Bagian 11 : -Naivete-

1.4K 241 97
                                    


Keesokan paginya, Kristal lega melihat Wolf tidak kabur setelah kejadian kemarin malam. Namun, setelah dipikir-pikir, kenapa juga Wolf harus kabur? Toh, ini kan rumah lelaki itu.

Kristal mendekati meja makan. Ia menarik kursi, membaliknya supaya bisa duduk mengangkanginya, kemudian mengamati Wolf yang sedang memasak sesuatu di atas kompor. Meski lelaki itu mengikat rambutnya asal-asalan, tetapi pesonanya tidak pernah gagal membuat hati Kristal berantakan.

"Astaga, kau makan eskrim untuk sarapan?" Kristal melongo begitu melihat bongkahan eskrim vanila dan cokelat di atas setumpuk tinggi pancake yang sudah disiram sirup maple. Melihatnya saja sudah membuat gigi Kristal terasa ngilu.

"Sudah kubilang aku suka yang manis," sahut Wolf tanpa berbalik.

Ya, Kristal tahu itu karena lelaki itu hampir selalu mengajaknya ke kedai eskrim setiap kali misi dimulai atau selesai. Sampai kemudian Kristal menolak ajakan Wolf setelah misi mereka yang terakhir selesai karena mendengar lelaki itu mengatakan hal yang menyakitkan tentangnya.

Hal yang tidak pernah Kristal duga adalah kejadian itu telah membuat hubungan mereka membingungkan. Meski begitu, Kristal merasa lega karena ia tidak perlu lagi menutupi perasaannya atau berusaha membuat lelaki itu menyukainya. Selain itu, Kristal juga merasa lebih bebas menjadi dirinya sendiri.

Wolf akhirnya berbalik, lalu berdecak begitu melihat Kristal. "Apa yang kau pakai?"

"Aku?" Kristal melihat gaun yang menempel di tubuhnya dan merasa tidak ada yang salah. "Emily bilang aku bebas memakai semua pakaiannya." Gaun tidur tanpa lengan itu adalah gaun tidur Emily yang paling sopan. Warnanya putih dan panjangnya di bawah lutut meskipun belahannya jauh di atas lutut. Hanya saja gaun itu sangat tipis. Saking tipisnya Kristal bisa melihat bayangan bra dan celana dalam hitam yang dikenakannya.

"Bajumu ada di kamarku. Kau bisa menggantinya sekarang." Wolf menggeram.

Kristal memutar mata. "Tidak, terima kasih. Aku suka gaun ini. Lagi pula kau sudah pernah melihatku telanjang bulat dan tidak pernah sekali pun tergoda. Jadi..." Kristal sengaja mengerjap-ngerjapkan matanya ke arah Wolf, "aku aman. Ya, kan?"

Wolf membuang muka, lalu kembali menghadap kompor. "Dasar penyihir kecil!" gumamnya gemas.

Kristal masih menatap ngeri pada piring sarapan Wolf. "Uh Wolf, bisakah kau memberiku sesuatu yang tidak manis?"

Wolf mengambil tiga langkah besar untuk sampai meja makan, lalu meletakkan sepiring nasi goreng yang baru saja matang di depan Kristal. "Garpu dan sendoknya ada di kotak di depanmu," ujarnya kasar.

Kristal mengangguk seraya meraih sendok dan garpu yang dimaksud. "Sambalnya?"

Sedetik kemudian sebotol sambal meluncur ke arahnya.

"Kerupuknya?"

Wolf berdecak dan kembali ke meja pantri dekat kompor untuk mengambil toples, lalu mendorongnya tabung kaca tersebut ke arah Kristal.

"Kopinya?"

Wolf menyipitkan mata, sebelum pergi untuk menuangkan kopi hitam pekat favorit Kristal dari mesin pembuat kopinya.

"Ada lagi?" Wolf bertanya dengan nada jengkel saat menyerahkan satu mug penuh kopi. Meski terkesan tidak tulus, Kristal tidak akan tersinggung. Sekarang Kristal tahu Wolf bersikap begitu karena tidak ingin Kristal menyadari betapa besar perhatian lelaki itu kepadanya.

"Tidak ada." Kristal menggeleng semangat.

"Apa kau akan makan dengan duduk sopan atau tetap duduk mengangkang begitu?" Wolf memandangnya jijik.

Cahaya NegeriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang