Dua

12 3 0
                                    

HappyReading 💞



Dikta turun dari motornya, di depan sana ada ibunya yang sudah menunggunya sambil bersidekap dada.

"Dari mana? Ini udah mulai acaranya."

"Tadi dijalan aku lihat ada cewek yang dipalakin bu. Aku bantuin dulu." Jawab Dikta.

Ibu Dikta memicingkan matanya, "kamu nggak berantem kan?" Tanyanya.

"Nggak bu. Ayo kita langsung berangkat aja, aku nggak usah ganti baju. Oiya, adek mana?" Dikta bertanya sambil memasangkan helm pada ibu tercintanya.

"Ada di kamar. Itu juga ibu kaget pas dia pulang. Pipi adek kamu bengkak, kirain di bully sama temennya."

"Terus?" Dikta bertanya seolah-olah tidak tahu dengan apa yang menimpa adiknya.

"Jatuh pas pelajaran olahraga. Pulang nanti kita mampir ke apotek dulu, beliin dia obat."

"Ay ay kapten. Berangkat sekarang?"

"Yes."

"Ibu pegangan ya. Takutnya kulit ibu terbang gara-gara angin."

"Anak kurang ajar."

Semilir angin menyapu wajah seorang gadis cantik yang tengah duduk di hamparan pasir. Wajahnya terlihat tenang, namun tatapan matanya kosong.

Ia menatap kiri kanan, hanya ada beberapa pasangan yang usianya sama dengannya. Ia menghembuskan napas perlahan. Ingin rasanya ia merasakan seperti apa indahnya masa remaja.

Ia mengambil sebuah kamera yang ada di dalam tasnya dan mulai memotret. Indahnya laut nan biru menjadi objeknya kali ini, setelah puas memotret ia kemudian mengeluarkan alas lukis miliknya.

Sedikit demi sedikit, sebuah sketsa pemuda mulai terbentuk di kanvas miliknya. Gadis itu tersenyum ketika sketsanya telah jadi, tinggal ia berikan warna dan lukisannya itu akan semakin indah. Di bawahnya ia menuliskan sebuah nama yang akan selalu ia ingat.

'Dikta'

Seseorang menepuk pundaknya, ternyata supirnya. Dan menunjukkan secarik kertas.

"Non Dara, kita harus pulang sekarang."

Dara mengangguk, ia membereskan perlengkapan lukisnya kemudian beranjak.

Supir Dara kembali menyodorkan secarik kertas.

'Tuan hari ini kembali dari dinas. Apa non mau membelikan sesuatu sebelum kita pulang?'

Dara terlihat berpikir, tak lama ia mengangguk mengiyakan. Ia masuk kedalam mobil, kemudian menuliskan alamat yang akan ia tuju lalu ia memberikan kertas itu pada supirnya.

Sang supir menatap majikannya kemudian mengangguk. Mobil yang ditumpangi Dara melaju.


Dikta berjalan disamping ibunya, ia menguap lebar.

"Kalau ustadnya lagi tausiah itu di dengerin, bukan malah tidur." Sindir Tia, ibu Dikta.

"Ngantuk bu, jam-jam segini kan emang enak buat tidur."

"Ngeles aja terus." Tia ingin memasang helmnya, namun diambil alih oleh putra sulungnya itu.

"Abang kenapa sih suka masangin ibu helm. Kan ibu bisa sendiri." Protes Tia.

"Ini namanya simulasi bu. Kan Dikta belum punya pacar, nanti kalau udah ada Dikta praktekin dah di pacar Dikta." Pemuda tampan itu tersenyum lebar.

"Emang nggak ada cewek yang cantik di sekolah kamu?"

"Banyak bu. Tapi, nggak ada yang masuk ke kriteria Dikta."

"Nggak usah terlalu di pikirin bang. Abang juga masih sekolah, kalau bisa fokus sekolah dulu aja."

