Menggenggam sebelah tangan Seonghwa, Hongjoong sedikit menengadah. "Ini ... akan menjadi cerita yang membosankan," ujar Hongjoong, menjawab pertanyaan Seonghwa di awal, alasan kenapa ia memakai baju menggemaskan seperti itu.

Seonghwa tak merespons, tetapi ia memberikan atensi penuh.

"Sejak kecil, Ayah mendidikku dengan keras. Saat umurku baru menginjak tujuh tahun, Ayah mulai memberiku pelajaran tambahan mengenai perusahaan, jajarannya, cara kerja berbagai devisi, bahkan strategi pasar, menuntutku memahami semua itu.

Ketika umurku dua belas, Ayah membawaku ke perusahaan, mengamati secara langsung orang-orang yang bekerja di lapangan, memahami siapa yang memiliki strategi lebih bagus, dan strategi mana yang hanya membuang-buang tenaga tanpa hasil berarti.

Setahun kemudian, Ayah mulai mempekerjakan aku dibagian penjualan, mempraktikkan secara langsung apa yang selama ini telah aku pelajari. Aku cukup percaya diri akan kemampuan dan pengetahuan yang aku miliki.

Namun, umurku yang masih belia membuat klien sulit untuk percaya, para senior mulai meremehkan aku, dan membicarakanku di belakang. Aku tak ingin membuat Ayah kecewa, sehingga aku mengubah strategiku, menghilangkan senyum ramah di wajah, digantikan dengan raut wajah keras dan tatapan tegas guna menutupi umur dan menunjukkan jika aku serius.

Itu cukup berhasil, beberapa klien mulai mendengarkan, dan mau bekerja sama. Ekspresi itu aku pertahankan selama bekerja, tetapi tanpa sadar aku selalu menunjukkan ekspresi sama walau sudah masuk waktu istirahat, dan tanpa sadar itu sudah menjadi kebiasaan.

Dua tahun kemudian, ketika umurku lima belas, aku sudah menjadi leaders pemasaran, dan hanya butuh dua tahun untukku melangkah ke jabatan yang lebih tinggi.

Umur tujuh belas sudah menduduki posisi Manajer. Memiliki tanggung jawab tinggi, membuatku selalu bersikap serius. Harus memimpin orang-orang yang lebih dewasa membuatku harus bersikap lebih tegas," diam sejenak, otak Hongjoong memutar kembali kesulitan apa saja yang sudah ia lewati.

Menjadi CEO di umur dua puluh, membuat ia harus bersikap lebih tegas lagi karena sering diremehkan di belakang, entah itu oleh kolega bahkan karyawan sendiri, sering marah-marah jika ada pegawai yang tak becus bekerja.

Jika ia yang masih muda saja bisa melakukannya, mereka yang sudah lebih dewasa dengan banyak pengalaman seharusnya bisa melakukannya dengan lebih baik.

Banyak pegawai yang menjadi besar kepala hanya karena berhasil melewati target satu kali, membuat kemampuan mereka tak berkembang dengan baik, ia pun harus bekerja ekstra merombak keseluruhan strategi dan memberikan arahan serta peringatan secara langsung.

Namun, semua ini membuatnya semakin ditakuti, kebiasaannya memasang ekspresi keras semakin buruk, tatapan matanya selalu terlihat tegas, bahkan terlihat mengancam bagi beberapa orang.

"Semua itu, membuatku selalu berekspresi datar. Sampai terbawa-bawa, walau sudah tak bekerja. Setiap kali berjalan-jalan, aku selalu membuat anak kecil menangis ketika melihat wajah seriusku.

Orang-orang bahkan seringkali salah paham ketika aku berusaha menangkan anak kecil tersebut, dan menuduhku tengah melakukan aksi penculikan, bahkan ada juga yang melaporkanku pada polisi karena dikira narapidana yang kabur dari penjara.

Terdengar kejam, tapi wajah intimidasiku memang bikin salah paham, aku sendiri memahaminya. Untuk itu, aku jarang bepergian, jika pun harus pergi, harus ada yang menemani, untuk menjadi saksi jika sesuatu terjadi di jalan.

Namun, waktu yang aku habiskan ketika tengah luang lebih sering di rumah, membaca buku, berolahraga, dan melakukan banyak kegiatan hanya dari rumah.

Sejak kecil sudah bekerja membuatku tak memiliki teman, sehingga tak ada alasan bagiku untuk meninggalkan rumah. Juga, aku tak suka membuat orang-orang tak nyaman karena melihatku.

Plot Twist - JoongHwaحيث تعيش القصص. اكتشف الآن