T

998 57 9
                                    

Rania memelukku erat sembari membiarkanku bersandar lagi di dadanya. Sore itu, aku hanya ingin duduk di balkon dengannya. Menghabiskan sisa hari sebelum mentari tenggelam di ufuk barat.

Kabut-kabut tipis melambai. Pemandangan lereng pegunungan terbentang di depan mata, diwarnai jingga surya. Mata ini menatap penuh syukur ke arah ciptaan sang kuasa. Satu hari lagi aku masih diberi kesempatan semewah ini untuk melihatnya.

Rania sekali lagi merapatkan selimut sampai sebatas dadaku. Sesekali aku memejam kala sentuhan jemarinya jatuh di atas helai-helai rambut. Entah sampai kapan aku masih akan bertahan dan berada di dekatnya seperti sekarang.

Uhuk, uhuk

Aku terbatuk lagi. Rania lantas mengelus berulang pundak dan dadaku. Lembut.

"Ssshh, sesak lagi kah, Mas?" tanyanya setengah berbisik. Aku lalu menggeleng pelan.

Perempuan penyabar itu kemudian membetulkan sedikit slang nasal cannula di bawah hidung. Perlahan, aku lalu kian begumul dalam dekap Rania. Jatuh dalam lingkup lengannya yang hangat.

"Tadi waktu dipasang ini sakit sekali kah, Mas? Mas Rangga masih nggak nyaman?" tanya Rania lagi, seraya menunjuk NG tube yang tadi siang dipasang oleh perawat dan dokter yang datang ke rumah.

Aku menggeleng, akhirnya memilih berdusta. Sebetulnya rasa tidak nyaman setelah pemasangan NG tube itu masih terasa. Berulang kali inginnya kulepas saja. Hanya saja, aku tidak mau mengatakannya padamu, Istriku. Aku hanya tidak mau kamu semakin khawatir hanya karena hal-hal semacam ini.

"Maaf ya, jadi repotin kamu lagi. Dari kemarin, apa-apa aku nggak bisa makan. Aku malah muntah terus," ucapku diikuti napas yang agak tersengal.

"Jangan begitu, Mas. Aku ngerti kok. Nggak ada yang direpotkan di sini."

"Sekarang yang penting sudah ada makanan yang bisa masuk ke badanmu. Kamu yang sabar ya, pakai NG tube dulu. Nanti kalau sudah baikan, bisa dilepas, aku masakin lagi yang enak-enak buat Mas Rangga."

"Ran."

"Ya?"

"Mas rasanya lelah sekali." keluhku.

Batuk hebat kemudian membuatku harus kembali terjeda. Rania mengusap lagi dada yang terasa nyeri ini. Untuk sesaat, tidak ada yang Rania ucapkan. Terdiam. Meski aku masih memejam, aku tau kalau ia sedang susah payah menahan tangisnya.

"Mas Rangga butuh apa? Mau aku bantu ke kamar? Mas mau tidur di ranjang?"

Aku lantas menggeleng. Batukku timbul lagi sampai Rania harus terus menerus mengelus punggungku. Ini nyeri sekali.

Rania, suamimu menyusahkan bukan. Aku lelah dengan semua rasa sakit ini. Aku lelah membuatmu terus-terusan repot, Rania. Hari-harimu tersita hanya untuk mengurusku yang ujung-ujungnya kita sudah tahu kalau aku hanya akan mati di sini.

"Mas mau minum pereda nyeri?" tanya Rania, kini suaranya terdengar gemetar.

Aku terdiam sesaat. Memilih menikmati genggaman tangan rania yang hangat dan erat. Sebentar saja.

Tubuh ini semakin terasa tidak beres. Pandangan mataku agaknya kabur. Dan tempurung kepala ini serasa dihantam dari dalam dengan sangat keras.

Tremor yang tidak bisa ku cegah, mulai terasa. Gemetar tangan ini dalam genggaman tangan Rania, sampai akhirnya terlepas. Tak lama sekujur badanku juga ikut begerak tanpa bisa kucegah. Sakit luar biasa, aku masih bisa sadar kalau ini adalah kejang. Sampai akhirnya aku benar-benar kehilangan kendali sepenuhnya atas tubuh ini

"Mas Rangga? Ya, Tuhan, Mas?!"

Hanya itu yang sempat kudengar dari Rania sebelum ia melepaskan kepalaku dari pangkuannya. Lalu membimbing tubuhku untuk tidur miring. Sesak sekali napas ini dan kejang ini seperti menyengat tiap jengkal kulit.

Aku masih setengah sadar sampai Rania mengganti nasal cannula dengan sungkup oksigen. Napasku yg masih terasa seperti tercekik ini membuatku mengeluarkan suara aneh dari tenggorokan yang bahkan sama sekali tidak ingin kudengar.

Tuhan, kalau boleh kau ambil aku sekarang, tolong ....

"Mas Rangga, tetap di sini, ya, Mas. Mas kuat. Mas Rangga kuat kan ya?"

Itu hal terakhir yang masih sempat aku dengar sebelum mata ini menggelap dan kecupan terakhirmu terasa di kening

*****


Kesepian KitaWhere stories live. Discover now