FAJAR

58 5 1
                                    

Tatkala fajar menyuluh sinarnya, kita duduk dipangku alam, dimana tempat cakraya bersua, mata kita menatap pada sinar yang sama, menatap pada cahaya fajar yang akan hilang ditelan masa, ketika dirimu leka berbeka tentang alam dan cinta, tidak terperi bagaimana diriku terpukau dengan pesona mata, matanya menumpu pada bentala manakala aku menumpu padanya, saat dirinya melihat betapa indahnya bunga, aku melihat betapa indahnya senyumanya.

Sewaktu fajar dan seluruh alam sedang menatapi kita bahagia dengan rasa khinsit dan dengki, ketika mana kicauan cakraya menjadi melodi nikmat yang berirama di hati, suara alam yang masuk di telinga kiri, seakan menyentuh tiap penjuru sanubari, dan meresap sekata menjadi bukti, bukti janji antara aku dan hati, walau mulut ini masih diam seakan hutan yang sunyi.

Kedua mata ini redup dengan sendiri, seluruh kata seakan asing dalam diri, kita beralih di bawah pangku pohon cemara, tempat teduh dari sinar kelemayar, makin rapatnya kita, makin jiwa ini berderu memaksa, memaksa aku untuk luahkan segala rasa, walau mulut ini berat ingin berkata.

Dikau itu adalah hadiah dari ilahi, yang bererti dari ungkapan puisi, segala kata yang kuluahkan dalam puisi, hanyalah sekadar khayalan di alam mimpi, dan tidak akan menjadi realiti, melainkan menjadi duri, hatimu itu takkan pernah aku miliki, harus aku kunci rasa ini di lubuk nurani, dan di akhir nanti, badai ini pasti akan pergi, dan sinar fajar akan merelapi bumi, rasa duka pasti akan kembali, meski diriku yang dulu mati termakan diri, segala jerih lelah yang kita hadapi, dan segala masa yang kita penuhi bersemadi menjadi memori.

Walau engkau hilang dari sisi, tetap raut wajah masih melekat di hati, dan walau rasa ini tidak diluahkan dari suara, puisi ini jadi perasaan yang diluahkan dalam kata. Pengakhiran puisi ini adalah titik perjanjian, ia akan menjadi noktah pengakhiran, menjadi sebuah rekaan, dan menjadi satu pembuktian, tentang kebahagiaan yang bertepuk sebelah tangan.

Sesungguhnya tuhan itu maha adil dengan makhluknya, tiap ada duka pasti ada bahagia, yang pahit pasti ada manisnya, dan tiap perkara pasti ada sebabnya, rasa sakit ini tidak hilang dari jiwa, ia masih tersirat di baliknya dan mulai sebati di belahan jiwa, sinar fajar itu cahaya yang dapat hilangkan rasa pilu di segenap atma, dan rasa rindu di sekejur raga.

SURIAWhere stories live. Discover now