Di kursinya, Pak Ndut menggerus ujung puntung rokoknya sambil mengangguk-angguk. Sepertinya beliau tak lagi salah paham ataupun berpikir bahwa renggangnya Alam dan Ginan adalah perkara wanita.

"Gitu, toh... saya pikir kayak saya dulu, ditinggal nikah jadi gak pernah ngumpul-ngumpul lagi," Pak Ndut terkekeh. "Habisnya, baru sekali itu Alam mampir bawa cewek. Nah, itu mbak e dateng."

Ginan refleks menengok, ke arah jalan masuk gang sempit yang jadi jalan satu-satunya untuk mencapai toko Pak Ndut. Di sana sebuah figur familiar seorang perempuan berdiri, balik menatap dirinya dengan keterkejutan yang sama.

Jan. J-A-N. Ginan masih mengingat nama itu.

"Hai," sapanya. Perempuan itu membalas dengan sebuah lambaian tangan.

"Monggo, mbak e, diliat-liat bukunya. Ngobrol juga sama Ginan, wis kenal toh?" Pak Ndut kembali berasumsi, meski kali ini tak meleset jauh. Baik Jan maupun Ginan mengangguk dan bertukar tatap, tapi setelahnya mereka fokus menelaah isi rak Pak Ndut sendiri-sendiri.

<>

"Kalau ada buku detektif baru kabarin saya dong, Pak," pinta Ginan. Ia meletakkan buku Sherlock yang didapatnya tadi ke meja, bersamaan dengan selebaran uang lima puluh ribu. "Gak usah diplastik."

"Halah, saya gak ngerti gitu-gituan. HP saya aja masih Esia." Pak Ndut menggeleng. Ia mengantongi uang itu dan menyodorkan kembali buku tersebut kepada Ginan.

"SMS atuh, Pak. HP jaman sekarang masih bisa SMS, kok."

"Ssst!" Pak Ndut membungkamnya. Alih-alih mengiyakan permintaan pelanggannya itu, Pak Ndut malah menyodorkan sebatang rokok ke depan bibirnya.

Ginan mendecak kecewa, meski tak ulung ia tetap menerima rokok tersebut dan mengambil korek dari atas meja.

"Udah, kamu sering-sering mampir aja. Kalau udah jodohnya, pasti ketemu lagi!" Pak Ndut berkilah.

"Iya, Paaak," Ginan membalas dengan tak niat. Sebenarnya ia tak selalu punya waktu untuk mampir ke toko Pak Ndut. Memasuki tahun ketiga, kuliahnya semakin sibuk dan skripsi sudah di depan mata. Tapi ia tak bisa menyalahkan Pak Ndut dan ketertinggalannya terhadap teknologi. Jadi ia tak melanjutkan obrolan tadi dan hanya turut merokok di sisi Pak Ndut yang masih duduk di singgasananya.

Pada sudut matanya ia menangkap Jan berjalan mendekat. Perempuan itu menyodorkan sebuah buku dengan tulisan 'Lolita' besar-besar ke Pak Ndut. Begitu pula dengan beberapa lembar uang.

Transaksi di antara dirinya dan Pak Ndut berjalan sunyi. Dengan puntung rokok terjepit di antara bibirnya, Pak Ndut tak berbicara apa-apa selain menaruh buku tersebut ke dalam kantung kresek dan memberi kembalian kepada Jan. Semua adegan itu Ginan tonton sambil menghisap asupan nikotinnya sendiri.

"Makasih, Pak," jadi satu-satunya kalimat yang Jan ucapkan saat itu. Ia juga mengangguk singkat pada Ginan sebagai bentuk pamit, sebelum akhirnya berbalik badan dan berjalan keluar.

Ginan mengaduh saat tiba-tiba ia merasa lengannya disikut. Pak Ndut, dengan kedua matanya yang belo, memelototi pemuda itu.

"Apaan, Pak?" tanya Ginan seraya mengusap-usap lengannya.

Dengan dagunya yang bundar dan hampir tenggelam bersama leher, Pak Ndut menunjuk-nunjuk keluar, di mana punggung Jan berjalan menjauh.

"Apa?" Ginan masih tak paham.

"Cewek kok dibiarin jalan sendiri, sih..." Pak Ndut menggeleng kecewa.

