I

983 49 4
                                    

"Mas Rangga?"

Rania tampak mendekat ke arahku dengan wajah panik.

"Astaga, Mas. Sebentar aku bersihkan, ya. Mas mimisan lagi."

Aku yang belum sadar akan kekacauan di wajahku, lantas meraba  bagian hidung. Benar. Cairan merah langsung menbasahi telapak tanganku.

"Maaf, ya," kataku, jadi tidak enak dengan Rania. Aku merepotkannya lagi.

"Sssh, nggak apa-apa," sela Rania sambil buru-buru mengelap hidungku dengan tisu.
"Ayo nunduk dulu sebentar, ya, Mas. Biar darahnya keluar dulu semua."

Aku lantas menuruti perkataannya. Rania pun dengan sigap menadah semua darah yang kemudian mengalir dengan lap tebal. Tanpa jijik sedikit pun ia lalu membersihkan semuanya tanpa ada sisa.

"Mas Rangga, istirahatnya pindah dulu, ya? Mas jadi nggak nyaman ketiduran di sofa gini, kan? Aku bantu ke kamar, oke?"

Aku mengiyakan. Rania lalu mengambil kursi roda di sudut ruang tengah lalu membantuku pindah dari sofa ke atasnya. Rasanya badanku tidak punya cukup tenaga. Dua tungkai kakiku bahkan sampai gemetaran hanya karena pindah dari sofa ke kursi roda. Sebegitu menyusahkan.

"Mas Berat, ya, Ran?" tanyaku.

Rania sekilas tersenyum. "Mas Rangga enteng. Pokoknya nanti Mas Rangga harus gemukin badan lagi, ya. Biar cepat sembuh."

Aku bingung harus menanggapi apa. Harapan Rania terlalu tinggi kurasa. Atau dia memang hanya sedang pura-pura saja? Apa dia hanya mencoba menghibur diri sendiri dan masih sulit mengakui keadaan suaminya yang sebenarnya sudah tidak ada harapan lagi.

Tidak ada lagi yang kami bicarakan. Rania lalu hanya berlanjut mengantar sampai ke kamar.

"Mas, nyerinya masih menganggu, gak? Butuh minum analgesik lagi?" tanya Rania, sambil menyelimutiku di kasur.

Aku menggeleng. "Boleh temenin Mas dulu di sini?"

Rania mengangguk semangat. Lalu naik ke kasur, menelusup ke dalam selimut, memelukku.

"Ran."

"Ya?"

"Maaf Mas ngerepotin kamu terus."

"Nggak." Jawab rania singat. Pelukannya semakin erat

"Rania harus ikhlas kalau nanti Mas nggak bisa bertahan lagi."

Rania menggeleng. Tidak berkata-kata.

"Rania harus janji sama Mas. Walaupun Mas nggak di sini lagi nanti, Rania harus tetap bahagia, ya?"

Sunyi lagi. Tidak ada tanggapan dari Rania. Jemarinya lalu menggenggam jemariku. Lalu ia mengecupnya berkali-kali.

Sedih bersarang di hati. Aku tahu, waktuku tidak banyak lagi  Aku lalu menahan semua ketakutan ini lagi sendiri. Aku tidak mau kalau Rania akan membaca semuanya.

Sampai kemudian, semua berpunca lagi. Membuat sesak di dada terasa liar. Aku mulai kesulitan menata napas. Terbatuk berkali-kali

"Mas Rangga, tahan, ya. Dipakai dulu nasal cannulanya."

Rania berkata seraya menghapus air mataku yang sudah mengalir begitu saja. Aku takut, dan aku kesakitan amat sangat.

Jemari Rania lalu mengencangkan stopper di bawah dagu, agar slang di hidungku tidak banyak bergerak

"Mas Rangga jangan nangis lagi, ya. Nanti tambah sesak. Aku di sini, Mas temenin kamu."

"Aku nggak akan tinggalin kamu."

****

"Mas Rangga, demamnya masih tinggi."

Itulah yang dikatakan Rania pada pagi yang lain ketika ia melihat aku hanya bisa terbaring lemah. Sama sekali tidak ada tenaga

"Tiga puluh delapan derajat," Keluhnya.

Aku tidak heran kenapa semua badanku menggigil dan sakit sedari semalam. Bahkan aku tidak bisa tidur meski sudah minum pereda nyeri.

"Ran, mas mual," kataku. Tiba tiba merasa tidak enak.

Rania buru-buru mengambil baskom kecil. Beruntung aku tidak muntah di lantai. Rania tepat waktu menadahkannya di depanku.

"Nggak apa-apa, Mas. Keluarin aja biar lega," bujuk rania sambil terus memijat tengkukku. Kemudian, muntahan yang keluar dari mulutku hanyalah cairan bening.

"Mas tenang, ya. Istirahat dulu. Sebentar lagi biar aku ganti popoknya."

Inilah salah satu hal paling memalukan di hidupku sekarang. Keterbatasan gerak dan tubuh yang sudah terlalu lemah, membuatku sulit melakukan hal sederhana. Untuk jalan ke kamar mandi pun harus dituntun pelan-pelan. Pernah pula aku nekat melakukannya sendiri, tapi kemudian malah jatuh dan terluka. Dan kalau sedang kumat begini, aku bahkan mau duduk pun tidak bisa. Tidak ada jalan lain kecuali pakai popok atau pispot kalau sudah sangat terpaksa. Kalau tetap mau memaksa buang air kecil atau besar ke kamar mandi, malah akan tambah membuat Rania lelah.

"Maaf, ya, Ran. Mas kotor."

Aku menyesal ketika melihat Rania mulai melucuti popokku yg penuh dengan aroma pekat air seni dan kotoran. Aku merasa begitu tidak berguna. Aku sudah seperti bayi besar yang menijijikan.

"Mas kalau sekali lagi minta maaf, aku marah."

Rania protes. Wajahnya tampak ditekuk. Aku pun menyerah melihat dirinya yang bersikeras. Berusaha menerima keadaan.

"Maaf, ya. Aku bersihkan dulu sebentar." Rania kembali melanjutkan pekerjaannya. Membersihkan bagian intimku dengan telaten, dan memakaikan popok yang baru.

Setelah itu, ia mengganti bajuku dengan yang baru. Menyelimutiku lagi agar tidak dingin.

"Sudah bersih," ucapnya riang setelah membereskan semua peralatan dan mencuci tangan.

Rania mengecup keningku dengan lembut, mengusap pipiku dengan sayang.

"Mas Rangga, habis ini makan dan minum obat ya. Biar demamnya cepat turun."

Aku tersenyum tipis. Lalu mengangguk.

"Makasih, Ran," balasku yang kemudian ditanggapi Rania dengan satu kecupan lagi di pipi.

*****

Kesepian KitaWhere stories live. Discover now