"Siap ibu negara!"

Dikta memasang helmnya. Ia menoleh, "silahkan naik tuan putri." Ucapnya.

Di tengah perjalanan, Tia tiba-tiba menepuk pundak Dikta.

"Abang."

"Kenapa bu? Kulit ibu nggak terbang kebawa angin kan? Ini Dikta pelan loh bu bawa motornya."

"Ngaco ih!"Kesal Tia.

"Terus kenapa ibuku sayang?"

"Mampir ke toko kue langganan ibu dulu. Ibu mau beliin Adek kamu kue."

"Adek doang nih? Abang nggak?"

"Kamu juga atuh." Jawab Tia.

"Nah gitu dong, kan abang jadi semangat. Oiya bu, sama susu kotak juga ya." Ucap Dikta.

"Iya."

Dikta memarkirkan motornya, Tia masuk lebih dulu kemudian disusul olehnya.

Harum semerbak dari berbagai jenis roti dan kue menyapa indra penciuman Dikta. Ia tak mengikuti Tia, namun ia menyusuri rak lain, hingga tatapannya tertuju pada gadis yang memakai seragam dan juga mengenakan headseat di telinganya.

"Itu cewek yang tadi." Gumamnya. Ia langsung menghampiri gadis itu, membaca name tag nya agar ia bisa mengingat namanya.

"Dara." Gumamnya.

Ia mencolek lengan gadis itu hingga membuatnya menoleh terkejut.

"Hai." Dikta melambaikan tangannya sambil tersenyum lebar.

Dara mengangguk sambil tersenyum tipis. Ia langsung menuliskan sesuatu di kertas yang sedari tadi ia pegang. Lalu kemudian memberikannya pada Dikta.

"Terima kasih atas bantuannya tadi."

Dikta tersenyum, ia memberikan kode kepada Dara agar meminjamkannya pulpen yang dipegangnya. Dara yang paham langsung memberikan pulpennya.

"Sama-sama. Ngomong-ngomong kita satu sekolah tapi kenapa gue nggak pernah ngelihat elo ya?"

Dara membaca tulisan Dikta, ia lalu kembali menuliskan sesuatu.

"Aku hanya tinggal dikelas sampai jam pulang tiba. Hanya sekali-kali ke toilet."

Dikta mengangguk. Ia menatap menatap wajah cantik Dara seksama.

"Cantik banget anjir." Gumam Dikta.

"Abang."

Dikta menoleh, disana ada Tia yang menatapnya dengan Dara secara bergantian. Ia menghampiri keduanya, tersenyum pada Dara.

"Siapa bang? Cantik amat." Tia tersenyum menggoda.

"Ini cewek yang abang tolongin tadi."

"Oh." Tia menatap Dara."Siapa nama kamu cantik?"

"Bu."

"Hm?" Tia menatap Dikta.

"Dia nggak bisa denger."

Tia terdiam, ia menatap Dara yang juga menatap dirinya dan Dikta dengan tatapan polosnya.

Refleks Tia mengusap kepala Dara. "Anak baik."

"Ibu bayar kuenya dulu."

Dara mencolek lengan Dikta. Ia menyodorkan secarik kertas.

"Itu mamamu?"

Dikta mengangguk dan tersenyum.

Dara kembali menuliskan sesuatu dan memberikannya pada Dikta.

"Dia cantik."

Dikta tersenyum membacanya, ia juga menuliskan sesuatu lalu memberikannya pada Dara.

Pipi Dara tiba-tiba memerah. Ia menatap Dikta yang tersenyum, pemuda itu melambaikan tangannya pamit kepada Dara.

Dara kembali menatap tulisan tangan Dikta, dan kembali tersipu malu.

"Ya. Dia cantik, kayak lo."





























See you in the next chapter!!

Jangan lupa tinggalkan jejak semua 🐾❤










You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Apr 11 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

My DiktaWhere stories live. Discover now