Kathrina mengangguk pada Sello, lalu berjalan perlahan menuju dapur. Disana, tak ada tanda-tanda kehadiran seseorang. Dengan cepat, Kathrina mengambil dua buah pisau dapur dan bergegas kembali ke ruang tengah.

Sello menerima satu pisau dari Kathrina lalu berjalan pelan menuju pintu utama, mendorongnya hingga terbuka. Nihil, tak ada siapapun diluar.

Sello menurunkan penjagaannya lalu menoleh kearah Kathrina. "Kosong," lapornya sembari menutup kembali pintu itu.

Kathrina mengangguk, lalu menaruh pisau nya di atas meja. Rasanya cukup menegangkan, karena biasanya merekalah yang berperan sebagai penyusup, bukan seorang penjaga.

"Kita bangunin?" Tanya Sello, memperhatikan wanita itu telah tertidur lelap hingga tak mendengar suara pintu yang terbuka. Kathrina menggeleng, meminta untuk membiarkan Melinda untuk beristirahat saja disitu.

Suasana cukup hening sebentar, mereka saling tatap mencoba mengingat sesuatu yang telah mereka lupakan.

"Tas kita!"

Kathrina dan Sello berlari keluar halaman, menuju mobil mereka yang masih berada di tempatnya. Dengan cepat, Kathrina membuka bagasi belakang. Matanya membelalak tidak mendapati apapun disana, bagasi itu kosong.

"Anjing! Pak satpam yang tadi–"

Bruk

Suara jatuh dari belakang mengalihkan perhatian mereka, mata Kathrina membulat sempurna, terkejut melihat seseorang tergeletak di tanah. Ia segera berlari masuk kembali kedalam rumah, Melinda masih tertidur di sofa. Itu artinya, sang pembunuh berada di lantai atas.

Di luar, Sello menghampiri lelaki yang terjatuh dari balkon itu. Lehernya patah, dan perutnya tertusuk benda tajam. Baru kali ini ia merasa pedih melihat kematian seseorang, ia merasa gagal menjadi seorang penjaga.

Sedangkan Kathrina, kini sudah berhadapan dengan dua orang yang memegang pisau. Salah satu dari mereka adalah Mas Ara. Orang yang berpura-pura menjadi satpam rumah ini.

Dua lawan satu, sejujurnya Kathrina merasa akan menang melawan mereka berdua, kalau saja dirinya tak lupa mengambil pisau yang ia letakkan di atas meja tadi.

"Nyerah aja, lo ga bakal menang!" Ucap Ara, tangannya menodong pisau kearah Kathrina. "Iya, kita pakai pisau dan lo tangan kosong! Nyerah aja, daripada mati!" Sambung satunya, tangan perempuan itu terlihat sedikit gemetar. Kathrina yakin bahwa rekan Ara ini belum ahli dalam memegang pisau, ia tersenyum tipis sambil melirik sebuah guci disebelahnya.

Dengan cepat, tangannya mengambil guci itu dan melemparnya, membuat atensi Ara beralih pada temannya yang terjatuh.

"Mati lo, ANJING!" Seru Kathrina, sembari menendang benda pusaka milik mas Ara. Ia tahu bahwa caranya ini adalah suatu kecurangan dalam perkelahian, tapi ayolah! Lawan Kathrina saja membawa pisau dan dirinya tidak.

Lelaki itu jatuh berlutut sembari memegang area sensitif nya, merasakan nyeri yang terasa membunuhnya.

Perempuan tadi bangkit, lalu berusaha menghujam pisaunya pada Kathrina, beruntung reflek gadis itu bagus, membuat Kathrina dengan cepat menghindar dan merebut pisau sang lawan.

Kini keadaan berbalik, sekarang Kathrina yang mendominasi pertarungan ini. Ia tersenyum bangga lalu mengarahkan mata pisau nya pada leher gadis itu.

"Katakan, Kenapa kalian mengincar keluarga ini?" Tanya Kathrina dengan tatapan mengintrogasi kedua orang itu.

"Siapa yang mengirim kalian?!" Tanya Kathrina lagi, kini suaranya naik satu oktaf, membentak dua penyusup itu yang tak kunjung membuka suara.

"K- kita tidak disuruh siapapun," jawab gadis itu, air matanya sudah berlinang, meminta ampun atas apa yang telah ia perbuat.

PENGASUHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang