2. He

21 2 0
                                    

Ah! Sangat memuakkan. Baru saja menginjakkan kakinya di pelataran fakultas seni rupa, Hyura sudah disuguhi pemandangan orang-orang yang tengah bermesraan. Bisa dilihat pada jari-jari manis mereka terikat benang merah. Sungguh, dunia tidak adil pada dirinya.

Hyura menarik napas panjang dan menghembuskannya dengan berat. Kemudian melangkahkan kaki menuju kelasnya yang berada di gedung paling pojok. Oh, sial. Hyura menyumpah serapahi dosennya yang seenak jidat menggunakan tempat paling jauh untuk melangsungkan kegiatan pembelajaran. Tak tahukah dia, kalau kaki Hyura rasanya ingin copot?!

Diliriknya arloji yang melingkar di pergelangan tangannya. Oh, sial! Hyura mengumpat untuk kesekian kalinya. Karena terlambat bangun ---jujur, Hyura mengutuk Yohan soal ini lantaran sang kakak sebenarnya tahu ia ada kelas pagi hari ini, namun tetap membiarkannya tidur. Hyura bahkan tak sempat untuk sekadar minum air karena waktu yang tersisa digunakan untuk mandi. Mau tak mau, sekarang, sebelum terlambat masuk kelas, Hyura menggunakan kedua kakinya untuk berlari secepat mungkin.

Namun nahas, ia tersandung kakinya sendiri akibat tali sepatu yang tak diikat dengan benar. Hyura jatuh terduduk, lututnya menghantam permukaan halaman kampus yang dilapisi paving blok. Buku sketsa, makalah, dan modul pembelajaran miliknya terlempar ke sembarang arah. Seperangkat alat lukisnya juga berhamburan. Ah, sungguh hari yang dipenuhi kesialan.

Hyura menggerutu, memutuskan untuk berdiri seraya membersihkan debu pada lututnya yang sekarang terasa berdenyut nyeri. Kemudian mengumpulkan kembali barang-barangnya. Namun, tatkala hendak meraih kuas lukisnya, Hyura tak sengaja menangkap sesuatu.

Pada jari manisnya, saat ini ada benang merah yang terikat. Persetan dengan mengumpulkan peralatan lukis, Hyura lebih mementingkan perasaan bahagia yang langsung membuncah dalam hatinya.  Lantas mengamati dengan seksama, kemanakah arah dari benang merah pada jarinya ini bertaut?

Mulanya Hyura hendak bangkit untuk mencari, namun, presensi laki-laki tampan degan lesung pipi yang tampak kala dia tersenyum, sukses mengalihkan dunianya sejenak. Inikah jodoh yang ia nanti-nantikan selama ini?

Hyura memberanikan diri melirik jari manis pemuda itu. Dan memang benar, ada benang merah yang terikat di sana.

"Kamu baik-baik saja?" tanya si pemuda. Tanpa melunturkan senyum, dia ikut berjongkok, memungut peralatan lukis Hyura dan memberikannya pada si gadis.

Lidah Hyura terasa kelu. Matanya juga tak berkedip sama sekali. Menatap intens si pemuda tampan yang sanggup mengalihkan dunianya dalam sekejap.

"Hei?" Si pemuda mengerutkan dahi, kemudian melambaikan sebelah tangannya di depan wajah Hyura. "Hei, Nona? Kamu baik-baik saja?"

Ah, sial! Wajah Hyura terasa panas. Pesona pemuda di depannya ini benar-benar sanggup membuat jantungnya berdebar kencang. Bahkan sampai-sampai, sebuah kalimat yang tak terpikirkan meluncur dari bibirnya begitu saja. "Apa kamu... Jodohku?"

Sembari mengulurkan peralatan lukis yang telah dia kumpulkan, si pemuda menautkan alisnya. "Maksudmu, Nona?" tanyanya balik.

"A-ah, bukan! Maaf, bicaraku agak melantur karena belum sarapan, ha-ha-ha." Gelagapan, Hyura tertawa canggung seraya menyambar alat lukisnya dari tangan pemuda itu.

Namun anehnya, si pemuda malah kembali tersenyum. "Aku juga tidak tahu, tapi apa salahnya jika kita berkenalan? Bisa jadi, aku memang jodohmu," ujarnya kemudian.

Wajah Hyura semakin panas. Pipinya bersemu kemerahan tanpa bisa ditahan. Inikah yang dirasakan oleh orang-orang yang bertemu dengan jodohnya?

Dia mengulurkan tangan. "Namaku Kim Taerae. Namamu, Nona?"

Setengah gemetar, Hyura menyambut uluran tangan itu dan menjabatnya. "Min Hyura."

Tapi, Hyura terlanjur lupa. Bahwa peri cinta tidak ada di sekitarnya dan Taerae.

🩷

Pertemuan itu sukses menyita perhatian Hyura. Bahkan sampai kelas Profesor Jung selesai, tak ada satupun materi yang masuk ke dalam otaknya. Haewon, sang sahabat pun sampai heran melihat Hyura yang masih setia duduk di kursinya sambil menyunggingkan senyum padahal sudah sepuluh menit sejak kelas berakhir.

"Hyura," panggil Haewon.

Hyura bergeming. Haewon yang sebal kontan memukul bahu kawannya itu menggunakan salah satu modul tebal seraya berteriak, "Min Hyura!"

"Aduh! Sakit, Haewon! Kamu ini kenapa tiba-tiba memukulku?" Hyura mendelik tajam seraya mengusap bahunya.

Haewon memasang ekspresi mencibir. "Habisnya kamu tidak menjawabku, sih. Jadinya ku pukul agar kamu bisa segera sadar," tuturnya. "Lagian, kamu ini memikirkan apa, sih? Ku perhatikan dari awal kelas senyummu tidak luntur sama sekali."

Yang ditanya sendiri menggelengkan kepala. "Bukan apa-apa, kok," katanya meyakinkan. "Aku hanya sedang merasa bahagia."

"Oh, ya?"

Hyura mengangguk yakin.

Namun, Haewon masih mencecarnya dengan pertanyaan lain. "Bahagia karena apa? Oh, jangan bilang, kau sudah menemukan kekasih? Wah, selamat ya!" pekik gadis itu riang. Spontan memeluk Hyura erat.

"H-hei, apa-apaan?! Jangan sembarang menyimpulkan, Haewon. Kami baru saja bertemu tadi pagi, mana mungkin sudah menjadi sepasang kekasih?" Hyura melepaskan pelukan Haewon secara paksa.

"Tapi, masih ada kemungkinan, kan?" Haewon keukeuh dengan pendapatnya. "Yakinlah, dia pasti akan menjadi kekasihmu."

Ya, semoga saja begitu, balas Hyura dalam hati. Jika pertemuannya dengan Taerae menjadi sebuah jalan demi meraih kebahagiaannya, mengapa tidak?

Red FateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang