-

"Sungguh suatu kejutan. Seseorang yang berasal dari keluarga ternama, datang mengunjungi gubuk haram milik kami," sambut Indah sambil tersenyum, menatap seorang gadis berambut panjang masuk ke dalam ruangannya bersama dengan Tara.

"Ada gerangan apa, Gita?"

Gadis itu tak berekspresi, dan berjalan mendekati Indah. Ia duduk, lalu meletakkan sebuah foto perempuan di atas mejanya. Indah memperhatikan foto itu, lalu kembali tersenyum pada Gita.

"Marshalina Putri Ragustiro," ucapnya menyebut nama perempuan yang ada di foto itu. "Kamu mau tahu soal dia?"

Gita masih diam, membuat Indah menghela napasnya dengan berat. Rumor yang mengatakan kalau putri Samuel ini hemat kata, ternyata memang betul adanya. Indah tak terbiasa dengan klien nya yang diam, dia bukanlah seorang cenayang yang bisa menebak kebusukan yang ada di hati kliennya sendiri.

"Ada yang bisa kami bantu—"

"Bunuh dia," sela Gita. Tara menundukkan kepalanya, sedikit terkejut dengan permintaan gadis itu. Ia jadi teringat kalau beberapa tahun lalu, ada seorang gadis yang lebih muda datang dan membayar mereka untuk membunuh seorang pewaris terakhir keluarga Radipati.

"Bunuh?" Beo Indah. Gita mengangguk kecil, membenarkan apa yang telah Indah dengar.

"Lakukan seperti yang kalian lakuin pada kak Beby."

-

"Macet, Sha." Azizi melirik Marsha yang duduk di sebelah. Gadis nya itu menghela napas lalu menyandarkan tubuhnya di bangku mobil.

"Kalau kita ke rumah aku, takutnya nanti kamu ga bisa pulang tepat waktu," urai Azizi. Ia takut Marsha akan di marah oleh papanya karena pulang larut malam. Dirinya tak ingin mengambil resiko, jika Azizi membuat Marsha telat pulang, bisa-bisa dia tak akan bertemu lagi dengan kekasihnya.

Marsha mencibirkan bibirnya, merasa kecewa karena tak bisa datang ke rumah Azizi. "Yaudah, kapan-kapan aja." Marsha pasrah, walau sebenarnya sedikit tidak rela kalau tujuan mereka malam ini berubah.

"Kita makan pizza aja, yuk," ajak Azizi sambil mengelus tangan lembut milik kekasih nya. "Kali ini aku yang suapin."

Marsha mengangguk-angguk senang. "Mauuu!"

Azizi tersenyum gemas. Mudah sekali mengembalikan mood anak ini. Mungkin inilah alasan dia bisa bertahan dengan Marsha ketimbang dengan Freya yang keras kepala.

Azizi lebih menyukai tipe penurut dan mudah di atur, seperti Marsha yang ia pacari sekarang.

-

"Mama kamu ga dateng?" Adel melirik memperhatikan kamar rawat Ashel yang begitu sepi, tak ada tanda-tanda kedatangan seseorang setelah ia pulang tadi malam.

Ashel menggeleng, ia masih terbaring di ranjangnya. Salah satu kakinya bergeser, membuat Ashel membutuhkan waktu sedikit lebih lama untuk pulih. Beruntung, kejadian kemarin tak terlalu mempengaruhi psikologis Ashel. Namun, dokter tetap menyarankan Ashel untuk menjalani masa pemulihan di rumah sakit.

"Kamu udah makan?" Tanya Adel sembari duduk di samping ranjang Ashel. Gadis itu mengangguk lalu menggenggam jemari Adel. "Pengen makan kamu," lirihnya sambil tersenyum.

"Masih di rumah sakit," sergah Adel.

"Kalau udah keluar boleh dong?" Ashel tersenyum lebar, membuat Adel menghela napas karena gadis itu tak mengerti dengan apa yang ia maksud.

"Iya, boleh," pasrah Adel menuruti kemauan Ashel. "Aku mau pulang sekarang aja deh," ucap Ashel sambil berusaha berdiri.

"C- cel?! Belum, kamu belum boleh pulang!" Adel berdiri panik, menahan tubuh Ashel yang hendak berdiri dari ranjangnya. "Tunggu kamu benar-benar pulih!"

"Lamaaa.."

Adel menggeleng. "Tetep ga boleh, harus tunggu kamu benar-benar pulih," ulang Adel memperingati Ashel yang bebal ingin segera pulang. Padahal ia tahu sendiri, kalau tubuhnya itu masih lemah dan rentan terhadap kondisi luar.

Tadi, sebelum Adel masuk ke kamar Ashel, seorang perawat memanggilnya dan menceritakan kondisi Ashel yang meninggalkan sebuah trauma karena kejadian yang menimpanya.

Salah satu yang di ucapkan perawat itu adalah, Ashel menjadi takut terhadap ruangan gelap dan suara laki-laki. Hal itu membuat Adel menjadi lebih khawatir dan was-was pada kondisi mental dan psikologis Ashel, walaupun secara mata telanjang kondisi Ashel masih terbilang cukup baik.

"Sabar ya," ucap Adel sembari mengelus kening Ashel dan mengecupnya sekilas. "Kamu harus sembuh dulu."

Ashel tersenyum tipis. Baru kali ini ia melihat Adel memperlakukannya semanis ini, rasanya ia benar-benar ingin melahap gadis yang sedang menatapnya dengan sayang itu.

"Aku sayang kamu, Del. Jadi pacar aku yuk."

"Omongan nya ga usah ngawur," sergah Adel menolak permintaan Ashel yang tiba-tiba itu.

Ashel melempar cengiran nya. Ia tahu, kalau sekarang bukan waktu yang tepat. Tapi tetap saja ia ingin mengatakan hal itu, dan melihat reaksi Adel.

Di lihat dari respon nya yang hanya begitu, membuat Ashel tahu kalau ia memiliki kesempatan.

Mungkin bukan sekarang, tapi nanti. Suatu saat nanti, Radipatrinia Adel Fajira akan menjadi milik Ashelina Putri Ragustiro.

.
.
.
.
.

TERIMAKASIH SUDAH MEMBACA!
.

TERIMAKASIH SUDAH MEMBACA!

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Pesona kapal karam🫶

PENGASUHWhere stories live. Discover now