Chapter 4: Short Message

Start from the beginning
                                    

Aku menyukai tekad kuat yang terpancar dari Rayyan. Untuk ukuran lelaki bujangan yang tidak punya pengalaman mengurus anak kecil, dia sangat berani. Tidak banyak pemuda sepertinya di dunia ini. Aku kenal beberapa lelaki muda yang sebaya dengan Rayyan, jangankan menghadapi tantrumnya anak kecil, hanya diminta menjaga anak sepuluh sampai dua puluh menit saja sudah pada kepayahan dan minta pertolongan.

Rayyan berusaha meredakan tangisan Keenan. Jagoan kecilku itu memang tidak langsung berhenti tantrum, tapi bantuan dari Rayyan cukup untuk membuat perhatian Keenan teralihkan. Di pelukan Rayyan, Keenan menjadi lebih tenang meski sambil menangis sesenggukan.

Untuk pertama kalinya sejak aku mulai menjadi wanita kantoran, aku bisa sarapan dengan tenang. Dari ruang makan, aku mengawasi Rayyan dan Keenan yang sedang bermain di halaman belakang rumah. Senang rasanya melihat Rayyan setulus hati menjaga dan meredam emosi Keenan.

"Om Rayyan kenapa ada di sini sih, Ma?" bisik Kahlia di tengah sarapan kami. Kulihat, Kahlia menampilkan raut wajah tak suka ketika menyebut nama Rayyan padahal hari-hari sebelumnya, dia sangat senang tiap kali Rayyan menjenguknya di rumah Tante Sofi.

Menjadi ibu sambung Kahlia selama lima tahun belakangan membuatku tahu betul apa yang ada di pikiran Kahlia. "Om Rayyan mau bantu Mama buat antar-jemput ke kantor. Kami juga mau nganterin kamu ke sekolah."

"Nggak. Aku nggak mau diantar sekolah sama Om Rayyan."

Aku mengusap rambut Kahlia dengan sayang. "Kahlia nggak suka Mama dekat sama Om Rayyan?"

Kahlia tak menjawab. Itu artinya, tebakanku benar.

"Om Rayyan itu baik, Kahlia. Dia sayang banget sama kamu, sama Keenan."

"Sama Mama?" sela Kahlia. Sebelum kujawab, Kahlia menambahkan pertanyaan. "Mama sayang juga sama Om Rayyan?"

Sesaat, aku menahan napas dan tersenyum. "Kahlia keberatan?"

"Mama nggak sayang lagi sama Papa?"

"Mama selalu sayang sama Papa."

"Tapi Mama sayang juga sama Om Rayyan? Kalau iya, berarti Mama udah nggak sayang lagi sama Papa!"

Aku mendesah pelan. "Nggak gitu, Kahlia. Cuma karena Mama sayang sama Om Rayyan, bukan berarti Mama lupa sama Papa. Sama kayak Kahlia. Kahlia sayang nggak sama Mama Luna—mama kandung kamu yang udah lama meninggal? Kalau iya, bukan berarti kamu nggak sayang sama Mama Katja, kan?"

Jawabanku sukses membuat Kahlia bungkam.

"Jangan-jangan selama ini, Kahlia nggak sayang sama Mama Katja?"

"Sayang!" jawab Kahlia kilat. "Kahlia sayang banget sama Mama Katja... tapi... tapi... Kahlia sayang juga sama Mama Luna!"

"Nah, Mama juga gitu. Mama sayang sama Om Rayyan, tapi Mama nggak pernah berhenti sayang sama Papa. Kahlia bisa paham perasaan Mama, kan?"

Lagi, Kahlia tak menjawab.

"Mama tahu, Kahlia butuh waktu buat terima Om Rayyan, tapi Mama harap, Kahlia tetap bersikap baik dan sopan ke Om Rayyan. Oke?"

Meski tanpa kerelaan, Katja mengangguk. Senang rasanya melihat Kahlia bisa memahami perasaanku, meski mungkin dia masih butuh waktu untuk mencerna semua maksudku.

Selesai sarapan bersama Kahlia, aku mengajak Rayyan bersiap untuk berangkat. Mbak Desi sendiri sudah mempersiapkan diri untuk berangkat ke rumah Tante Sofi. Sengaja, Keenan tak mandi dari rumah karena semalam Keenan minta untuk diizinkan berenang di rumah Tante Sofi.

Dari rumah, kami semua bertolak menuju sekolah Kahlia. Hanya butuh sepuluh menit untuk mengantarnya karena jarak antara rumah dan SD tempat Kahlia bersekolah tidaklah jauh.

"Makasih udah diantar ya, Om Rayyan," kata Kahlia sebelum turun.

Inisiatif Katja membuatku semringah. Senang rasanya karena meski dia tidak terlalu suka dengan kehadiran Rayyan, Kahlia tetap bersikap sopan padanya.

Usai mengantar Kahlia sekolah, Rayyan membawa mobilnya menuju arah Dago. Sepanjang perjalanan menuju kantorku, Keenan masih sesekali menangis. Namun, dengan celotehan Rayyan, sedikit-sedikit, jagoan kecilku bisa menghentikan tangisannya.

SUV putih Rayyan sudah berhenti tepat di depan pelataran kantorku. Waktunya aku dan Keenan berpisah.

"Keenan, Mama kerja dulu, ya?" izinku pada Keenan yang berada di pelukanku.

Mata bulat Keenan kembali berkaca-kaca. Sejurus kemudian, dia merengek. "Mama jangan kerjaaa! Nggak boleh! Mama sama Keenan!"

"Jangan sedih, Keen. Kan ada Om Rayyan," kata Rayyan. "Om Rayyan janji bakal nemenin Keenan sampai Mama pulang kerja."

Keenan terisak. Dia tampak mempertimbangkan janji dari Rayyan.

"Nggak usah dipaksain buat nemenin dia seharian, Yan. Kamu kan juga ada kerjaan."

"Bisa diatur, Katja. Kamu tenang aja. Keenan bisa aku prioritaskan," katanya menenangkan.

Aku beralih ke Keenan. "Keenan mau ditemenin Om Rayyan?"

Bergantian, Keenan menatap aku dan Rayyan. Senyum lebar yang menjanjikan dari Rayyan rupanya bisa membuat Keenan tenang.

"Gimana? Keenan mau kan ditemani sama Om Rayyan?" tanya Rayyan.

Keenan mengulum bibirnya. Pelan, dia mengangguk.

"Good boy! Om Rayyan juga mau bangeeet main sama Keenan!" katan Rayyan dengan semangat.

"Maafin Mama yaa, Keenan, tapi Mama harus kerja dulu. Keenan sama Om Rayyan dulu ya mainnya? Nggak apa-apa?" tanyaku tanpa meninggalkan nada sesal.

"Tapi... Tapi... Mama pulangnya harus cepat, ya? Jangan lama-lama ninggalin Keenan ya, Ma?"

Aku mengangguk setuju. "Selesai ngantor, Mama janji bakal langsung pulang."

Dengan tak rela, Keenan membiarkan aku membuka seatbelt. Untuk menjaga Keenan agar tidak tiba-tiba tantrum lagi, Rayyan mengambil alih bocah itu dan mendudukkan Keenan di pangkuannya.

"Dadah, Mamaaa! Pulang kantor nanti, Mama bawain makanan buat Keenan dan Om Rayyan, yaa," canda Rayyan. "Keenan minta sesuatu dong sama Mama!"

Keenan menggeleng. "Mama cepat pulang, ya," cicitnya.

"Iya, Mama pasti berusaha cepat pulang," kataku. "Makasih ya, Yan. Aku titip Keenan. Nanti, dia pasti asyik main sama Oma dan Opanya, jadi kamu bisa kerja."

Rayyan menganggut paham. "Aku mau kerja dari rumah Mama Sofi, kok. Jadi, kamu nggak usah khawatir. I'll be with Keenan."

"Kamu—"

"Udah cepetan turun," potong Rayyan. "Nanti kamu terlambat."

Aku mendesah pelan. "Thanks," kataku. Detik berikutnya, aku turun dari mobil. Rayyan membuka jendela mobil dan mendudukan Keenan persis di kursi sebelah kemudinya. Rayyan menurunkan jendela, meminta Keenan melambaikan tangan padaku. Keenan menurut. Perlahan, Rayyan membawa mobilnya menjauh hingga sepenuhnya hilang dari pengawasanku.

Sebelum aku berbalik badan, satu chat WhatsApp masuk ke ponselku.

Elbani I. J. : Barusan diantar siapa?

Aku mengedarkan pandangan, tapi tak menemukan sosok Elbani di sekitarku. Bagaimana dia tahu kalau aku diantar oleh seseorang?

***to be continued***

Private MessageWhere stories live. Discover now