Sambutan di Ruang Tamu

25 3 0
                                    

Apartemen di bagian selatan Jakarta, dengan dua kamar, yang satu digunakan sebagai kamar tidur, dan kamar lainnya mereka buat sebagai ruang kerja. 

Mereka, karena ada dua orang yang tinggal di Apartemen sederhana itu, berawal dari menjadi housemate, lama-lama kenyamanan antara mereka pun semakin terbentuk. "Seperti benar-benar menemukan 'rumah'", kalau kata Alex, sang jurnalis di salah satu media online di Jakarta, ketika ditanya temannya garis miring landlord dari apartemen itu tentang kenapa dia malah jadi berpacaran dengan Maya setelah kurang lebih setengah tahun mereka tinggal bersama, kini sudah tahun kedua mereka berpacaran.

Maya, berbanding terbalik dengan Alex yang santai dan juga sangat adventerous, Maya cukup serius menentukan segala karir dan titik balik di hidupnya. Bekerja sebagai seorang marketing di perusahaan Food & Beverages membuatnya punya kesibukan yang kadang tidak masuk akal bagi Alex. 

cklek

Bunyi pintu apartemen mereka terbuka, Alex sedang di ruang tamu, bersebelahan dengan dapur, sebuah sofa berwarna biru menjadi tempatnya menyandarkan diri sambil menonton ulang FRIENDS entah untuk keberapa kalinya. Maya kadang bosan melihat Alex berkali-kali menonton series itu, karena dia lebih suka How I Met Your Mother, dan sesuka apapun dia dengan The Mother, tetap saja dia merasa Robin dan Ted pantas untuk mendapat akhir bahagia, meskipun terompet biru aneh itu sebaiknya dibuang saja. 

"Hey..." Alex bangkit dari sofa, menghampiri kekasihnya yang rambutnya sudah kusut dan diikat alakadarnya, blazer hitamnya merosot sedikit, sama seperti tas Nine West yang tercangklok di bahu Maya. Dengan sigap Alex memegangi tas Maya, mengambilnya, lalu memeluk kekasihnya itu.

"Capek ya?" tangan Alex menepuk-nepuk bahu Maya, sesekali dia elus. Maya masih belum berbicara, bahkan belum bergerak dari tempatnya berdiri setelah masuk. Tiba-tiba tangan Maya memeluk balik Alex, Alex bisa merasakan tangan maya seperti terlalu erat memeluknya. Biasanya ini bukanlah hal baik, benar saja, kaos Joy Division dengan aksara jawa yang dikenakan Alex tiba-tiba basah di bagian bahunya. 

Alex tidak bertanya apapun lagi, hanya terus memeluk kekasihnya sambil pelan-pelan menaruh tas tadi ke lantai. Dari TV terdengar Monica berkata "Welcome to the real world. It sucks. You're gonna love it".

***

Maya, dengan mata yang kini mulai terasa sakit akibat menangis, sudah duduk di sofa mereka. Lengkap dengan Alex di sebelahnya, masih dengan aktivitas mengelus-elus bahu. Dia tidak bisa deny bahwa itu cukup membuatnya relaks dan nyaman. 

Alex tahu, pekerjaan Maya cukup demanding terhadapnya, sudah bukan sekali dia pulang dengan wajah kusut, kelelahan, juga kadang menangis seperti ini. Tapi untuk resign pun merupakan pilihan yang sulit. Maya sebagai tulang punggung keluarga tidak bisa tiba-tiba resign tanpa rencana, bagaimana dia akan menghidupi orang tua dan juga adik-adiknya yang saat ini masih sekolah dan kuliah? 

"Sayang, mau minum atau makan sesuatu?" tawar Alex, Maya menggeleng. Dia bahkan tidak nafsu makan. Masalah di kantornya hari ini benar-benar membuatnya ingin meledakkan kepalanya sendiri, entah dengan dinamit atau petasan cabe. 

Seorang rekan kerjanya, salah membuat penawaran ke vendor, Maya sebagai atasan orang itu jelas menjadi orang pertama yang ditegur oleh bosnya. Dia dianggap teledor dan tidak teliti memeriksa pekerjaan anak buahnya. Sesorean tadi, Maya hanya terus dimaki-maki dan bahkan dimarahi tentang hal-hal yang menurutnya tidak relevan dengan masalah tadi. Dan menurutnya lagi, masalah ini sebetulnya bisa selesai cepat jika bosnya yang berumur 40an dan belum menikah itu tidak membuang-buang waktunya dengan menceramahinya ini itu. 

Maya memeluk Alex erat. 

"Enggak mau makan, mau gini dulu aja," nada suara Maya terdengar pelan dan lemas. 

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jan 05 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Catatan Percakapan di Ruang TamuWhere stories live. Discover now