Itu sebabnya, perempuan itu ikut bersenandung pelan. "Oh, look what you've done. You've made a fool of everyone. Oh well, it seems like such fun. Until you lose what you had won."

Di tempatnya, Emyr memerhatikan Janina yang tampak begitu menikmati. Sampai akhirnya tiba-tiba saja tubuh gadis itu menegang. Bibirnya yang tadi bersenandung, seketika berhenti. Pandangannya berubah kosong. Bahkan, Emyr yakin, jika dibiarkan, tak menutup kemungkinan perempuan itu akan berakhir dengan tangisan.

Geez! How to deal with the crying woman?!

"Janina..." panggil Emyr lembut, diikuti sentuhan pada tangan kanannya yang berada di atas meja.

Perempuan itu mendongak—secara tidak langsung menghalau cairan bening yang telah bersiap meluncur di kedua pipinya. "Emyr..." lirihnya. "Look what we've done. We've to fool of everyone. Bunda, Ayah, Mama, dan juga Papa kamu."


***


SEMUANYA dimulai jauh sebelum Janina dan Emyr saling kenal.

Perempuan itu masih ingat betul bagaimana kecelakaan kedua orangtuanya mengubah hidupnya. Malam itu, saat hujan turun dengan derasnya, Janina yang tengah mengerjakan tugas sekolah, dengan segera berhenti tatkala mendengar telepon rumahnya berdering.

Gadis kecil berusia enam belas tahun itu, melangkah dengan begitu riang. Dia yakin, panggilan itu datangnya pasti dari Bunda. Untuk mengabarkan bahwa beliau dan Ayah akan pulang terlambat malam ini.

Namun, harapan tinggal harapan. Janina jatuh terduduk saat mendengar berita kedua orangtuanya tengah meregang nyawa di rumah sakit. Dia bahkan tak begitu sadar bagaimana caranya dia bisa tiba di tempat itu.

"Kami benar-benar memohon maaf karena tak bisa menolong Pak Yusuf Mahardika," begitu kata Dokter Ivan setelah mereka tiba di depan UGD.

"Tante...." Janina memeluk tubuh Rianti Oswald—adik perempuan Bunda. Tubuhnya bergetar luar biasa. Tangisnya yang sempat terhenti, kembali pecah.

Setelahnya, Janina sama sekali tak mendengar apa yang dibicarakan oleh tantenya dan juga dokter itu. Tahu-tahu, dia sudah berada di dalam sebuah ruangan. Di depannya Bunda terbaring tak berdaya. Sementara seorang dokter dan dua orang suster berada di kedua sisi ranjang.

"Bunda..." lirih gadis itu, sembari berusaha menyingkirkan cairan bening yang menghalangi pandangannya. "Jangan tinggalkan Janina, Bunda. Jangan... cukup Ayah yang tega ninggalin Janina. Cukup Ayah." Janina terus memeluk tubuh Bunda, tak peduli dengan apa pun yang terjadi di sekitarnya. Dia hanya ingin Bunda kembali pulang ke rumah bersamanya.

"Janina...." Pelan Bunda menyentuh puncak kepala gadis itu. "Keluarga... Atmadjaya," ucap wanita itu dengan sisa-sisa tenaga yang dia miliki.

Kening Janina sukses mengernyit. Ini kali pertama dia mendengar nama itu. Belum sempat perempuan itu ingin bertanya maksud dari ucapan sang Bunda, wanita itu lebih dulu bersuara, "Temui... mereka, Janina."

...

...

...

"Bunda, Janina—"

"Berjanjilah," pinta Bunda sungguh-sungguh. Janina menganggukkan kepalanya, meski tak sepenuhnya mengerti dengan permintaan Bunda. Yang dia tahu hanyalah satu hal; jika dia menyatakan setuju, maka Bunda akan selamat dari masa kritisnya. "Jaga diri kamu baik-baik, ya, Sayang. Maafkan Bunda."

Kedua orangtuanya pergi menghadap Sang Maha Kuasa malam itu. Meninggalkan Janina yang begitu terpukul. Lebih dari sebulan gadis itu tak ada bedanya dengan mayat hidup. Dia tak ingin berbicara dan melakukan apa pun. Hanya terduduk di sudut kamar, memeluk erat-erat kedua lututnya.

LOOK WHAT YOU'VE DONEWhere stories live. Discover now