DAPET SORBAN

28.3K 1.4K 6
                                    

Assalamu'alaikum

Jangan lupa follow ig author:@wp.gulajawa
Gus Agam : agamganteng_12

Sebelum membaca awalli dengan
Bismillahirrahmanirrahim

REVISI BAB 03
Warning : maaf alur / judul bab sedikit berbeda. Selamat menikmati.

 Selamat menikmati

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

***


Beberapa menit Ziva terdiam, menatap lekat sorban yang ia pegang. Dirinya benar-benar terkejut dengan pernyataan dari sosok pria tersebut.

“ Eh-maaf. Ini sorbannya,” dengan penuh hati-hati Ziva mengembalikannya. Namun siapa sangka, sang Gus malah menolak. Bagaimana pun itu sudah terkena air liur Ziva.

“ Untuk kamu saja. Sepertinya kamu menyukai sorban itu. Kamu bisa mengambilnya,” tawar Gus itu.

“ Loh gak bisa dong, ini milik anda,” dengan pemaksaannya Ziva menarik tangan sang Gus, dan meletakan sorban di telapak tangannya.

“ Astaghfirullah Ziva,” suara dari sosok pria yang selalu Ziva dengar yaitu sang ayah.

Ziva terkejut dan menoleh ke arah sumber suara tersebut. Kebingungan menyelimuti Ziva saat melihat sorot mata tajam dari sang ayah.

“ Papah,” dengan perlahan Ziva melepas tangan sang Gus dan bangkit dari duduknya.

“ Assalamu’alaikum,” ucap papah Arman seraya mendekati putrinya.

“Wa’alaikumsalam,” balas semuanya.

Papah Arman melirik kearah sosok Gus yang sedang menatap sorban yang ia genggam itu.

“ Loh Gus , belum pulang tah?” tanya papah Arman kepada Gus muda itu.

“ Loh. Papah kenal sama orang ini?” tanya Ziva.

“ Kenal  dong.”

“ Lagi menunggu teman saya,” sahut Gus itu, membalas pertanyaan papah Arman.

“ Oo gitu. Maaf ya tadi anak saya kurang sopan.”

“ Mboten nopo-nopo pak.”

“ Maaf ya Gus.”

“ Mboten nopo-nopo.”

Ziva hanya menyimak pembicaraan sang ayah dengan pemuda pemilik sorban yang disebut Gus itu.
Tak lama datang lagi sosok pria bersarung hitam dengan salamnya.

“Assalamu’alaikum,” suara sapaan dari sosok pria yang menghampiri mereka.

“Wa’alaikumsalam.”

Sosok pria bersarung hitam itu terkejut saat matanya terarah kepada Ziva. Begitu pula sebaliknya. Ziva pun terkejut melihat sosok pria yang sedang menatapnya.

“ Kamu,” ucap keduanya, dengan ekspresi terkejut.

“ Kamu kenal dia mas iqbal?” tanya sang Gus pada temannya itu.

“ Kenal dong Gus , dia kan–”

Belum selesai mengucapkan perkataannya. Pria yang dijuluki mas Iqbal itu dibuat terkejut, disaat Ziva dengan beraninya membungkam mulutnya.

Tidak hanya mas Iqbal, ke tiga pria yang memperhatikan Ziva pun turut terkejut dengan tingkah gadis kecil itu.

“ Astagfirullah Ziva,” pekik ayah Ziva lalu meraih tangan Ziva, dan menariknya agar menjauh dari mas  Iqbal.

“Aduh pah, tangan Ziva sakit,” ujar Ziva seraya melepaskan tangan dari cengkeraman sang ayah.

Kini semua mata tertuju pada Ziva. Ziva sendiri acuh tak acuh akan hal itu. Seakan-akan tak ada yang terjadi.

“Ziva, kamu tau apa yang kamu lakukan?” tanya papah Arman.

“Emmm. Bungkam mulut orang ini lah,” ucap Ziva seraya menunjuk mas Iqbal dengan jari telunjuknya.

“Astaghfirullah nak Ziva, bukan mahram. Dosa,” ujar sang marbot.

“Loh kan dalam keadaan darurat gapapa,” ujar Ziva melakukan pembelaan.

