Perahu Kertas

4 0 0
                                    


"Untuk apa?"

Untuk apa? Aira menoleh pada anak lekaki satu tahun di bawahnya. Setelah menghempas sedikit debu di bajunya, Aira datang mendekat padanya yang berdiri memerhatikan kegiatan Aira sejak tadi.

Aira sempat tersenyum melepas perahu kertasnya pergi dibawa air entah kemana akan sampai kertasnya, sebelum menjawab pertanyaan Riki. "Untuk aku sampaikan pada Ayah."

Riki menatap binar mata penuh duka disana. Walau wajahnya mengukir senyum. Tapi binar mata itu tak berbohong. Bahwa Aira tengah rindu pria empat puluh dua tahun yang telah meninggalkannya beberapa tahun lalu.

"Kau rindu?"

Aira menyungging senyum miring. '"Tidak ada seorang anak perempuan yang tidak rindu pada cinta pertama mereka. Tidak ada." Aira menarik napasnya dalam dalam. "Apa itu menganggumu?"

Keduanya berjalan beriringan. "Kupikir tidak ada yang salah dengan itu." Riki melempar tanggapan. Sedang Aira mengukir senyum miring. "Begitu, kah?"

Riki menganggukan kepala. "Setiap orang punya cara mereka sendiri mengutarkan perasaan mereka."

"Sepertimu, mungkin?"

Riki menoleh. "Sepertiku?" Kening Riki mengerut bingung. Aira merekahkan senyumannya. "Kau dengan ini." Tangan itu menunjuk pada earphone yang selalu menggantung di leher Riki. "Itu caramu mengekpresikan perasaanmu bukan?"

Riki terkekeh kecil. Diusaknya puncak kepala sang kakak gemas. "Setidaknya kita satu sama."

Aira menyetujui itu. "Apa menurutmu itu aneh?"

Riki menggeleng. "Bukan aneh. Hanya saja cara pandang orang lain saja yang kurang bisa memahami."

"Lalu bagaimana dengan kata, 'mengapa aku harus memahami mereka, jika mereka tidak bisa memahamiku?,' bagaimana dengan itu?"

Riki menimang lama dengan gumaman panjang. "Kupikir... apa hidupmu kau deligasikan untuk orang lain?" Air menggeleng. "Untuk dirimu sendiri, bukan?" Aira mengangguk. "Mengapa tidak coba untuk diri kita sendiri dulu."

"Aku tahu itu."

"Pintar sekali." Kepala Aira diusak lagi. "Kita mulai diri kita sendiri, tak apa. Tidak perlu memaksakan diri."

Aira tersenyum. "Iyakan." Ditariknya napas panjang, "aku merasa aku menemukan seseorang selain ayah."

"Betulkah itu"

Aira mengangguk semangat. Kepergian keduanya menggiring bersama perahu kertas Aira menyatu bersama Air. Dari tulsan itu terterakan suatu kata,

Pada ayah yang tenang disana. Aku telah menemukan seseorang yang dapat kuharapkan. Akankah dia sebaliknya padaku?



END

⌗ Japanese Boy ⟩Where stories live. Discover now