O5.

54 4 2
                                    

Hari hari telah berlalu, kecanggungan mereka sudah tidak ada lagi. Candaan demi candaan terus terlempar dari keduanya seolah tidak ada yang terjadi. Bahkan mereka juga tak jarang berteng kar. Ajuy mulai menikmati kesehariannya, terutama memasak untuk mereka berdua.

“Anjir, nu bener we atuh? Unggal poe diparab penkek ku maneh. Uyuhan urang gak weureu penkek oge.”
Itu suara Ajiz, dia melayangkan protes sambil menatap tidak minat sama sekali dengan pancake yang sedang Ajuy buat dengan sepenuh hati itu. Dia sakit hati dan merasa tersinggung sekali dengan ucapan Ajiz.

“Ya udah we atuh gak usah ikut makan, biar aing yang abisin!” Ajuy menekan nekan brutal adonan pancake yang sedang dipanggang itu dengan spatula. Dia kesal.

Bahkan Ajiz terlihat tidak peduli, dia mengambil panci dan ia isi dengan air. Lalu terlihat dengan sengaja menyenggol tubuh Ajuy saat ia berdiri di samping Ajuy untuk menaruh panci berisi air itu di atas tungku kompor lain, di samping tungku pancake Ajuy.

“Emang kudu ngadupak?”
“Naon, sensian pisan mahasiswa psikologi teh.” Balas Ajiz santai sambil memasukkan mie instan pada air yang belum mendidih itu.

“Maksud maneh naon sih? Kalau mau ngajak pasea mah hayu!? Gak usah bawa bawa jurusan kuliah aing!” Ajuy mengangkat spatulanya.
“Ai maneh kenapa sih anjir, jol we marah marah? Urang ada salah?”
“Ada! Maneh aya didieu, nangtung di hareupeun aing sekarang adalah sebuah kesalahan!”
“Ini kostan aing ya an-“ Ajiz mendadak menutup mulutnya dengan spontan. Dia sungguh tidak berniat berkata hal hal senegatif itu, tapi dia juga tidak mengerti kenapa mulutnya tiba tiba berhenti di patahan kalimat yang ambigu itu.

Wajah Ajuy terlihat merah dan murka.
“APA? Maneh mau bilang anjing anjing ka aing!?” Ajuy menampar pipi Ajiz dengan spatulanya.

“Heh! Sakit anjir! Urang gak ada niat mau ngatain maneh kayak gitu!” Ajiz membela dirinya sendiri, dengan wajah terkejut dan kesakitan sambil memegangi pipinya yang berminyak karena tertampar spatula Ajuy.

“Alah udah lah ngaku aja. Maneh emang gak suka kan aing tinggal di sini!?”
“Siapa yang mikir kayak gitu, bjir!?”

Ajuy maju selangkah, mendorong tubuh Ajiz yang lebih kecil darinya sampai Ajiz terjatuh ke lantai. Mereka terus berdebat dan saling membela diri juga menyalahkan, tanpa menyadari bahwa dapur mereka sudah berasap. Bau gosong yang berasal dari pancake gosong Ajuy belum menyadarkan mereka sampai akhirnya,

DUARRRRR!!!

Ajuy terlonjak. Dengan peluh yang membasahi wajahnya, jantungnya berdegup tidak senormal biasanya. Dia terduduk dan melihat ke sekeliling dengan tatapan bertanya yang aneh.

Di sana, di kamar Ajiz. Dia melihat Rayhan, Juna dan Ajiz sedang sibuk mengibas-ibas kamar berasap Ajiz dengan benda apa pun yang mereka pegang. Ajiz sibuk membuka jendela, lalu mengambil kaus kaki dari sembarang sepatu dan mengambil pan yang gagangnya meleleh karena panas, yang tergeletak mengenaskan di lantai kamar kostnya.

Suasan kamar ini terlihat chaos. Sekeping pancake yang gosong tergeletak di lantai.
Ajiz mengambil kaos kaki lain dan mengambil pancake itu, dan bersiap untuk membuangnya. Tapi tiba Rayhan membuang jaket yang semula dipegangnya untuk menghalau asap gosong ke arah jendela. Lalu dengan murka mencengkram kerah kemeja Juna.

“WES TAK KANDANI RAUSAH GAWE PANCAKE!” akhirnya keluar juga khodam Rayhan yang sebenarnya.

Rayhan mengguncang tubuh kurus Juna dengan brutal. Membuat Ajiz melemparkan pancake gosong di tangannya dengan sembarangan. Dia berusaha melepaskan Juna dari cengkraman Rayhan.

“Ray, plis. Karunya awak si Juna begang.”
Tubuh kecil Ajiz berusaha menyelip di antara tubuh besar Rayhan dan Juna yang sedikit lebih tinggi darinya.

“Gaes, jadi tadi urang teh mimpi?”

Suara Ajuy menginterupsi kekacauan yang sedang terjadi itu. Ajiz, Juna, dan Rayhan menoleh ke arah Ajuy yang terduduk di atas tempat tidur Ajiz.

“Juy! Maneh udah bangun?”
Juna adalah orang pertama yang menghampiri Ajuy, dengan niat melepaskan diri dari cengkraman Rayhan.
Juna menyentuh kening Ajuy.

“Alhamdulillah udah turun panasnya.”

“Alhamdulillah,” sahut Ajiz dan Rayhan serentak, mereka masih berdiri di tempatnya.

“Siap-siap, Juy. A Gunawan lagi di jalan buat jemput maneh.” Kata Ajiz.

“Betewe emang maneh ngimpi naon?” tanya Juna yang masih berdiri di hadapan Ajuy.

Tiba tiba Ajuy bergidik, dia mendadak ingat mimpimya dengan jelas. Dia menoleh ke arah Ajiz dan menatapnya dengan tatapan kesal yang tidak dimengerti. Kemudian melemparkan beberapa benda yang terjangkau oleh tangannya ke arah Ajiz yang sontak berlindung di balik tubuh Rayhan.

“Anjir, anjir. Maneh kenapa Juy!?” seru Rayhan yang telah menjadi korban lemparan benda yang Ajuy lempar itu.

Sumpah demi apa pun, Ajuy tidak akan pernah menceritakan mimpinya ini kepada ketiga temannya. Bisa habis dia setiap hari menjadi bahan bully.

END.

Gara gara stres dunia perkuliahan, tidur pun jadi mimpi buruk. Terlebih dia tidur di sore hari, walau keadaan tubuh sedang kurang baik. Tapi Ajuy bersyukur karena kejadian itu hanya mimpinya saja. Terlebih keadaan keluarganya dan keluarga dan kelurga Ajiz dalam keadaan baik.

Ajuy berharap ia dan Ajiz cepat lulus dan selesai dengan nilai yang baik.

“Btw, Jiz. Maneh beli motor beat dari mana duitnya?” tanya Ajuy yang berdiri di ambang pintu kost Ajiz, bersiap pergi.
Ajiz hanya menatap Ajuy tanpa ekspresi apa apa selama mungkin. Sampai cerita ini selesai, Ajiz tidak menjawabnya. :'D

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Feb 24 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Teman Tapi Menikah. [GAON - JOOYEON] ✓Where stories live. Discover now