“Darurat apa Ziva,” tanya sang ayah yang membuat Ziva diam tak bisa berkutik.

“Dan kamu mas Iqbal, kok bisa kenal sama anak ini,” tanya Gus itu.

Mas Iqbal menoleh ke arah Ziva. Ziva memberikan kode melalui kontak mata, seakan menyuruhnya diam.
Namun mas Iqbal sendiri memilih acuh tak acuh akan ancaman dari sorot mata Ziva.

“ Gus ingat semalam saya bilang mau keluar buat ikut balapan? Nah saya nantang cewekan,” jelas mas Iqbal seraya sesekali melirik Ziva yang sudah menahan emosi.

“ Yaa terus,”  tanya Gus itu.

“Nah  ini cewek yang saya maksud. Si ratu sirkuit didaerah sini. Si Ziva, ratu sirkuit balapan liar,” jelas mas Iqbal.

Degh.

Jantung Ziva berdetak kencang setelah pria itu menjelaskan hal tersebut di hadapan sang ayah. Ziva sontak melirik ke arah ayahnya, dan benar saja ayahnya sedang menatap tajam dirinya.

“ Ahhh salah orang,” elak Ziva dengan cengengesan. “Kan papah tau sendiri semalam Ziva tidur toh,” sambung Ziva.

Mas Iqbal memutar bola mata malasnya, setelah mendengar pengakuan Ziva. “ Om gak percaya? Saya ada fotonya,” tawar mas Iqbal.

Saat mas Iqbal hendak  menunjukkan bukti, papah Arman dengan cepat mencegahnya.

“Tidak perlu nak Iqbal. Saya percaya, dan saya minta maaf atas perilaku Ziva ke nak Iqbal. Ziva memang anak yang saya bisa bilang kurang didikan, dan itu salah saya sendiri kurang mendidiknya. Kalau begitu saya izin pamit ya pak, nak Iqbal, Gus.

“Assalamu’alaikum,” jelas ayah Ziva dengan wajah sudah berubah menahan amarah dan kekecewaan.

“Wa’alaikumsalam,” jawab serentak ketiga pria itu.

“Ayo Ziva pulang,” papah Arman mulai memegang erat tangan Ziva agar tidak kabur darinya. Saat melewati mas Iqbal, Ziva memberikan lirikan tajam padanya.

“ Tunggu,” suara dari seorang pria menghentikan langkah papah  Arman dan juga Ziva. Keduanya sama-sama menoleh kearah sumber suara tersebut.

“ Iya kenapa Gus?” tanya papah Arman.

“ Ini sorban untuk anak sampeyan,” sang Gus pun mengulurkan sorban miliknya itu dan memberikannya kepada Ziva.

“ Loh Gus tap–”

“ Gapapa. Saya ikhlas , ini buat kamu,” sang Gus pun terus menyodorkan sorban miliknya itu.

Mata Ziva sempat melirik kearah ayahnya, lalu berpindah pada sorban itu. Mau tak mau pada akhirnya pun Ziva menerima uluran sorban itu.
“Makasih,” ucapnya.

“ Sama-sama,” balas Gus muda itu.

“ Ya sudah ya Gus. Kami pamit assalamu’alaikum,” sang ayah pun segera kembali menarik Ziva menjauh dari Gus muda itu.

“ Wa’alaikumsalam,” jawab Gus muda itu seraya memerhatikan kepergian gadis itu.

Merasa aneh karena melihat tingkah Gus muda itu, mas Iqbal lekas mendekat kearahnya. Disusul dengan pertanyaan. “Loh Gus kok di kasih ke dia?”

“ Sorbannya sudah terkena iler dia, “ ketus Gus muda itu.

“ Oalah.”

***

Disisi lain, yaitu kediaman keluarga Zulfan.

Brakkk.

Suara benturan keras dari benda mati bernama pintu, karena  dibuka paksa oleh papah Arman.

Ibu Ziva yang mendengar  hal itu pun berlari ke arah ruang tamu, dan mendapati suaminya yang sudah emosional.

“Mau kamu apa sih Ziva?” pekik papah Arman saat memasuki rumah. Ziva sendiri masih tertunduk dengan mukenanya dan sorban yang ia genggam.

