Di sisi lain, ide itu terdengar brilian bagi Ranu. Cowok itu langsung sumringah dan duduk tegap. Ia lantas mengambil ponsel, menggumam bener juga, sambil mencari-cari poster katalog dagangannya. "Kukirim di chat yah," ujarnya. Nada bicaranya jauh lebih girang.

Ginan tak membalas apa-apa. Ia cuma mengunduh foto tersebut dari ruang obrolannya dengan Ranu, lalu membagikannya melalui story WhatsApp. Poster yang dibagikannya kala itu berupa pilihan menu rice bowl katsu dengan pilihan topping yang berbeda-beda. Ginan tak tahu apakah akan ada yang berminat membeli. Teman kuliahnya tak banyak, dan kontak di ponselnya jauh lebih sedikit daripada Ranu yang lebih banyak bersosialisasi dengan orang-orang. Ditambah lagi, isi kontak Ranu dan Ginan kurang lebih berisi orang yang sama.

"Nu."

Ranu, yang sedang kegirangan karena baru saja melihat hasil unggahan Ginan melalui akunnya sendiri, melepas pandangan dari ponsel dan menatap kawannya. "Iya, Nan?"

"Kapok gak ikut dua kepanitiaan sekaligus?"

Yang ditanya cuma meringis. "Kapok."

<>

Hujan benar-benar turun saat malam tiba. Ranu sudah pulang sekitar setengah jam yang lalu, dan Farel, sepupu Ginan yang tinggal sekontrakan dengannya, menyajikan dua mangkuk bakso di meja makan. Bakso itu masih panas, sebab baru saja dibeli saat perjalanan pulang Farel tadi, asapnya mengepul mengeluarkan hangat di tengah suhu dingin lantaran hujan.

Ginan sebenarnya tak begitu akrab dengan sepupu-sepupunya. Saat kumpul keluarga, ia lebih banyak diam dan duduk di samping ibunya. Ginan kecil cuma akan bermain kalau sepupunya mengajaknya duluan. Farel sendiri kakak sepupunya dari keluarga ayah. Ia tiga tahun lebih tua daripada Ginan, dan pindah ke kota ini karena mendapatkan pekerjaan di salah satu kantor cabang perusahaan yang mempekerjakannya sejak Farel baru lulus kuliah. Farel dan Ginan saling mengikuti di Instagram, dan di tahun kedua perkuliahan Ginan, Farel tiba-tiba mengirim pesan berupa ajakan mengontrak bareng.

Saat itu Ginan ragu. Ia mempertanyakan keakrabannya dengan Farel untuk bisa tinggal seatap. Namun saat itu Ginan sedang kesusahan di tempat kos sebelumnya. Belakangan banyak anak-anak baru yang sering membawa teman sampai larut dan berisik, saat musim hujan dan tak bisa keluar kos untuk mencari makan, Ginan juga kesulitan untuk menggunakan dapur. Banyak anak kos yang tak mencuci alat masak mereka, padahal alat masak itu diperuntukkan untuk penggunaan bersama. Belum lagi insiden-insiden kecil yang jarang kejadian, tapi masih membuatnya kesal. Seperti jemuran yang tertukar, atau bajunya hilang dari jemuran entah terbawa oleh siapa, hanger-nya pun dipakai sembarangan dan berakhir tak kembali. Satu-satunya yang membuat Ginan bertahan hanyalah teman berkeluh-kesahnya di kos, alias Alam.

Ginan sedang dilema ingin pindah kos saat Farel tiba-tiba menghubungi. Alam bilang itu ide yang bagus, karena tinggal berdua pasti lebih kondusif daripada tinggal di sebuah indekos yang satu lantainya berisi sepuluh orang. Jadi Ginan setuju untuk bertemu Farel dan melihat-lihat rumahnya.

Ginan tak ingat kapan ia terakhir bertemu Farel, tapi ternyata pertemuan mereka tidak secanggung yang Ginan pikir. Farel banyak memimpin pembicaraan, tapi ia tidak cerewet. Farel juga sesekali bertanya soal bagaimana kehidupan Ginan dan keluarganya saat ini, tapi tak ada pertanyaan yang terlalu personal sampai Ginan tak nyaman. Semuanya berada di batasan yang pas untuk tingkat bersosialisasi yang Ginan sukai. Poin plus-nya, Farel mengajaknya makan sekaligus mentraktirnya setelah menunjukkan rumah kontrakan yang akan ia tempati itu.

Ginan masih ingat waktu itu keduanya makan pecel lele. Masing-masing tangan mereka kotor hasil menguliti lele dan mencocolnya dengan sambal. Di antara kunyahan lele, nasi uduk, dan lalapan, Farel sesekali menyampaikan terms and condition-nya jika Ginan setuju untuk mengontrak bersama.

rendezvous of twoWhere stories live. Discover now