BAB 2

2 2 1
                                    

Book Cafe Emery, bak sebuah dongeng yang sering dibaca Ankash. Tetapi, cerita itu benar adanya. Kami adalah bukti dari semua deretan keajaiban dongeng itu. Setiap ceritanya, detail, petualangan, serta keajaiban di luar nalar. Kami benar-benar melewatinya.

Percaya atau tidak. Ada sebuah meja bundar di mana semua perjalanan waktu bisa dilakukan. Tentu saja semua itu memiliki syarat dan aturan yang harus dipatuhi. Serta konsekuensi bagi yang membangkang. Sejauh ini tidak pernah ada masalah yang berarti. Bukan hanya kami, beberapa orang lain juga pernah merasakan bagaimana berpetualang menjelajah masa.

“Lily?” panggil Ankash saat tak mendapat jawaban apapun dariku.

Aku masih harus menimbang apakah perjalanan kali ini tidak membahayakan kami. Karena Tante Emy sudah menyerahkan semua keputusan perjalanan masa padaku. Dan, yang kami lakukan bukan hanya sekedar menelusuri waktu. Tetapi, juga tentang perantara pesan pada siapapun yang memiliki penyesalan atas masa lalu mereka.

“Kalian siap dengan perjalanan kali ini?” tanyaku lagi demi memastikan kesiapan mereka.

Tante Emy sedang tidak ada di tempat. Jadi, aku tidak bisa bertanya bagaimana pendapatnya tentang pesan kali ini.

Mereka mengangguk mantap tanpa ada keraguan. Aku mengela napas sekali mencoba tenang dan fokus pada tujuan kali ini.

“Baiklah. Kita harus segera kembali saat menemukan gadis itu.”

Aku segera membuka kedua tangan dan meletakkannya di atas meja. Hal serupa dilakukan oleh mereka berdua. Kami saling bergandengan dan memejamkan mata serentak. Dengan satu mantra sederhana, kami bisa menembus batasan waktu yang sudah berlalu.

Book Cafe izinkan kami menempuh masa dan dimensi yang membentang ini.

Sayup-sayup aku bisa mendengar suara aktivitas penduduk dan beberapa kendaraan yang lewat. Aku segera membuka kedua mata sebelum akhirnya menyadari bahwa kami sudah berada pada waktu yang berbeda.

Gandengan tangan kami terlepas. Kami telah tiba di waktu yang bahkan kami belum lahir. Aku menatap sekeliling. Book cafe di sini terlihat berbeda. Lebih ramai dan lebih sibuk dari masa kami.

Seorang gadis seperti seusiaku dan Ankash datang menghampiri kami. Ia membawa sebuah nampan dengan celemek yang melekat menutupi pakaiannya. Sepetinya aku mengenal gadis itu.

“Kalian mau pesan apa?”

Kami saling pandang. Ini saatnya penentuan siapa yang akan pergi. Selalu ada aturan yang harus ditepati dan itu mutlak dalam perjalanan ini.

Pertama, siapa pun yang bisa pergi bersama harus ada yang menetap menjaga kursi waktu kami tetap kosong tanpa ada yang menduduki. Atau ... ia akan bertukar masa dengan yang menduduki kursi tersebut.

“Kak, aku mau pesan sanger. Tapi, jangan terlalu manis, ya!” Aku dan Ankash menatap gadis itu lekat.

“Hanya itu?” tanya pelayan itu. Ranum mengangguk sebagai jawabannya.

“Kalian pergilah! Aku akan menjaga kursinya,” ujar Ranum sembari memicingkan salah satu matanya.

Aku tidak habis pikir. Remaja seusianya jarang sekali yang mau minum kopi itu. Tapi, gadis ini begitu candu dengan minuman tersebut.

“Kau mau begadang? Kenapa pesannya sanger?” Ankash menatap anak itu tajam.

“Tidak. Apa pun yang aku minum itu tidak akan mengganggu jam tidurku.”

Walaupun terkesan dingin. Ankash adalah sosok yang peka sebenarnya. Itu juga salah satu alasan kenapa dia cukup populer di sekolah. Kebanyakan akan salah paham dengan sikapnya.

“Baiklah. Kami akan berkeliling sebentar melihat situasi.”

Aku dan Ankash segera beranjak menelusuri keramaian. Kami datang saat matahari dipuncak, sedang waktu masa kami sudah cukup larut.

“Kemana kita mulai?” tanyaku.

Ankash terlahir dengan feeling yang tajam. Ia yang biasa menentukan arah saat kami mulai penelusuran seperti ini.

“Timur. Aku bertemu dengan orang yang menitipkan pesan kali ini di sebuah tangga turun ke lapangan. Dia menunggu sesuatu. Jadi, kupikir itu tempat favoritnya.”

Baiklah. Ini tidak akan memakan waku lama untuk menemukan targat. Kami segera menuju titik lokasi yang dimaksud Ankash. Setelah hampir seperampat jam kami berjalan, akhirnya kami tiba di lokasi.

Aku mengamati sekitar. Lokasinya berseberangan dengan sebuah sungai. Lapangan luas dengan beberapa pohon rindang di pinggir lapangannya. Jelas ini tempat anak-anak biasa menghabiskan sore menunggu malam.

Dari kejauhan seorang anak tengah berlari panik menuju ke arah kami. Itu seorang gadis kecil. Dalam beberapa detik, ia sudah tak jauh dari hadapan kami. Tapi, gadis itu tak kunjung berhenti.

“Itu dia,” gumamku saat melihat jarinya sekilas.

Sayangnya gadis itu tidak berniat berhenti. Ia melewati aku dan Ankash, tapi langkahnya seketika terhenti. Gerakan tangan Ankash jauh lebih gesit menagkap lengan gadis itu.

“Lepas!” serunya panik.

“Tidak.”

“Hei, kalian bagian dari mereka, ya?”

Dari kejauhan, aku bis ameliha segerombolan pria dengan sangar dengan beberapa benda panjang di tangan mereka.

“Kash, bawa gadis ini pergi!” seruku yang langsung balik kanan.

“Hei, lepaskan!” Gadis itu meronta panik.

“Ikut kami atau kau mau tertangkap oleh mereka?” Ankash segera menarik gadis kecil itu.

Tidak ada waktu kalau harus menunggu jawabannya. Lebih baik langsung membawanya menjauh dari gerombolan pria yang mengejarnya. Itu pasti yang ada dipikirkan Ankash, hingga dia menggendong gadis itu ala bridal style.

“Apa yang kalian lakukan. Lepaskan aku!”

“Tenanglah. Kami hanya ingin bicara denganmu. Tapi, sepertinya situasimu kurang baik. Kami akan mencari tempat aman sementara.” Aku berusaha memberinya penjelasan. Aku yakin dia pasti juga curiga dengan kami karena membawanya pergi tiba-tiba.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Dec 27, 2023 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Book Cafe Where stories live. Discover now