“Papah Cuma mau Ziva jadi gadis normal, yang penurut sama kedua orang tua , gak suka main motor,” jelas papah Arman dengan nada yang menggebu.

“Jawab Ziva!!”  pekik sang ayah yang membuat Ziva tersentak, tidak hanya Ziva bahkan istrinya turut kaget akan hal ini.

“ Astaghfirullah papah kenapa sih,”  ujar mamah Linda seraya mendekat, lalu memeluk  anaknya itu.

“Mah, ini semua karena kita terlalu memanjakan Ziva. Lihat anak mamah, semakin ugal-ugalan aja!”

“Maksud papah apa sih pah. Ziva salah apa,” mamah Linda terus memeluk Ziva yang tertunduk lesu seraya mencengkeram kuat sorban putih itu.

“Anak mamah semalam balapan liar lagi,” ujar papah Arman kemudian duduk untuk meredakan emosinya.

“ Betul Ziva?” tanya mamah Linda pada putrinya itu.

“ iya mah,” Ziva menjawab seraya mengangguk.

“ Ya ampun, pantaslah papah sampai marah begitu,” ujar mamah Linda tak habis pikir dengan anaknya itu.

“ Tapi mah , kalau Ziva gak datang. Ziva bakal dikira pengecut mah,” rengek Ziva.

Brakkk.

Suara benturan keras bersumber dari meja yang dipukul dengan sangat kuatnya oleh papah Arman.

“ Cukup Zivaaa. Nyawa Kamu itu cuma satu, jika kamu kenapa-napa emang nya teman kamu akan menolong kamu?” tanya papah Arman dengan nada dingin.

“ Ziva yakin teman Ziva akan nolongin Ziva,” sahut Ziva.

Emosi dihati ayahnya semakin menggebu-gebu, saat anaknya berani menjawab perkataannya.

“Cukup, papah gak suka sama anak yang melawan. Papa kecewa sama Ziva yang gak pernah nurut sama orang tuanya , papah menyesal mempunyai anak seperti Ziva,” pekik ayah Ziva.

Degh.

Bagaikan disambar petir disiang bolong. Hati Ziva benar-benar sakit atas perkataan dari ayahnya.

“ Papah,” lirih sang istri.

Tanpa berkata-kata lagi, Ziva lekas berlarian menaiki tangga meninggalkan sang ayah dan ibu yang menatap kepergiannya.

Brakk.

Suara pintu yang tertutup dengan kuatnya. Pandangan mamah Linda kini berpindah kearah  sang suami yang sepertinya telah menyesali apa yang ia ucapkan tadi.

“ Astagfirullah ya Allah, kenapa begini,” gumam papah Arman.

“ Papah kenapa toh pah?” tanya sang istri kemudian ikut duduk di sofa.

“ Papah gak berniat seperti itu mah. Papah khilaf, papa Cuma kecewa sama Ziva, gak berniat bilang seperti itu. Papah benar-benar khilaf,” ucap sang ayah menangis tersedu-sedu dipelukan sang istri.

Hatinya benar-benar hancur karena tak sengaja mengucapkan kata-kata yang tak pernah ingin ia ucapkan.


***


Ziva sendiri menangis tersedu-sedu di atas ranjangnya. Hatinya benar-benar terluka, dari sekian banyak sentakkan dari sang ayah. Baru kali inilah Ziva benar-benar merasa seperti anak yang tak berguna didunia.

“ Akhhht, Ziva Benci papah. Papah jahat.”

Tangisan Ziva semakin pecah. Namun tiba-tiba  tangisan itu terhenti saat dirinya tersadar menangis disorban yang diberikan sosok pria tadi.

“ Loh, hiks sorbannya. Kena ingus.”
Ziva menatap lekat sorban yang terkena ingus itu. Tak lama tangisannya kembali pecah saat mengingat perkataan sang ayah.


***

" Semarah apa pun kamu, jangan mencoba untuk berbicara dalam keadaan marah. Ingat, perkata an yang didasari marah akan mengakibatkan bencana yang dapat melukai pendengarnya"

—Agam zulfikar Akbar

Akhiri membaca dengan mengucap

Alhamdulillah.

istri mungil nya Gus Agam Where stories live. Discover now