0 Prolog

170 21 7
                                    

Suatu ketika dahulu, Kaju adalah sebuah desa yang diberkati yang terletak di lembah kaki Gunung Aufat. Di sini, tanahnya subur dan airnya mengalir jernih di sepanjang kali yang membelah desa. Keberkatan alam terlihat jelas dengan kewujudan kebun-kebun sayuran, dusun buah-buahan, kawanan binatang ternakan dan sumber galian mineral yang tidak ternilai terletak di setiap lereng Gunung Aufat.

Penghuninya hidup dalam keadaan rukun dan damai. Mereka menjalani kehidupan seharian dengan penuh rasa syukur sambil menikmati hasil bumi yang diusahakan serta teguh memelihara keindahan alam yang memukau. Namun, segala-galanya berubah saat kedatangan binatang buas yang misteri, makhluk bertubuh sasa, bertaring dan berkuku runcing dan sangat ganas – entah dari mana asal-usulnya.

Kedatangan binatang buas itu menggoncang ketenangan desa Kaju. Penduduk yang sebelumnya hidup dalam keadaan rukun dan damai, kini terpaksa berhadapan dengan ancaman yang tidak pernah mereka bayangkan sebelum ini. Binatang-binatang buas itu bertindak ganas, merosakkan tanaman, memakan binatang ternakan dan mengancam keselamatan penduduk.

Walaupun berhadapan dengan ancaman yang menakutkan, penduduk desa Kaju tidak menyerah begitu sahaja. Mereka berjuang bermati-matian untuk melindungi tempat tinggal mereka, meskipun demikian, mereka akhirnya menyedari bahawa mereka memerlukan bantuan lebih dari sekadar kudrat manusia biasa.

Salah seorang pemimpin kanan di desa Kaju, Amura, sedang melewati mayat-mayat yang bergelimpangan dengan langkah kaki yang longlai. Matanya dijamu dengan pemandangan yang menyayat hati dan pilu. Di antara jasad-jasad yang terbaring tidak bernyawa itu, beberapa di antaranya adalah orang yang pernah dikenalinya, bahkan ada pula yang memiliki hubungan darah dengannya. Sudah acapkali desa tercinta ini diceroboh dan acapkali pula pencerobohan itu mengorbankan nyawa insan-insan tercinta.

Dalam kehampaan dan rasa putus asa, Amura menghentikan langkahnya. Dia tetap berdiri, dengan kepalanya sedikit tertunduk. Perlahan-lahan dia mula teresak-esak sendiri. Sebilah kapak batu yang kemas dalam genggamannya buat berlawan dengan binatang buas dilepas dan dibiarkan jatuh ke tanah. Amura akhirnya berlutut sambil kedua-dua belah tangannya menongkat badan. Sendu dirinya jelas mencerminkan deraian jiwanya.

Di satu sudut yang lain, dalam hening malam yang kelam, seorang lagi pemuka penduduk Kaju, Tok Sidi sedang duduk bersila dalam sebuah runtuhan pondok tanah liat. Mata kasatnya terpejam. Dia sedar, pencerobohan tadi telah pun berakhir – dengan kewalahan.

Tok Sidi merenung dengan mata hati yang sarat kerinduan akan kedamaian yang telah sama sekali sirna dari desa Kaju. Dengan setiap hela nafas, dia sendirian merintih di hadapan Ilahi, menumpahkan isi hatinya yang diselimuti kesedihan.

"Ya Allah yang Maha Kuasa, peliharalah desaku ini. Ia telah menderita terluka dan terancam akibat geruh kejahatan. Kami sekalian hamba-Mu yang lemah ini hanya mampu memanjatkan sekudus doa dan bermohon pada-Mu, agar Engkau mengutus kepada kami pembela yang akan membawa kembali sinar keamanan kepada kami.

Di zaman yang gelap ini, kami tersesat dalam kecemasan dan ketakutan. Binatang buas bermaharajalela, menghancurkan apa yang telah kami bangunkan dengan susah payah selama ini. Mereka membunuh tanpa belas kasihan, merampas segala yang kami miliki. Tapi kami masih tetap percaya pada-Mu, ya Allah. Kami tahu Engkau tidak akan meninggalkan kami sendiri dalam kesengsaraan ini.

Kami berserah pada-Mu, wahai Pencipta segalanya. Engkau yang Maha Mengetahui, Engkau yang Maha Pengasih. Hanya Engkaulah yang mampu mengubah keadaan yang buruk ini menjadi yang lebih baik. Hanya Engkau yang dapat mengirimkan pembela yang akan membantu kami melawan kejahatan yang menyerang kami.

Kami berdoa dengan sebulat pengharapan agar Engkau memberikan kekuatan kepada kami untuk tetap teguh menghadapi ujian ini. Berilah petunjuk kepada kami untuk bertindak dengan bijaksana dan sabar dalam menghadapi ujian ini. Dan andai Engkau izinkan, hamba-Mu ini bermohon agar Engkau memperkenankan doa kami untuk mendatangkan keselamatan kembali ke desa Kaju.

Dengan penuh harap dan keyakinan, kami menunggu bantuan-Mu, ya Allah. Kami percaya bahawa Engkau akan mendengar doa kami dan menurunkan bantuan-Mu yang tiada tara. Kembalikanlah keamanan dan kedamaian kepada kami, ya Tuhan yang Maha Penyayang. Amin."

Usai berdoa, Tok Sidi mengangkat wajahnya menghadap ke arah langit. Langit kelihatan cerah dengan limpahan cahaya dari bulan di malam itu. Kemudian, dengan tidak semena-mena matanya terlihat lima bintang bercahaya cemerlang sedang membelah langit di angkasa, bergerak dengan lajunya dari arah timur ke barat.

Riak wajah Tok Sidi terserlah pengharapan.

Kembara Ksatria MudaWhere stories live. Discover now