"Kan bukan cewek saya, Pak?"

"Halah, wis, pulang kamu! Saya mau tutup toko!"

Ginan memberengut, merasa kesal lantaran tiba-tiba diusir. Ia juga tahu Pak Ndut bohong. Beliau selalu menutup toko jam tujuh malam, sedangkan sekarang masih jauh dari sore. Meski begitu, ia tetap menurut dan pergi meninggalkan toko.

<>

"Jan."

Suara itu lembut memanggilnya, membuat Jan mengurungkan niat untuk menyeberang jalan. Ia menengok, mencaritahu siapa yang memanggil, dan menemukan Ginan di sana. Laki-laki itu berjalan menghampiri dengan satu tangan di kantung, tangan yang lain melempar puntung rokoknya yang sudah pendek ke tempat sampah yang ia lewati.

"Langsung pulang?" pemuda itu bertanya.

"Kayaknya gitu, sih," jawab Jan singkat, mengangguk.

"Aku bawa motor. Mau... bareng?"

Jan tidak menyangka tawaran itu bakal datang dari Ginan, yang notabene baru ia temui dua kali.

"Kalo kamu mau aja, sih," tiba-tiba Ginan menimpali.

Perempuan itu akhirnya menggeleng. "Gak usah, Nan, nanti ngerepotin."

"Kalau ngerepotin gak bakal aku tawarin gak, sih?" Ginan terkekeh. Membuat Jan tiba-tiba merasa bodoh dengan penolakannya.

"Yah... ya boleh, deh," Jan mengalah. Ia kemudian mengikuti Ginan kembali masuk ke area parkir di mana motor matic-nya terparkir rapi.

Rupanya Ginan membawa dua helm. Jan jarang melihat seorang pengguna motor yang membawa helm cadangan kemana-mana. Yah, mungkin Ginan tipe orang seperti itu. Mungkin juga ia habis mengantarkan seseorang, atau berencana menjemput seseorang. Tetapi helm yang ia pinjamkan kepada Jan itu tak berbau seperti seseorang. Ia berbau debu, karet, dan busa, seperti helm yang lama tak terpakai.

Jan mengenakannya tanpa berkomentar apa-apa dan menaiki motor. Sepanjang perjalanan, ia cuma mengarahkan Ginan sekali di mana letak kosnya. Ternyata Ginan tahu lokasinya. Di sana ada warung burjo yang suka ia datangi, katanya. Lalu Jan ikut menambahkan kalau di dekat kosnya memang ada burjo yang enak. Selebihnya, perjalanan diiringi sunyi. Jan hanya duduk manis di belakang Ginan, sambil menatap jalanan yang dilapisi terik matahari, kendaraan lain yang berlalu-lalang dengan mereka, dan sesekali pada tengkuk Ginan yang mengintip di antara ujung helm dan kerah baju.

Meski panas, angin hari itu bertiup lumayan kencang. Menguarkan wangi laundry dari pakaian Ginan dan merasuk ke dalam hidung Jan. Baunya begitu kuat dan membaur dengan bau rokok, serta petrichor. Bersamaan dengan itu Jan menyadari seperti ada yang berjatuhan di atas kepalanya, mengetok-ngetok helm yang ia kenakan dan semakin lama semakin intens.

"Ini, kan?" Ginan bertanya dengan lantang, berusaha menyaingi suara gerimis yang menderas. Motor yang mereka tumpangi berhenti di depan rumah rumah kos.

"Bener. Makasih, ya!" Jan balas berteriak, karena kini gerimis telah menjadi hujan.

"Aku langsungan ya, deres, nih!" Ginan melambaikan tangannya singkat, lalu begitu saja melaju pergi sementara Jan buru-buru masuk ke dalam sebelum dirinya basah kuyup.

Tak butuh lama baginya untuk sampai ke depan kamar. Meski sudah terlindungi di bawah atap, ia tetap memutar kunci pintu dengan tergesa-gesa, tak sabar untuk cepat-cepat berganti baju. Jadi begitu masuk, Jan langsung melepas tas dan membuka lemari baju. Namun gerakannya terhenti ketika ia melihat pantulan dirinya di cermin yang menempel pada pintu lemari baju. Kepalanya terlihat asing di sana.

Jan lupa mengembalikan helm Ginan.

<>

rendezvous of twoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang