Tidak ada alasan lagi untuk Rafa menolak perintah untuk bersekolah di sana. Ia pun juga menginginkannya. Di tambah lagi Vano yang akan melindunginya. Setidaknya baru pertama kali masuk sekolah itu, Rafa tidak sendirian.

"Aku juga akan menjagamu," timpal Alan. Matanya yang menatap teduh Rafa disertai senyuman tipis yang semakin menambah kadar ketampanannya.

"Ya, kalian berdua harus menjaga adikku," ucap Elang. Lirikan tajamnya ia arahkan pada Vano dan Alan. Tersirat peringatan yang mendalam.

Vano dan Alan mengangguk pelan. Tanpa disuruh pun mereka juga akan melindungi Rafa.

"Terimakasih abang." Ucapan terimakasih secara tulus dari Rafa pada abang-abangnya. Perkataan mereka membuat semangat sekolahnya bertambah. Terbesit rasa takut ketika akan masuk sekolah lagi, memori-memori ketika ia sekolah dulu tentu tak akan hilang semudah itu. Apalagi ia akan masuk di sekolah elite yang penghuninya rata-rata anak konglomerat seperti abang-abangnya ini. Jelas mereka lebih berkuasa daripada Toni. Apa dia di sana semakin tidak merasa dipojokkan?

Tapi ketika mendengar perkataan abang-abangnya. Ia  merasa terlindungi. Perlahan-lahan kekhawatirannya meredup. Senyum tulus Rafa ia berikan pada abang-abangnya.

"Ya." Secara serentak Alan dan Vano menanggapi ucapan terimakasih dari Rafa. Senyum manis yang diberikan Rafa membuat mereka terpana. Perpaduan manis dan menggemaskan tergambar pada raut muka Rafa ketika tersenyum seperti itu.











………..







"Ayahhh," teriak Rafa memanggil-manggil ayahnya. Keluarga Alarick telah berangkat. Ada yang pergi ke perusahaan, ada yang pergi ke sekolah. Tinggallah dia sendiri di mansion besar ini. Nyonya Alarick pun turut keluar entah kemana. Mungkin sedang ada urusan mendesak dengan bisnisnya. Mereka menyuruhnya untuk tetap berada di dalam mansion. Saat itu Rafa menganggukkan kepala, patuh pada keluarga tersebut. Tapi setelah mereka semua sudah berangkat, ia dengan riang keluar dari mansion dan berlari menuju halaman belakang untuk menemui ayahnya. Mungkin ayahnya berada di gedung belakang mansion ini yang biasanya ditempati oleh pekerja mansion.

"Ayahh," panggil Rafa lagi. Kepalanya celingukan mencari-cari keberadaan ayahnya. Pandangannya mengedar ke seluruh penjuru ruangan, mencoba mencari keberadaan ayahnya. Tidak ada, apa mungkin ayahnya sedang berada di tempat lain untuk mengerjakan pekerjaannya? Entah. Jarak mansion dengan gedung ini lumayan jauh, karena mansion Alarick sangat luas. Lebih baik ia menunggu di sini.

Tak berselang lama, Rafa melihat jika ayahnya akan menuju ke sini. Karena semangatnya yang sudah tidak terbendung lagi, Rafa langsung berlari keluar gedung tersebut dan menubrukkan badannya ke ayahnya.

"Ayah, Rafa nungguin ayah," lapor Rafa pada Arya dengan cengiran lebarnya. Arya yang melihat itu langsung menerbitkan senyum tipisnya.

"Kenapa di sini? Gak di dalam mansion aja? Nanti jika pulang, ayah akan menjemputmu di sana," ucap Arya pada Rafa. Biasanya Rafa akan diajak bermain di dalam mansion tersebut sampai nanti sore, karena sore hari ia sudah pulang. Tidak tinggal di sini karena hanya bodyguard saja yang menetap di mansion Alarick.

Rafa menggelengkan kepalanya. Di mansion tidak ada siapa-siapa, ia tidak suka sendirian. "Gak mau, sepi," jawab Rafa.

Arya mengangguk paham. Pasti keluarga Alarick sedang sibuk dengan pekerjaannya. Tadi ia melihat beberapa rombongan mobil keluarga Alarick keluar dari kawasan mansion.

Merasa lelah terus-terusan berdiri, Arya membawa anaknya untuk duduk di gazebo terdekat. Mendudukkan dirinya dan anaknya di dalam gazebo tersebut. Sekalian mengistirahatkan dirinya setelah selesai memotong rumput-rumput di taman mansion yang sudah agak memanjang.

"Ayah, ayah," panggil Rafa lagi dengan tatapan berbinar. Tubuhnya menghadap penuh ke arah ayahnya. Ia sedari tadi ingin menyampaikan kabar bagus ini.

"Ya? Ada apa?" tanya Arya dengan penuh perhatian.

"Rafa mau masuk sekolah," ucap Rafa dengan ekspresi bahagianya. Setelah itu ia menaikkan tiga jarinya sambil berkata, "Tiga hari lagi." Deretan gigi Rafa terlihat ketika ia tersenyum ceria.

