•𝕭𝖆𝖌𝖎𝖆𝖓 𝕯𝖊𝖑𝖆𝖕𝖆𝖓*

1.7K 166 10
                                    

•𝕭𝖆𝖌𝖎𝖆𝖓 𝕯𝖊𝖑𝖆𝖕𝖆𝖓*

𝐀𝐧𝐲𝐞𝐨𝐧𝐠 𝐬𝐚𝐰𝐚𝐭𝐝𝐡𝐢 𝐤𝐡𝐚 𝐤𝐨𝐧𝐢𝐜𝐡𝐢𝐰𝐚 𝐧𝐢 𝐡𝐚𝐨 𝐞𝐯𝐞𝐫𝐲𝐨𝐧𝐞!!

𝚂𝚘𝚛𝚛𝚢 𝚏𝚘𝚛 𝚝𝚢𝚙𝚘 𝚗𝚍𝚎?

»»————>𝓗𝓪𝓹𝓹𝔂 𝓡𝓮𝓪𝓭𝓲𝓷𝓰...

Ƈ

ι

ɳ

ԃ

ҽ

-

»»——❀ Ƈιɳԃҽ- ❀——««

Sore datang semakin membuat Faric kelimpungan memikirkan istri dan kedua anaknya yang belum pulang. Bahkan sampai melewatkan makan siang demi menunggu mereka. Sampai-sampai Harsha lelah sendiri yang sedari tadi membujuk ayahnya untuk makan ini.

“Pa, makan dulu ya? Papa belum makan siang loh,” kesal Harsha melihat Faric yang mondar-mandir di balai depan rumah. Di tangannya ada piring berisikan nasi dan lauk sayur kangkung.

“Nanti Harsha, taruh aja piringnya di meja makan ya? Papa lagi nunggu Ibu sama saudaramu ini.”

Yang membuat Harsha bingung, kenapa di jaman saat ini sudah ada sayur kangkung? Belum lagi ketika melihat ke samping rumah yang isinya ada berbagai sayuran dan buah-buahan. Bukan seperti jaman beberapa abad silam. Melainkan mirip dengan suasana di pedesaan, menurut Harsha.

Tidak hanya itu, disini yang Harsha lihat. Orang membajak sawah juga masih menggunakan kerbau. Ada juga dengan pakaian yang saat ini juga, ia kenakan. Seperti pakaian tahun sembilan puluhan.

Dari pada pusing memikirkan peradaban di dunia ini, lebih baik cari solusi mengapa ia bisa terlempar ke dunia ini? Bukan! Lebih tepatnya, apa yang akan dilakukan untuk kedepannya? Karena tidak mungkin jika ia tiba-tiba saja sudah berada disini. Dan lagi, kenapa harus dirinya?

“Ah Pa! Harsha mau tanya.” Sudahlah! Tidak ada gunanya membujuk.

Mendengar itu, Faric menoleh dan ikut mendudukkan diri di kursi yang terbuat dari bambu. Senang rasanya bisa memakai barang buatan sendiri. Sama halnya dengan kursi ini, yang dibuat sendiri oleh Faric.

“Tanya apa?”

“Hehe, sebelumnya maaf kalau Harsha tanya gini. Eum, kok bisa kepribadian Evel kayak gitu? Bukan maksud apa-apa loh Pa,” jelas Harsha canggung.

Faric menggeleng heran. Bukannya anaknya yang satu ini, tidak suka dengan Evel? Sekarang? Ah iya, itu dulu.

“Papa enggak tahu persisnya gimana. Tahunya dulu pas pindah ke desa ini, umur dia udah sembilan tahun mungkin? Papa enggak paham juga.”

Harsha memangut-mangut paham. “Terus, kalo Jingga?”

“Jingga ya? Setahu Papa, dulu itu Bunda nya Jingga sebelum kesini nikah lagi? Pas kesininya kisaran beda dua tahun sama Harsha.”

“Loh? Beda ayah?”

Menggedikan bahunya, “Mungkin? Kayaknya.”

Hening melanda sampai beberapa detik. Hingga ada yang datang dengan terpongoh-pongoh. Memberi salam hormat pada Faric dan Harsha.

Cinde- HIATUS! Där berättelser lever. Upptäck nu