"Cape," lirih Lulu memberi alasan untuk menolak ajakan main Raizan. Jujur, anak ini terlalu kuat dan bersemangat dalam urusan ranjang. Mungkin juga karena faktor umur, Lulu jadi sering kelelahan saat menghadapi nafsu anak muda itu.

"Ayolah, sebentar aja," rengek Raizan sambil terus mencoba mencium tengkuk leher Lulu. Sang empu menggeleng masih menolaknya. Sungguh, Lulu merasa sangat letih hari ini.

"Aku cape, Rai. Nanti ada jadwal syuting lagi."

Raizan menghela napasnya lalu bangkit dari atas tempat tidur. Lulu membuka satu matanya, mengintip Raizan yang sudah beranjak keluar dari kamar, meninggalkan dirinya sendiri disana.

Syukurlah, anak itu pulang.

Lulu benar-benar penat jika harus melayani nafsu monster anak itu. Tak di pungkiri, terkadang Lulu sering sekali tertidur saat bermain dengan Raizan karena merasa lelah. Tapi, tertidur nya Lulu pun, tetap tak menghentikan anak itu untuk terus menyatukan kepunyaannya dengan diri Lulu.

Dasar anak muda.

Di sisi lain, Raizan keluar dari kamar apartemen, dan berjalan menyusuri lorong menuju lift. Raizan berdiri, menunggu pintu lift itu terbuka dan masuk ke dalamnya. Disana, lagi-lagi ia bertemu perempuan yang pernah ia temui waktu itu. Kalau tidak salah, perempuan ini tetangga seberang kamar Lulu.

Ia melirik perempuan itu, kali ini ia bertingkah aneh sambil memojokkan tubuhnya sendiri di sudut lift.

Raizan memicingkan matanya dan menoleh ke depan, menghiraukan perempuan yang ada di belakang.

Aneh. Padahal, waktu itu dia lah yang mengajak Raizan bicara lebih dulu. Tapi kenapa sekarang ia jadi diam dan terlihat seperti ketakutan dengan dirinya.

Ah, apa perempuan itu tahu identitas Raizan? Tapi itu tak mungkin.

Tak ingin ambil pusing, Raizan pun mengabaikan alasan kenapa perempuan yang berdiri di belakangnya itu bertingkah aneh.

Pintu lift terbuka, menampilkan lorong apartemen yang sepi. Raizan menggeser tubuhnya, memberi jalan untuk perempuan itu keluar. Mungkin, ini adalah lantai tujuannya, karena tak ada orang lagi selain dirinya dan perempuan itu.

Beberapa detik berlalu, perempuan itu tak beranjak keluar, membuat Raizan menoleh kebelakang.

Perempuan itu merengkuh, menundukkan kepalanya dan memeluk dirinya sendiri. Seakan, sedang berlindung dari Raizan.

Pintu lift kembali tertutup dan Raizan masih terpaku menatap perempuan aneh itu.

Perlahan, Raizan mendekat dan menarik tangan perempuan itu, hendak bertanya ada apa dengan dirinya.

Belum sempat bertanya, perempuan itu sudah berteriak, membuat Raizan panik dan bergegas mundur darinya.

"WEH?! LO KENAPA?!"

Perempuan itu masih berteriak histeris, dan sekarang malah menangis. Raizan kembali melangkah mundur, memepetkan tubuhnya dengan sudut lift yang berlawanan dengan perempuan itu.

Sumpah, demi apapun ini bukan perbuatan Raizan.

Laki-laki yang tak bersalah itu bergegas keluar setelah pintu lift terbuka, meninggalkan perempuan yang masih menangis sambil memeluk dirinya itu di dalam lift.

"Orang gila kali ya?" Batin Raizan

-

Senandung nada lagu yang merdu keluar dari mulut Garcia, dengan erat perempuan itu memeluk sambil mengelus kepala Kathrina.

Ya, setelah satu jam tantrum, akhirnya Gracia berhasil meluluhkan anak didiknya itu.

Mata Kathrina terpejam, tapi ia tak tertidur. Anak itu menikmati elusan tangan Gracia, yang dengan lembut mengurai rambut hitam panjang miliknya.

Senandung Gracia berhenti, dan kini berganti menjadi sebuah kalimat pertanyaan yang membuat Kathrina berat hati.

"Kamu kenapa?"

Kathrina menggeleng, masih enggan menjelaskan alasan kenapa ia menjadi marah dan membanting barang-barangnya.

"Atin."

Kathrina menghela napasnya. Entah kenapa, Gracia selalu berhasil membujuk dirinya walau hanya dengan memanggil nama saja. Bukan berlaku untuk Kathrina saja, bahkan Adel dan Azizi pun bisa luluh jika Gracia sudah mencoba membujuk mereka.

"Aku.. identitas aku ketahuan sama Davidra," urai Kathrina dengan nada kecewa dengan dirinya sendiri.

"Cuma itu?"

Kathrina menggeleng. Tentu saja bukan hanya itu alasannya marah. Ada banyak hal serta alasan yang ingin Kathrina adukan pada Gracia sekarang ini.

"Aku sama Gita punya hubungan lebih dari perjanjian kontrak. Dan aku ga mau Gita tahu kalau aku itu seorang pembunuh," papar Kathrina.

Gracia hanya mengangguk, menunggu Kathrina yang masih berbaring di pangkuannya itu melanjutkan ceritanya.

"Davidra tahu identitas ku, dan dia ngancem aku. Kalau aku ga nurut, dia bakal bocorin identitas ku ke publik—"

"Kenapa ga kamu habisi aja?" Sela Gracia.

Kathrina menggeleng lalu membuka matanya, menatap netra hitam milik Gracia yang ada di atas wajahnya.

"Ada alasannya," kilah Kathrina membuat Gracia hanya mengangguk. "Aku sama Gita brantem, dia tahu kalau aku... main di belakang," imbuhnya.

Gracia terkekeh, perutnya sedikit tergelitik dengan cerita Kathrina yang cukup melo jika ia ingat lagi.

"Gitu doang?" Remeh Gracia sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. "Aku kira kenapa, Tin. Masalah asmara doang ternyata."

Kathrina mengerutkan keningnya, tak suka dengan respon Gracia yang seakan meremehkan ceritanya barusan.

"Udah, kamu coba baikan lagi sama Gita, gih." Gracia menepuk pundak Kathrina, lalu mengacak rambutnya.

"Tapi, ancaman Davidra—"

"Darius Rayman Davidra, kan? Gampang."

Kathrina tersenyum. Ia senang, memiliki boss sekaligus kakak yang yang perhatian dan mau melakukan apapun untuk kebahagiaan adik-adiknya.

Gracia, sosoknya memang seperti ini sedari dulu. Pantas saja Shani mau berpacaran dengannya.

.
.
.
.
.
Terimakasih sudah membaca!
.
Maaf agak telat up nya, aku lupa kalau aku belum up🙏😭

PENGASUHWhere stories live. Discover now