Terkekeh ringan, tangan Arya terulur mengusap rambut Rafa dengan sayang. "Ayah senang mendengarnya," ucap Arya. Melihat anaknya yang sangat senang ketika mengetahui dirinya akan masuk sekolah sudah cukup membuat dirinya senang juga.

"Oiya, kata tuan Alarick, ayah jangan memikirkan biaya sekolah di sana. Mereka yang akan menanggungnya." Beritahu Rafa pada ayahnya. Terbesit di dalam ingatannya saat Dirga mengucapkan itu padanya. Jujur, Rafa senang mendengarnya. Ayahnya tidak perlu mengeluarkan banyak uang untuk menyekolahkan dirinya di sana. Keluarga Alarick memang baik. Tadi ia sempat menolaknya, karena Rafa merasa ia tak pantas mendapatkan itu. Ia bukan siapa-siapa mereka.

Tapi Dirga tetap bersikukuh, katanya mereka lah yang menyuruh Rafa bersekolah di sekolah elite seperti Vano dan Alan. Tuan Dirga itu, peka dengan masalah ekonomi keluarganya. Ragu ingin menerima, tapi sayang jika tidak diterima. Lagi pula itu adalah sekolah impiannya.

Akhirnya Rafa tak menolak lagi setelah nyonya Alarick mendorong dirinya untuk segera menyetujui penawaran dari Dirga. Bagi keluarga Alarick, mengeluarkan uang untuk membiayai sekolah Rafa itu bukan masalah besar.

"Apa tidak apa-apa?" tanya Arya dengan ragu. Walaupun biaya sekolah anaknya sudah ditanggung oleh majikannya, tapi tetap saja ia merasa memiliki hutang pada majikannya.

"Apa gaji ayah dipotong saja untuk mengganti uang mereka?" tanya Arya meminta pendapat anaknya.

Rafa menggeleng tidak tau. Jika gaji ayahnya dipotong, lebih baik ia tidak jadi saja sekolah di tempat itu. Biaya di SMA Wijaya sangat mahal.

"Baiklah, jalani saja dulu. Jika nanti kita sudah memiliki banyak uang, kita akan menggantinya. Mungkin jika tabungan ayah sudah cukup banyak, kita akan pindah. Tidak mengontrak lagi, ayah akan melunasi hutang ayah terlebih dulu kemudian kita akan pindah, Rafa selesaikan sekolah dulu." Arya memberitahu rencana kedepannya yang sudah ia bicarakan dengan istrinya pada Rafa.

Memang benar. Jika tabungannya sudah cukup banyak, ia akan berhenti dari pekerjaan ini, ia akan mencari pekerjaan lain. Ia akan pulang kampung di desa dan membeli rumah di sana. Di kota ini rencananya ia dan keluarganya hanya sementara, sampai uang mereka terkumpul banyak. Pasti tidak selamanya kan mereka di sini.

"Rafa ikut ayah aja. Rafa kalau sudah lulus, mau kerja juga. Bantu ayah sama ibu. Ayah udah selesai kerjanya? Rafa mau bantu ayah kerja hehehe," ucap Rafa dengan tak melunturkan semangatnya.

"Tidak perlu, setelah ini ayah akan menyiram tanaman," balas Arya menolak tawaran anaknya. Lagi pula pekerjaannya tidak terlalu berat, ia masih mampu untuk mengerjakannya sendiri. Tentu dengan rekan yang lain.

"Rafa setelah ini ngapain?" tanya Arya sebelum ia akan mengerjakan pekerjaan lagi. Rafa menggelengkan kepala dengan bibir melengkung ke bawah. Merasa sedih tawarannya ditolak oleh ayahnya. Ia juga tidak tau ingin melakukan apa. Ingin membantu ayahnya, tapi baru saja tawarannya di tolak.

Arya tau jika anaknya kecewa dengan penolakannya. Lebih baik seperti itu, Rafa sudah sering membantunya dulu ketika bekerja di sini sampai keluarga Alarick tertarik pada anaknya dan akhirnya melarang Rafa untuk membantunya bekerja lagi karena tidak ingin Rafa kelelahan. Ia pun juga setuju dengan keluarga Alarick. Harusnya Rafa fokus pada sekolahnya saja.

"Bagaimana jika Rafa menemui ibu saja? Kasih tau jika kamu akan masuk ke sekolah itu," usul Arya. Mencoba membangkitkan semangat Rafa lagi. Dan terbukti, yang tadinya suram, kini kembali ceria. Anaknya itu pasti tidak tahan jika tidak membagikan kabar bahagia tentang dirinya. Seakan-akan semua orang harus tau.

"Baik, Rafa akan ke ibu." Rafa menyetujui usulan yang diberikan oleh ayahnya. Benar juga, ibunya harus segera ia beritahu.











....








Tandain kalo ada typo💗💗

Ngantuk bgt, takut salah ketik

Rafa Where stories live. Discover now