sedih kalau kamu seperti ini," sambungnya.
Tidak ada jawaban dari Bulan. Bahkan membalas tatapan dari wanita itu pun tidak mampu. Tertunduk diam, dengan segala kesakitan yang tengah dirasakan.
"Sayang, Mama juga sangat kehilangan anak kesayangan Mama. Bahkan kalau bisa, Mama mau temenin Hiro sekarang juga atau mungkin menggantikan tempatnya agar kamu tidak sesedih ini."
Wanita paruh baya itu bernama Emiko - ibu dari Hiro Rajasa. Emiko adalah wanita keturunan Jepang- Indonesia dan sudah tinggal di Indonesia sejak lahir. Hati Emiko hancur ketika anaknya harus meregang nyawa akibat kecelakaan tragis sebelum acara pertunangan yang akan berlangsung seminggu lagi. Hiro mengalami kecelakaan akibat rem mobilnya yang tidak berfungsi. Pada malam yang gelap karena guyuran hujan deras, mobilnya menabrak pembatas jembatan hingga jatuh ke sungai.
"Ma, Bulan masih mau di sini. Mama dan yang lain bisa pulang duluan," ucap Bulan dingin dengan tatapan mata kosong.
"Sayang, tempat ini sebentar lagi sepi dan mungkin akan hujan deras."
Bulan mengangkat wajahnya, lalu menoleh ke samping. Melihat Emiko dengan kedua mata berkaca-kaca.
"Hiro takut hujan Ma dan aku nggak mau dia kesepian." Runtuh kembali ketegaran hati Bulan saat menyebut nama calon tunangannya. "Aku mau nemenin Hiro di sini, tolong biarin aku sendiri."
"Bulan." Emiko memeluk calon menantunya. "Kasian sekali kamu, Nak."
Beberapa keluarga yang menyaksikan kesedihan Bulan, tidak mampu menahan air mata. Mereka adalah teman serta keluarga Hiro. Mereka juga saksi perjalanan cinta keduanya sejak kuliah hingga kini keduanya sudah sama-sama bekerja. Namun mereka juga akhirnya menyaksikan perpisahan tidak terduga Bulan dan Hiro, yang merupakan takdir dari Tuhan.
Saat semua meninggalkan tempat pemakaman, yang tersisa hanya Bulan. Gadis itu menatap tempat peristirahatan terakhir sang kekasih dengan tatapan pilu. Bahkan air matanya kembali berderai karena merasakan kehilangan yang teramat.
"Hiro, gimana caranya aku melanjutkan semua ini?" gumam Bulan disela-sela isak tangisnya. "Kenapa kamu nggak ajak aku pergi? Katanya janji buat sama-sama, tapi kenapa kamu curang ninggalin aku sendirian? Kamu tau kan, aku nggak punya siapa-siapa lagi selain kamu. Hidupku baik-baik saja kalau sama kamu. Lalu sekarang, aku harus gimana?"
Sementara itu, dari kejauhan, ada sosok yang tengah menatap ke arah makam Hiro.
Setelah lelah meratapi nasibnya, perlahan Bulan mulai bangkit dari tempatnya. Memperhatikan ke sekeliling yang tertutup oleh derasnya air hujan. Suasana gelap karena pekatnya awan hitam di langit. Seperti mengiringi kedukaan pada diri Bulan.
"Kamu takut ya karena hujannya deras seperti ini? Seolah alam tahu kalau aku sangat kehilangan kamu," ucap Bulan dengan bibir bergetar karena kedinginan. "Aku pergi dan semoga aku bisa kuat menjalani semua ini tanpa kamu. Atau mungkin aku akan datang ke tempat baru kamu untuk menemani kamu, Hiro."
Bulan berjalan gontai di bawah derasnya hujan. Tidak peduli bagaimana dinginnya serta tajamnya air hujan menghantam tubuhnya, sungguh ia tidak peduli. Baginya, semua sakit tidak terasa lagi karena setengah atau mungkin seluruh hidupnya terbawa oleh Hiro.
