Chapter 5: New Circle

Começar do início
                                    

"Kamu tuh terkenal di kantor tahu, Katja. Tetanggaku di apartemen juga kenal sama kamu, gara-gara aku bilang punya rumah sewaan di komplek ini. Kayaknya nih, kamu jadi perhatian banyak orang di kantor, sampai mereka tahu kamu tinggal di komplek apa, unit berapa. Tetanggaku salah satu yang merhatiin kamu, lho," cerita Mbak Ambar. "Namanya Mas Manda Gunawan. Kenal, nggak? Orang finance di Bian Consulting."

Aku menggeleng. "Aku nggak begitu kenal sama teman-teman di luar timku, Mbak. Aku kan masih bisa dibilang anak baru."

"Tuh, kan. Orang populer memang gitu! Nggak tahu kalau dirinya populer."

"Aduuuh." Aku tertawa. "Aku nggak sepopuler itu, ah."

"Kamu tuh disebut the goddess of Bicons lho, Katja. Pasti kamu nggak sadar deh kalau kamu banyak ditaksir sama cowok-cowok di kantor," puji Mbak Ambar. "Kata Mas Manda, kalau dia belum tunangan, kayaknya kamu bakal digebet juga sama dia. Wajar, sih. Kamu tuh orangnya kalem dan elegan banget, murah senyum, mana cantik banget. Artis di TV aja pada kalah cantik deh dari kamu. Serius."

"Ah, enggak. Itu berlebihan banget, Mbak!"

"Beneran, Katja. Kalau adik cowok aku masih single, pengin deh aku jodohin sama kamu. Buat memperbaiki keturunan!"

Kami berdua tertawa bersama. "Eh, jadi rumah Mbak Ambar beneran bakal disewain ke Pak Elbani?"

Mbak Ambar mengangguk mantap. "Iya, Katja. Beberapa hari lalu, kami udah deal-deal-an. Sebentar lagi, kamu punya tetangga yang baik, yang ikut jagain kamu dan anak-anak."

"Semoga memang dijagain dari jauh, ya," kataku. Basa-basi.

"Dari dekat juga nggak apa-apa dong, Katja. Pasti Mas Dirga senang banget kalau kamu dijagain sama temannya."

Aku mendesah pelan. "Duh, Mbak, aku belum kepikiran yang kayak gitu dulu. Sekarang fokus kerja dan ngurus anak aja dulu."

"Jangan lama-lama sendiri. Kamu tuh masih muda, cantik, sayang kalau sendiri terus. Lagian kan udah lebih dari setahun, Katja, wajar aja kalau misalnya kamu menikah lagi atau apa."

"Aku pertimbangkan sarannya ya, Mbak. Makasih banget lho udah diperhatiin."

Mbak Ambar kemudian bercerita sedikit tentang pertemuannya dengan Elbani. Aku tidak terlalu menyimak, malah salah fokus pada impresi Mbak Ambar terhadap sosok Elbani yang menurutnya sangat menarik dan keren. Aku tidak menampik fakta itu.

Satu hal yang aku bingung, kenapa Elbani sampai bawa-bawa nama mendiang suamiku untuk menyewa rumah?

Rasanya, bukan karena alasan untuk mendapat harga yang murah.

Apa ini ada hubungannya denganku?

Aku mendesah pelan. Semoga saja tidak. Akan ribet urusannya kalau sampai aku dan Elbani terlibat kedekatan personal yang tidak perlu, mengingat kami adalah partner kerja di kantor.

"Eh, sebentar, Mas Bani nelepon, nih." Mbak Ambar mengacungkan ponselnya dan melirik jail padaku. "Panjang umur ini orang!"

Aku terkekeh. "Ya udah, Mbak. Angkat dulu aja."

"Halo, Mas Bani! Lagi di mana... oh ya?... ini aku lagi ngobrol sama Katja... iya... iya... barusan aja... gimana? Hmmm, sebentar ya, aku tanya dulu." Mbak Ambar beralih padaku. "Mas Bani mau ke sini boleh nggak, Katja?"

"Ya? Uh... kenapa nggak boleh?"

"Boleh dong, Mas Bani!" Mbak Ambar berseru senang.

Selagi tersenyum, aku mengeluh dalam hati. Kenapa juga dia harus mampir, sih? Bukannya aku tidak bersyukur karena punya tamu dan kedatangan rezeki, hanya saja, kedatangan Elbani saat Mbak Ambar bertamu membuatku khawatir muncul asumsi yang tidak-tidak.

Yah, Mbak Ambar bukan tipikal tetangga yang suka menyebarluaskan cerita, sih. Aku tahu karena sudah mengenal Mbak Ambar sejak lebih dari lima tahun lalu. Toh, dia tidak tinggal di komplek ini, nyaris mustahil lah kalau dia bergosip tentangku. Namun, tetap saja, aku kurang suka membuat orang berasumsi.

"Tuh mobilnya Mas Bani. Ya ampun, ternyata dia udah dekat banget!" kata Mbak Ambar, mengacu pada sebuah SUV marun yang sedang memutar balik mobil—persis di depan pagar rumahku.

Tak lama kemudian, turun Elbani yang mengenakan polo shirt hitam dan celana jins. Penampilannya sedikit berbeda dari yang selama ini kulihat di kantor. Kalau kami berpapasan di mal atau di tempat lain, sepertinya aku tidak akan mengenali Elbani dengan gaya kasualnya.

"Mas Bani!" sapa Mbak Ambar. Di belakangnya, aku mengekor. "Pas banget aku lagi ngecek rumah dan mampir ke rumah Katja."

Elbani melempar senyum pada Mbak Ambar sebelum beralih padaku. "Hai, Katja."

"Halo, Pak El."

"Bukan di kantor, panggil El aja," katanya. "Kamu lagi ngapain jam segini?"

"Uh... beres-beres aja, sekalian nemenin anak-anak main dan berjemur."

"Saya nggak lihat anak-anak kamu."

Aku menoleh ke belakang. "Oh, pasti mereka langsung ke dalam buat nyicipin bolu dari Mbak Ambar," kataku.

Mbak Ambar terkikik. "Dijamin bikin berebutan!"

"Oh iya, Mbar. Gimana kondisi rumahnya, Mbar? Siap huni?" tanya Elbani.

"Siap dong, Mas Bani. Mau pindah malam ini pun bisa. Yuk, masuk ke dalam."

Elbani mengangguk. "Oke. Katja mau ikut? Siapa tahu penasaran."

"E-eh... nggak usah, Pak, saya masih banyak kerjaan domestik," jawabku cepat. Selain hanya alasan, aku juga merasa tidak punya kepentingan untuk menemani Elbani melihat-lihat calon rumah huniannya. "Kalau gitu, saya pamit masuk dulu ya, Pak El, Mbak Ambar."

"Oke, Katja. Makasih ya udah dibolehin mampir!"

"Sampai ketemu next time, calon tetangga," kata Elbani yang kubalas dengan kekehan singkat.

Waduh... bertetangga sama bos sendiri nih, gimana ceritanya?

***to be continued***

Private MessageOnde histórias criam vida. Descubra agora