Bulan berpapasan dengan seorang pria asing, yang sejak tadi menatap ke arah makan Hiro. Pria yang tengah mengenakan pakaian serba hitam, dengan warna kaca mata senada, serta satu tangannya memegang tangkai payung untuk melindungi diri dari derasnya hujan. Pria itu tetap diam, tanpa berniat mendekat. Sepertinya cukup menatap dari kejauhan, gundukan penuh dengan taburan bunga namun justru memancarkan kesedihan luar biasa dalam.
Pria yang berpapasan dengan Bulan hanya memandang dingin tanpa mau bergeming. Begitu juga Bulan seolah tidak pernah sadar kalau ada orang lain di sana selain dirinya. Bulan yang ceria kini telah berubah menjadi Bulan yang muram tanpa semangat hidup. Penuh luka yang entah kapan mendapatkan obatnya.
***
Bulan pulang bukan ke rumah megah milik Hiro yang selama ini sudah seperti rumahnya sendiri. Ia pulang melainkan ke rumah kos sederhana yang ia tinggali sejak lulus kuliah setahun yang lalu dari salah satu universitas swasta di Yogyakarta.
Gadis itu seorang yatim piatu, Kedua orang tuanya meninggal dalam kecelakaan saat lulus SMA dan Bulan di rawat oleh adik ayahnya yang sudah memiliki keluarga. Merasa tidak enak karena sama-sama keluarga sederhana, Bulan memutuskan untuk hidup mandiri dengan semangat dan dukungan dari Hiro. Bahkan Hiro sempat menawarkan menyewakan rumah tapi Bulan menolak.
Hal yang membuat Hiro sangat mengagumi Bulan karena gadis itu bisa menyelesaikan kuliah hasil dari beasiswa sebagai mahasiswa berprestasi. Dan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, ia bekerja paruh waktu di salah satu studio foto cukup terkenal di kota itu.
Dalam keadaan basah kuyup, Bulan terduduk sambil memandang foto Hiro. Banyak foto yang Bulan miliki hasil dari jepretannya sendiri. Tetapi, ada satu foto yang begitu spesial baginya yaitu ketika pria itu tersenyum tanpa tahu kalau Bulan sedang memotretnya.
Pria hangat, dengan pembawaan ceria serta banyak bicara selalu saja membuat Bulan merasa nyaman. Bulan menghirup udara di mana aroma Hiro masih tercium jelas di sini. Parfum pria itu sengaja disemprotkan di tempat tidur serta gorden agar Bulan selalu merasa Hiro ada di sini - bersamanya.
Terlalu banyak kenangan yang ditinggalkan Hiro sampai membuat Bulan tidak sanggup bernapas. Kisah cinta yang akan dilabuhkan pada momen pertunangan, justru berakhir dengan perpisahan selamanya. Tidak hanya Bulan, semua orang yang mengenal Hiro, merasakan kehilangan yang menyakitkan. Semua berduka, atas berakhirnya kisah cinta karena kematian.
"Hiro, aku mau ikut kamu. Jangan tinggalin aku sendirian," isaknya.
Bulan kembali menangis, meratapi nasibnya yang ditinggalkan oleh orang yang ia cintai dalam insiden yang sama seperti orang tuanya meninggalkannya dulu. Semuanya pergi tanpa mau membawanya juga. Begitulah sekelumit pikiran pendek gadis itu.
"Jangan begini Hiro, kamu bercanda, kan? Kamu nggak benar-benar pergi, kan?"
Bulan benar-benar meluapkan segala kesedihannya sendiri tanpa ditemani oleh siapa pun. Tumpuan hidupnya pergi selamanya tanpa pesan dan kata-kata terakhir. Pria gagah yang berjanji menjadikannya sebagai wanita paling bahagia kini sudah pergi. Entah apakah ia bisa melalui semua ini atau tidak.
"Aku ...aku butuh kamu, Hiro."
YOU ARE READING
Bulan Terluka
RomanceTidak pernah terbayang di dalam pikiran Bulan akan kehilangan orang yang ia cintai dengan cara cukup targis. Hidup Bulan seketika gelap, seakan tidak memiliki harapan. Ia hanya memiliki dua pilihan, berjuang untuk bangkit kembali atau ia mengakhiri...
